Setiap profesi memiliki kode etik yang
bersifat mengingat bagi seluruh anggotanya. Setiap orang yang merupakan anggota
suatu profesi harus menegakkan dan menjunjung tinggi kode etik yang telah
disepakati. Guru sebagai sebuah profesi juga tidak luput dari ketentuan kode
etik yang dimaksud. Kode etik guru, sebagaimana dikemukakan oleh Saondi (2010),
adalah suatu norma atau aturan tata susila yang mengatur tingkah laku guru.
Kode etik guru telah ditetapkan dalam Kongres
PGRI XIII tahun 1973 di Jakarta, dan disempurnakan dalam Kongres PGRI XVI tahun
1989 di Jakarta, bahkan dilengkapi dengan Ikrar Guru Indonesia (lihat Saondi,
2010). Kode etik dan ikrar tersebut merupakan konsensus nasional, yang
mencerminkan kebulatan tekad guru Indonesia. Konsensus nasional inilah yang
harus ditegakkan dan dijunjung tinggi oleh setiap guru dalam menjalankan profesinya,
apabila ingin dihormati atau memiliki kedudukan yang terhormat dalam kehidupan
bermasyarakat dan peserta didik.
Namun dewasa ini ada kecenderungan sebagian
guru mengabaikan kode etik dan ikrarnya sendiri, menciderai sendiri martabat
dan citra profesinya. Sebagian guru tidak memuliakan dan menghormati profesinya
sendiri. Beberapa tingkah laku (prilaku) guru, mencerminkan diri sebagai
individu yang lebih suka dihormati daripada menjelankan profesinya secara
terhormat. Kondisi seperti itu menyebabkan profesi guru dewasa ini kurang
dihormati oleh masyarakat dan peserta didik. Tidak sedikit yang meremehkan atau
melecehkan profesi guru.
Guru ingin dihargai oleh peserta didik dan
lingkungan masyarakatnya, tetapi tidak sedikit di antara guru yang tidak
disiplin dalam melaksanakan tugasnya, tidak melaksanakan tugasnya secara
profesional, mengedepankan emosi dalam mendidik siswa, dan melakukan
perbuatan-perbuatan menyimpang lainnya dalam kehidupan sosial. Beberapa gejala
yang dapat menggambarkan tentang hal tersebut dapat dikemukakan, antara lain :
1) datang terlambat dan tidak menyusun perangkat pembelajaran sesuai tuntutan
profesi dengan berbagai alasan, merupakan hal yang masih akrab dalam kehidupan
sebagian guru; 2) masih lemahnya kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran
dan evaluasi hasil belajar, lebih menempatkan diri sebagai pengajar dari pada
mendidik dan melatih, pembelajaran yang dilaksanakan tidak berpusat pada
peserta didik dan masih dikelola dengan cara-cara konvensional, serta kurang memiliki
kemauan dalam mengembangkan kompetensinya secara berkelanjutan; 3) masih
terdapat oknum guru yang melakukan pemukulan atau tindak kekerasan kepada
siswanya karena sebab yang sepele; 4) terdapat oknom guru yang bertindak
asusila dengan siswa atau dengan orang lain, terlibat menggunakan narkoba, dan
sebagainya.
Kondisi di atas mencerminkan bahwa guru dalam
menkalankan profesinya ingin dihormati dan dimuliakan, tetapi tidak semua guru
dapat menghormati dan memuliakan diri dan profesinya sendiri. Ketidak mampuan
guru menjunjung tinggi martabat dan citra profesinya, tergambar pula dalam
kemampuan berkomunikasi dan intraksi sosialnya. Dalam berkomunikasi dengan
peserta didik, masih terdapat banyak guru yang belum mampu berkomunikasi dengan
efektif, dan tutur bahsanya kurang baik. Tidak sedikit juga guru yang tidak
pandai berintraksi dengan peserta didik dan masyarakat, masih terdapat
kecederungan mengganggap diri lebih mampu dan tinggi. Sehingga di antara
mereka, bukannya terlibat aktif dalam aktivitas sosial kemasyarakatan, tetapi
justru mengasingkan diri dalam intraksi sosial. Gejala ini memposisikan
sebagian guru sebagai individu-individu yang gila hormat, bukan dihormati.
Gila hormat pada seorang guru juga bisa
timbul dari tingkah laku guru yang ingin mempertontonkan identitas dan status
sosialnya. Umumnya guru, memaknai penghasilan yang diperoleh, baik melalui gaji
maupun tunjangan profesi, sebagai kekayaan, bukan kesejahteraan. Sehingga, guru
merasa tidak cukup dengan penghasilan yang diperolehnya. Untuk memenuhi
keinginannya menjadi orang kaya, tidak sedikit guru yang berhutang di bank atau
lembaga lainnya. Uang yang diperoleh dari hasil berhutang tersebut,
dimanfaatkan untuk membeli atau menimbun asset-aset kekayaan dan bergaya hidup
mewah, bukan dimanfaatkan dalam rangka pengembangan profesionalismenya (lihat
Atmadja, 2008). Bahkan untuk memenuhi hasratnya menjdi orang kaya, banyak juga
guru yang berkerja sambilan, baik yang sesuai dengan profesinya maupun di luar
profesi mereka, terkadang ada sebagian guru yang secara totalitas lebih
menekuni kegiatan sambilan daripada kegiatan utamanya sebagai guru di sekolah
(lihat Saondi, 2010).
Sesungguhnya profesi guru adalah terhormat
dan mulia, sekaligus merupakan pekerjaan yang berat dan tidak bisa dilaksanakan
secara serampangan. Tidak semua orang dapat menjadi guru, dibutuhkan keahlian
khusus serta dituntut untuk mampu menegakkan dan menjunjung tinggi kode etik
dan ikrar guru. Keahlian khusus yang harus dimiliki adalah menguasai empat
kompetensi yang dipersyaratkan, sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, yang meliputi kompetensi
pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi
profesional. Untuk mampu melaksanakannya, setiap guru hendaknya mampu
menyeimbangkan antara unsur-unsur (dimensi) yang ada pada diri, yaitu tubuh
(badan/hasrat), pikiran (akal budi) dan ruh (lihat Sugiharto, 2007; Nurdin,
2011). Kemampuan menyeimbangkan ketiga dimensi yang tidak terpisahkan itu, akan
mampu mengantarkan setiap guru untuk memiliki berbagai kecerdesan yang dituntut
dalam profesi keguruan, yaitu kecerdasan intelektual atau intelligence quotient
(IQ), kecerdasan emosional atau emotional quotient (EQ), dan kecerdasan
spiritual atau spiritual quotient (SQ) (Azzet, 2011). Kecerdasan ini sangat
membantu setiap guru untuk mampu menilai dirinya sendiri guna mengetahui
kekuatan dan kelemahannya dalam melaksanakan tugas dan fungsinya (lihat Saondi,
2010).
Kemampuan menilai diri sendiri, berarti
seorang guru dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dijiwai prinsip, meminjam
istilah Mulyasana (2011), berlomba dalam kebaikan (fastabiqul khaerot). Prinsip
seperti ini melahirkan sosok guru yang profesional, dan menjadi guru favorit
bagi peserta didik. Guru profesional berarti guru yang mampu melaksanakan tugas
dan fungsinya sesuai dengan kompetensi yang dipersyaratkan. Sedangkan guru
favorit bagi peserta didik, ditandai dengan ciri-ciri : 1) dekat dengan peserta
didik; 2) dapat membangun suasana yang menyenangkan; 3) bisa berperan sebagai
orangtua kedua; 4) mampu menjadi motivator; 5) menjadi sahabat dalam belajar;
6) berkepribadian layak ditiru; 7) bersikap kasih dan sayang; 8) sabar dalam
mengajar; 9) bisa membuat tertawa; 10) pembebas bagi anak didiknya; 11) bisa
menjadi pendengar dan penengah; 12) tidak angkuh atau sombong; 13) tidak
ketinggalan zaman; 14) mempunyai jiwa seni; 15) segera memberi bantuan;16)
tidak segera menyalahkan; dan 17) menyenangi aktivitas mengajar (lihat Azzet,
2011).
Gambaran ideal sebagaimana dipeparkan di atas
yang akan mengantarkan profesi guru menjadi terhormat dan mulia di hati peserta
didik dan masyarakat. Hal ini berarti guru telah mampu menghormati dan
memuliakan profesinya sendiri, berhasil menegakkan martabat dan citra
keguruannya dengan menjunjung tinggi etika dan ikhtiar yang telah ditetapkan.
Pencapaian ini memang tidak mudah, dibutuhkan adanya usaha yang sungguh-sungguh
dari setiap guru, karena itu merupakan konsekwensi dari profesi yang telah kita
pilih dalam kehidupan. Berbuat yang terbaik untuk mencapai tujuan adalah sikap
seorang profesional.
Untuk menginstrospeksi (mengevaluasi) diri
tentang tugas dan fungsi yang telah kita laksanakan, maka hari guru nasional
tahun ini merupakan momentum yang tepat. Sehingga kita mengenal diri kita
sendiri, baik menyangkut kekuatan maupun kelemahan dalam pelaksanaan tugas dan
fungsi keguruan yang kita geluti. Dengan demkian setiap guru dapat menetapkan
langkah-langkah strategis untuk mengatasi kelemahan-kelemahan yang pernah
dihadapi sebelumnya, dan selanjutnya menentukan langkah-langkah yang tepat
dalam rangka menuju yang terbaik dari sebelumnya. Sehingga akan lahir sosok
guru yang profesional dan menjadi guru favorit bagi peserta didik. Usaha ini
memerlukan motivasi dan kemauan diri yang kuat dan sungguh-sungguh. Tanpa
adanya kemauan berubah dengan didorong oleh motivasi diri, maka cita-cita
menjadi guru profesional dan favorit tidak akan pernah tercapai, dan profesi
guru akan tetap dibaluti oleh berbagai persoalan, seperti sudah dipaparkan di
muka, yang dilakukan oleh oknom-oknom guru. Hal ini berarti menunutut seorang
guru untuk menetapkan pilihan, apakah memilih menjadi guru yang gila hormat
dengan tidak mematuhi kode etik serta tidak melaksanakan tugas dan fungsi
secara profesional, atau memilih menjadi guru yang terhormat dengan mematuhi
kode etik dan melaksanakan tugas dan fungsi secara profesional. Penentuan
pilihan ini sangat tergantung pada diri individu masing-masing guru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar