Media Informasi Pemuda Peduli Dhuafa Gresik (PPDG) || Website: www.pemudapedulidhuafa.org || Facebook: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Twitter: @PPD_Gresik || Instagram: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Email: ppd.gresik@gmail.com || Contact Person: 0838-3199-1684 || Nomor Rekening: 0335202554 BNI a.n. Ihtami Putri Haritani || Konfirmasi Donasi di nomor telepon: 0857-3068-6830 || #SemangatBerkarya #PPDGresik

Selasa, 02 September 2014

Islamic Poverty Line: Pendekatan Penentuan Garis Kemiskinan dalam Islam

Islam adalah satu-satunya agama yang syumuliah. Atau dalam arti kata lain adalah bahwa Islam adalah agama yang memiliki sistem atau tata nilai yang memuat segala aspek dan lini kehidupan, baik ekonomi, sosial budaya dan politik dll. Sehingga Islam memiliki aturan yang dapat memberikan jalan keluar atas segala persoalan kehidupan yang ada.
Islam tak hanya mengatur aspek-aspek ibadah ritual saja, namun ajaran Islam juga telah mengatur urusan-urusan bersifat keduniaan seperti bagaimana kita bermuamalah atau berinteraksi dengan orang lain. Bahkan, Islam juga telah mengajarkan secara detail bagaimana kita beraktivitas dalam ruang lingkup ekonomi. Seperti, Islam telah mengharamkan riba dan mengharamkan perjudian. Namun masih membolehkan umatnya bersinggungan dengan dunia perbankan asalkan perbankan tersebut menganut dan mengandung prinsip-prinsip syariah.
Dalam tataran yang lebih makro, Islam juga telah menjawab persoalan mengenai cara menghitung atau menetapkan standar kemiskinan. Jika Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan standar kebutuhan dasar (basic needs) dalam menentukan standar kemiskinan (dan telah mengundang sejumlah krikit dari kalangan ekonom), Islam memiliki dua pendekatan penghitungan yang jauh berbeda dengan standar BPS. Yakni menggunakan pendekatan had al kifayah dan menggunakan garis nishab zakat.
Standar had al kifayah merupakan parameter standar kemiskinan yang telah diterapkan di Malaysia. Penilaian yang dibuat dalam menentukan had al kifayah ini merangkum lima faktor yang perlu mendapatkan proteksi yaitu agama, kekayaan, akal, keturunan dan diri/jiwa. Berbeda dengan standar kemiskinan yang dipakai pemerintah saat ini yang melihat garis kemiskinan hanya dari sisi pendapatan dan pengeluaran berdasarkan standar makanan dan bukan makanan. Selain itu, had al kifayah menghitung berapa tingkat kebutuhan yang diperlukan rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, sedangkan garis kemiskinan hanya berbicara pada aspek pendapatan minimal yang diperlukan. Karena itu, had al kifayah diyakini lebih bersifat komprehensif, holistik dan lebih baik dibandingkan dengan pendekatan garis kemiskinan yang ada.
Pendekatan yang kedua dalam menentukan standar kemiskinan dalam Islam adalah dengan menggunakan nishab zakat, yang menjadi parameter penetapan status seseorang apakah dikategorikan sebagai muzakki (wajib zakat) atau mustahik (penerima zakat). Dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa ada dua kelompok dhuafa yang mendapat prioritas dalam penerimaan zakat yaitu kelompok fakir dan kelompok miskin. Menurut mazhab Syafi’I dan Hambali, kelompok fakir adalah kelompok yang tidak memiliki sumber pendapatan sama sekali, sementara kelompok miskin adalah mereka yang memiliki sumber daya pendapatan namun tidak mencukupi kebutuhan dasarnya.
Ada dua opsi penghitungan nishab zakat. Pertama menggunakan nishab zakat emas perak dan yang kedua menggunakan nishab zakat pertanian. Jika nishab zakat emas perak yang digunakan dalam konteks perekonomian Indonesia, maka garis kemiskinan angkanya mencapai Rp. 3,67 juta per bulan per rumah tangga dan Rp. 782,2 ribu per bulan per kapita (dengan menggunakan asumsi harga emas Rp.520 ribu dan rata-rata jumlah anggota keluarga adalah 4,7 orang/rumah tangga). Dengan kata lain, seseorang dikatakan miskin jika pendapatannya kurang dari Rp. 782,2 ribu per bulan atau Rp. 26.073,00 per hari (USD 3,02/hari). Jika dilihat, angka ini lebih tinggi dari kemiskinan standar Bank Dunia yang ditetapkan sebesar USD 2/hari.
Sebaliknya, jika nishab zakat pertanian yang digunakan maka garis kemiskinannya menjadi Rp.3,668 juta per rumah tangga per bulan atau Rp.780,4 ribu per bulan per kapita (dengan menggunakan nishab beras zakat senilai 524 kg dan harga beras seharga Rp.7.000) . Artinya seseorang disebut miskin apabila pendapatannya kurang dari Rp.780,4 ribu/bulan atau Rp.26.014,00/hari (USD 3,019/hari). Jika kita bandingkan antara hasil penghitungan nishab zakat emas dan perak dengan zakat pertanian maka hasil yang didapatkan hampir sama, yaitu mencapai angka Rp.780,4 ribu/bulan.
Menurut Dr. Irfan Syauqi Beik selaku sekretaris Eksekutif Pusat kajian Pembangunan Syariah (PKPS) IPB dalam acara Intelectual Discussion yang diadakan IMZ bekerjasama dengan IKAZ Malaysia dan LPPM IPB menyampaikan bahwa “Perhitungan dengan menggunakan standar nishab sebagai batasan garis kemiskinan jauh lebih normal dan rasional bila dibandingkan dengan penghitungan BPS. Hasil perhitungan pun menunjukkan bahwa garis kemiskinan berbasis nishab lebih besar dari garis kemiskinan versi Bank Dunia. Dari sisi perspektif kesejahteraan masyarakat, maka pilihan untuk menerapkan nishab sebagai garis kemiskinan merupakan pilihan yang tepat, karena memiliki orientasi keberpihakan yang kuat terhadap kaum dhuafa. Sehingga barangkali pemerintah mulai dapat mempertimbangkan usulan standar garis kemiskinan berdasarkan perspektif syariah”. Wallahu alam.

(Sumber: http://risetadvokasi.wordpress.com/2012/04/02/islamic-poverty-line-pendekatan-penentuan-garis-kemiskinan-dalam-islam/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar