Media Informasi Pemuda Peduli Dhuafa Gresik (PPDG) || Website: www.pemudapedulidhuafa.org || Facebook: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Twitter: @PPD_Gresik || Instagram: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Email: ppd.gresik@gmail.com || Contact Person: 0838-3199-1684 || Nomor Rekening: 0335202554 BNI a.n. Ihtami Putri Haritani || Konfirmasi Donasi di nomor telepon: 0857-3068-6830 || #SemangatBerkarya #PPDGresik

Jumat, 16 Mei 2014

Relasi Agama dan Kemanusiaan - Adakah Anti Tesisnya?

Isu mengenai permasalahan agama dan kemanusiaan mengalami masa yang amat panjang dan meruntut pada sejarah agama tersebut. Dalam beberapa kasus dan wacana analisis agama pun sangat gencar, mengingat dengan begitu naiknya tingkat kekerasan yang mengatasnamakan agama. Inilah isu sentral yang akan saya bahas ke depan sebagai bahan refleksi dalam analisis sosiologis.
Sangatlah disayang kan mengingat agama selalu saja mendapat nilai negative dalam pandangan global. Kebenaran dan kearifan universal yang diusung oleh beberapa tokoh pun dirasa kurang mampu untuk mengentaskan masalah yang amat fundamental terhadap agama itu sendiri. Kekuatan umat manusia yang mayoritas beragama ini sebenarnya memiliki andil yang besar dalam perdamaian dunia. Namun kerap kali agama masuk dalam ranah kepentingan diplomatis yang syarat akan nilai-nilai oplitis didalamnya.
Berikut sedikit akan saya kemukakan beberapa argumentasi mengenai agama dan kemanusiaan dari beberapa sudut pandang agama. Namun perlu digaris bawahi bahwa kendati saya merupakan seorang muslim, namun saya melihat ada sisi-sisi lain dalam perihal kebenaran universal yang di bawa oleh agama-agama besar lainya. Dengan adanya analisis sederhana seperti ini diharapkan mampu membuka mata terhadap segala persoalan yang kian pelik terlebih agama sebagai objek kajian yang syarat akan nilai-nilai kebenaran yang dibawanya. Saya percaya dari sekian banyak ajaran agama yang bersifat dogmatis, disitu terdapat nilai-nilai universal yang semua setuju perdamaian antar umat manusia. Adapun mengenai tercorengnya agama atas tindakan agama, itu jelas lahir dari pemahaman pengikut yang tidak murni bersifat nilai keagamaan namun ada unsure lain yang melandasi kekerasan tersebut.
Agama, dalam beberapa istilah dalam bahasa sansekerta agama berasal dari suku kata a- yang artinya tidak dan gama- yang artinya rusak. Dalam terminologi sansekertadidapati kesimpulan agama (tidak rusak). Atau dengan kata lain adalah ajaran yang mengajarkan tentang nilai-nilai yang mengacu pada kebenaran. edangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti “mengikat kembali”. Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan. Dari berbagai istilah tersebut esensi dari agama itu sendiri yaitu ajaran yang menganut nilai-nilai dogmatis yang mengajarkan kebenaran yang hakiki dan menjunjung tinggi harkat martabat manusia.
Hans Kung, (1928) membagi agama-agama dunia ini menjadi 3 bagian
  • Agama-agama semit: agama ini memiliki karakter profetik, senantiasa dimulai dengan perbedaan dengan Tuhan dan manusia, Islam, Judaisme, dan Kristen.

  • Agama-agama berasal dari India: umumnya bersifat mistik, cendrung mengarah pada kesatuan (union), dan bercirikan kebatinan (inwardness), seperti Upanishad, Buddhisme, dan Hinduisme.

  • Agama tradisi Cina: mereka ditandai dengan hikmah dan secara fundamental dicirikan dengan harmoni: Konfusianisme, dan Taoisme.
Lebih lanjut kung berpendapat bahwa setiap agama bersifat ambivalen sebagai suatu gejala kemanusiaan. Artinya dari pernyataan Kung ini ialah bahwa agama memiliki peran ganda dalam percaturan dunia ini. Pertama agama bisa menjadi pelopor atas terbentuknya perdamaian di dunia, namun begitu di satu sisi pun agama sangat rentan menjadi api penyulut bagi terjadinya konflik yang seringkali mengatasnamakan agama. Ini lah yang dimaksud Kung dalam ambivalensi terhadap agama. Seperti contoh perdamaina antara Jerman dan Polandia dipersiapkan dengan suatu memorandum yang dirancang oleh Gereja Protestan (Gereja Evanjelik Jerman).
Selanjutnya Kung memberikan sumbangan pemikiran mengenai etika agama dunia yang terangkum secara rapi, ia memang terkenal dengan orang yang lantang menyuarakan atas idenya tersebut yakni etika global (Weltethos). Perdamaian (shalom, salam, eirene, pax) merupakan ciri utama dari ajaran agama, menurut Kung. Danterlebih bentuk perdamain inilah yang sudah semestinya teraktualisasikan dalam suatu pergerakan yang nyata. Karena pada prinsipnya agama-agama dunia mengajarkan tentang bagaimana kita hidup dengan rukun satu sama lain dengan tidak meng kotak-kotakan agama dalam kerangka kerukunan antar umat beragama.
Saya yakin bahwa tatanan dunia baru hanya akan menjadi tatanan yang lebih baik jika masyarakat duni pluralistic yang kita miliki dikarakterisasikan dengan persahabatan, mendorong perdamaian dan bersifat ramah sejati serta ekumenis”.- Hans kung
International Human Rights & Islamic Law, dalam kacamata Mashood A. Baderin. Mashood seorang Guru Besar Hukum dari University of London menaruhkan perhatian pada HAM dan Hukum Islam, yang kemudian ia memberikan relevansinya kepada dua konsep tersebut (HAM dan Hukum Islam). Pisau analisis yang digunakan oleh Mashood ialah “analisis sejarah” dengan perdebatan yang berbeda. Sebelum masuk pada pencocokan pada HAM dan Islam ia menyadari akan perbedaan yang sering di dengungkan oleh kalangan Islam yang kontra terhadap konsep HAM. Dia melihat adanya ketidak cocokan antara hukum Islam yang disebabkan hukum Islam berdasarkan maslahah mursalah (kesejahteraan), sedangkan HAM berdsar pada “Margin Apreciaton”.
Namun begitu ia pun memperlihatkan nilai persamaan yang amat menonjol dari hukum Islam dan HAM, itu tercermin dari sebuah ayat yang menyatakan pada prinsip-prinsip HAM itu sendiri, dalam surat an-Nahl ayat 90. Selanjutnya ia mengemukakan bahwa Islam tidaklah egosentris sehubungan hal-hal duniawi tetapi lebih mendorong kita untuk kerja sama (ta’awun) untuk mencapai kesejahteraan manusia. Lebih jauh ia mengungkapkan, walaupun mungkin ada beberapa area perbedaan konseptual antara hukum Islam dan HAM, hal ini tidak membuat mereka tidak kompatibel.
Jika meruntut sejarah HAM, memang secara garis merah bahwa HAM lahir dari rahim Barat. Para pakar eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM dimulai dengan lahirnya “Magna Charta” pada tahun 1215 di Inggris. Hingga pada saat ini dikenal dengan dengan The Universal Declaration of Human Rights yang diciptakan oleh PBB pada tahun 1948.
Fathi Osman, juga memberikan sumbangan pemikiranya terhadap relevansi HAM dan Islam. Ia menyatakan bahwa ada beberapa persamaan universal.
Al-Qur’an menjelaskan bahwa kaum muslim adalah ummah wasthah dan khayr ummah (QS. Al- Bawarah {2}: 143 dan 3:104). Hal ini menunjukan bahwa kaum muslim harus bisa mewujudkan diri sebagai masyarakat dengan mencukupi tiga syarat.
Pertama, kaum muslim dapat hidup berdampingan dengan umat-umat yang lain, bukan hidup terpisah dan menutup diri dari kehidupan global, karena bagaimanapun juga masyarakat muslim adalah bagian dari masyarakat dan peradaban dunia yang terus bergerak.
Kedua, persatuan umat muslim dan solidaritas Islam tidak boleh mengarah kepada tindakan etnisentris atau eksploitasi materi maupun tindakan agresi, sebaliknya kaum muslim harus selalu kooperatif dalam menjaga perdamaian, serta mengedepankan moral.
Ketiga, keum muslim senantiasa mau mendengar dan belajar dari pengalaman orang lain dan kemudian mengambil hal-hal yang baik.
Dapat diambil kesimpulan sekiranya dari beberapa pemikiran tokoh-tokoh diatas untuk dijadikan refeernsi sebagai buah pemikiran yang mengarah pada perdamaian dunia dengan mengikutsertakan andil agama dengan pengaruhnya yang sangat besar dalam kehidupan ini. Berdasarkan uraian diatas, saya selaku penulis ingin menegaskan bahwa takkan ada perdamaian dunia ketika umat manusia melalaikan nilai-nilai universal yang terkandung dalam setiap agama-agama yang ada di muka bumi ini. terlebih dalam konteks ke-Indonesiaan khususnya dan dunia pada umumnya. Perlu di garis bawahi pula bahwa selagi manusia itu ada pasti disitu ada konflik memang benar adanya, namun tidaklah wajar bila konflik itu mengarah pada tindak kekerasan yang syarat akan perilaku keji dan tidak bermoral, agama tidaklah menganjurkan demikian, karna pada aspek yang paling fundamental sekalipun tidak ada satupun agama yang menganjurkan mengatasi masalah dengan kekerasan.
Sekian tulisan sederhana saya semoga sedikit bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya dan menjadikan refleksi bagi kita terlebih para penganut agama baik itu Islam, Kristen, Hindu, Budha dll yang memiliki etika keberagamaan yang sama-sama meluhurkan nilai-nilai moralitas pada manusia. Terikamasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar