Media Informasi Pemuda Peduli Dhuafa Gresik (PPDG) || Website: www.pemudapedulidhuafa.org || Facebook: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Twitter: @PPD_Gresik || Instagram: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Email: ppd.gresik@gmail.com || Contact Person: 0838-3199-1684 || Nomor Rekening: 0335202554 BNI a.n. Ihtami Putri Haritani || Konfirmasi Donasi di nomor telepon: 0857-3068-6830 || #SemangatBerkarya #PPDGresik

Selasa, 02 September 2014

Yatim dan Fakir Miskin dalam Ekonomi Islam

Ayat-ayat tentang (anak) yatim berulangkali dijumpai dalam al Quran yang pada dasarnya merupakan perintah Allah agar kaum beriman memerhatikan kondisi yatim baik terkait masalah kebutuhan ekonominya seperti makan dan minum, sandang papan, maupun yang lebih bersifat psikologis berupa kasih sayang, pendidikan, rasa aman dan nyaman. Definisi yatim menurut sejumlah ulama adalah anak (dibawah usia baligh) yang ditinggal wafat ayah, sedangkan anak yang ditinggal wafat ibu dan anak yang ditinggal karena perceraian tidaklah dikatakan yatim. Jadi yatim adalah anak-anak dibawah usia baligh yang ditinggal wafat ayah sementara pada periode itu anak-anak masih membutuhkan santunan dan kasih sayang.
Di Indonesia dikenal juga istilah piatu bagi mereka yang ditinggal mati orangtuanya dan disebagian daerah istilah yatim piatu dimaksudkan sebagai anak sebatangkara yakni kehilangan ayah dan ibunya, jadi istilah piatu dikonotasikan sebagai ibu. Sementara al Quran menyebut yatim saja sebagai anak yang kehilangan (wafat) ayahnya. Dalam Islam kedudukan ayah sebagai kepala rumah tangga dan imam keluarga sangat penting dan bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan keluarga dimulai dari kebutuhan pokok yakni makan minum, sandang papan hingga kebutuhan rasa aman dan nyaman di dalam kehidupan keluarga.
Oleh karenanya ayat-ayat yang berisi tentang yatim senantiasa dikaitkan dan terkait dengan kebutuhan-kebutuhan tersebut diatas mulai dari memberikan makan anak yatim, menjaga harta anak yatim hingga memberikan kasih sayang. Pendek kata anak yatim perlu disantuni dan disayangi. Perintah menyantuni dan menyayangi anak yatim tidak disekat dengan batasan suku, etnis, dan asal usul termasuk latar belakang agama. Namun tentu kita mesti memerhatikan anak-anak yatim yang ditinggal ayahnya yang beragama Islam, tetapi bila dilingkungan sekitar ada anak yatim non Muslim yang perlu dibantu maka kita harus menyantuni dan membimbingnya dengan kasih sayang sekaligus ini merupakan lahan dakwah umat Islam.  
Memberikan makan bagi kaum yang membutuhkan seperti anak yatim dan memenuhi kebutuhan pokok dan kebutuhan lainnya agar mereka sejahtera lahir dan batin merupakan perintah agama terkait aktivitas ekonomi yang berdasarkan syariah. Sesungguhnya ajaran Islam sangat lengkap dalam menuntun umatnya beraktivitas ekonomi tanpa perlu berkiblat pada ekonomi non syariah yang landasan filosofi (worldview) mereka berbeda. Asal usul ilmu ekonomi dari rumpun ilmu sosial, menyangkut persoalan sosial kemasyarakatan dan tentu berbeda karakter dengan ilmu pasti alam yang terkait dan berhubungan dengan aspek-aspek selain manusia. Oleh karena menyangkut aspek manusia dan setiap umat manusia itu memiliki worldview sendiri, maka temuan ilmu atau pendapat pakar dalam bidang ekonomi tentu membawa serta worldview yang melekat dalam dirinya.
Worldview yang melekat erat itu merupakan " a basic belief system that guides action, deals with the first principles or ultimates, and defines for its holder the nature of the world, the individual's place in it, and the range of possible relationships to that world and its parts" (Aref Atari dalam Prolegomena for an Islamic Perspective of Educational Management. The American Journal of Islamic Sciences 16:1, Spring: 1999 page 68), sehingga temuan-temuan keilmuan (apalagi ilmu tersebut berhubungan dengan interaksi antar manusia) tidak terlepas dari cara pandang, keyakinan, prinsip dan filosofi ilmuwan itu sendiri. Ini berarti temuan prinsip ekonomi liberal yang merambah luas dikalangan masyarakat Islam sudah sepatutnya dikiritisi dengan worldview Islam yang bersumber pada ayat-ayat qawliiyyah dan contoh-contoh Nabi atau mungkin juga dari hasil ijtihad sosial para ilmuwan muslim yang tercerahkan.
Proses mengkonsultasikan temuan pakar ilmu sosial termasuk ekonomi dengan sumber-sumber ajaran Islam perlu dimulai dari hulu pemikiran sang pakar bukannya di hilir yakni manakala ilmu tersebut telah meluas menjadi disiplin ilmu terapan seperti manajemen. Hal ini dimaksudkan agar proses konsultasi temuan dengan worldview Islam itu menjadi lebih efektif dan dari titik ini sesungguhnya pihak ilmuwan Islam dapat melanjutkannya dengan menyusun konsep, teori ilmu yang berdasarkan nilai-nilai Islam dan dapat diperluas dalam bidang-bidang terapan seperti manajemen yang merupakan disiplin terapan dari ilmu ekonomi liberal.    
Kembali ke persoalan kesejahteraan anak yatim, bahwa seandainya ekonomi Islam yang berdasarkan syariah ini benar-benar menjadi landasan ekonomi suatu bangsa, dipastikan pemerataan pembangunan ekonomi dapat terlaksana, sehingga kemakmuran tidak hanya dinikmati oleh segelintir elite tetapi juga oleh kaum yang membutuhkan bantuan seperti anak yatim. Ayat-ayat al Quran sesungguhnya banyak membahasa persoalan muamalah yang tentunya berhubungan dengan urusan ekonomi umat manusia. Muslim yang sedang menuntut ilmu apalagi ilmu-ilmu sosial sudah seharusnya menggali konsep dan teori ekonomi melalui/melandasi pengkajian mendalam pada tebaran ayat-ayat qawliiyyah yang demikian banyak.
Al Quran yang sudah ada sejak lama membahas masalah ekonomi umat ternyata baru mulai dirujuk oleh para ekonom beberapa dekade dengan adanya kajian-kaian tentang ekonomi Islam di perguruan tinggi. Di Indonesia meski sudah dirintis dan dijalankan berbagai aktivitas ekonomi yang mengacu pada syariah, tapi perkembangannya belum signifikan sebagaimana yang diharapkan. Penerapan ekonomi syariah masih dibatasi oleh kegiatan perbankan, keuangan dan asuransi. Padahal ekonomi Islam sangat lengkap membahas tentang kesejahteraan umat di dunia dan hal ini memang merupakan tujuan suatu sistem ekonomi itu diimplemntasikan yakni bagi kmakmuran dan kesejahteraan manuysia dimuka bumi. Ekonomi syariah bukan hanya meliputi lembaga keuangan, asuransi dan perbankan tetapi lebih luas dari itu yakni menuntun manusia dalam melakukan aktivitas ekonomi mulai dari hulu hingga hilir yang sasaran akhirnya adalah mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan yang diridhoi Allah SWT.
Ekonomi Islam dalam setiap aktivitasnya senantiasa menjunjung tinggi prinsip-prinsip keterbukaan, kebersamaan, keadlian, solidaritas sosial, kepedulian, dan tulus ikhlas semata-mata karena Allah dan mengharap ridhoNya inilah yang membedakan dengan sistem ekonomi manapun di dunia. Menyangkut persoalan muamalah ekonomi perlu mendasarkannya pada al Quran dan Hadist sebagai patokan dan rujukan pihak-pihak yang terlibat dibidang ekonomi. Kepedulian atas nasib kaum dhuafa, pelarangan manusia menyembah harta, selalu mawas diri  akan kehidupan dunia yang semu nan sementara serta aktivitas ekonomi sebagai ladang berbuat kebajikan di dunia sebagai bekal di akherat kelak. Hal-hal ini merupakan uraian dan keterangan yang disampaikan al Quran dan Hadist Nabi yang seharusnya menjadi keyakinan setiap orang beriman.
Islam tidak hanya mengajarkan ayat-ayat al Quran digunakan sebatas dibaca saja tetapi jauh lebih penting adalah menerapkan isi kandungan ajaran Islam, sehingga menjadi suatu yang nyata dan niscaya. Dalam konteks ini ada contoh konkrit di negara kita tentang upaya KH Ahmad Dahlan pendiri organisasi persyarikatan Muhammadiyah yang menguji santrinya apakah telah benar-benar mempraktekkan surat al Maun yaitu dengan menyantuni anak yatim dan memberi makan orang miskin. Beliau setiap memimpin sholat subuh selalu membaca surat al Maun yang kemudian diprotes atau ditanyakan oleh santrinya perihal tersebut, lalu sang kyai balik bertanya tentang apakah para santri telah melaksanakan perintah-perintah surat al Maun? Para santri pun tersentak dan menyadari bahwa selama ini belum melakukan perbuatan signifikan membantu kaum yang memerlukan perhatian sebagaimana terkandung dalam surat al Maun, sehingga setelah peristiwa itu santri KH Ahmad Dahlan berlomba-lomba berbuat kebajikan (fastabiqul khairat) hingga kegiatan berbuat kebajikan ini terus berkembang dan meluas dalam organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan itu hingga kini.
Sayangnya praktek-praktek langsung ajaran agama yang dirintis KH Ahmad Dahlan ini belum diikuti secara masif oleh umat Islam Indonesia dan masih berupa pekerjaan rumah cukup besar bagi pemerintah Indonesia yang diberi amanah rakyat untuk mengurus negara ini. Faqir miskin dan anak terlantar dipelihara negara (Pasal 34 UUD 45) tetapi dalam kenyataannya pemerintah kepayahan mengurus mereka yang dari ke hari bukannya berkurang malah bertambah. Bukankah fenomena makin banyaknya kaum dhuafa di Indonesia merupakan bukti kegagalan pembangunan ekonomi bangsa atau paling tidak belum terwujudnya pemerataan kesejahteraan dikalangan rakyat Indonesia secara luas.  
Oleh karena itu tugas umat Islam terutama para ekonom dan penggiat atau pelaku ekonomi Muslim untuk menemu-kenali dan menumbuh-kembangkan sistem ekonomi Islam berdasar syariah. Tidak hanya dalam wawasan konsep, teori dan paradigma tetapi juga pada tataran konkrit yang diejawantahkan dalam praktek-praktek ekonomi sehari-hari. Dalam mencapai keberhasilan mewujudkan ekonomi syariah secara teori dan praktek diperlukan komitmen pemerintah karena masyarakat yang berbangsa dan bernegara memang memerlukan tangan-tangan penguasa dalam mengambil kebijakan. Penguasa yang mayoritas Muslim sebenarnya memudahkan terwujudnya ekonomi syariah yang diharapkan, namun kesadaran dan tingkat keyakinan dari pihak yang memegang amanah tampaknya belum sesuai harapan kita.

DITULIS OLEH ARIES MUSNANDAR | http://uin-malang.ac.id:8080/index.php?option=com_content&view=article&id=4562:faqir-miskin-dan-yatim-dalam-ekonomi-islam&catid=35:artikel&Itemid=210

Tidak ada komentar:

Posting Komentar