Berangkat dari keresahan 16 tahun reformasi yang tidak menghasilkan apa – apa. Ketika perkembangan disegala bidang mengalami perkembangan dan reformasi belum bisa menjawab itu. Terjadi kontradiksi di tengah – tengah masyarakat yang semakin meresahkan. Dari landasan tersebutlah ide dan gagasan “Revolusi Mental” mengemuka dari salah satu Calon Presiden kita, Joko Widodo (Jokowi). Revolusi Mental yang menjadi visi misi Jokowi dalam maju menjadi Capres 2014 ini merupakan gagasan yang sangat ideal. Menjadi pertanyaan bersama, apakah Revolusi Mental ini sebuah keniscayaan? Sebelum di jawab ada baiknya kita dalami lebih dulu Revolusi Mental.
Revolusi Mental didasarkan dari kritik dari pelaksanaan reformasi yang hanya melakukan pembenahan di wilayah Institusional. Proses reformasi selama ini tidak menyentuh wilayah – wilayah unsur intrinsik seperti paradigma, mindsetdan budaya masyarakat. Dan di sisi lain realitas yang terjadi pembenahan institusional tersebut belum mampu menjawab atau malah menyuburkan praktik – praktik budaya dan tradisi orde baru, seperti budaya koruptif, intoleransi, oportunis, pelanggaran hukum dan sebagainya.
Revolusi Mental juga mengkritisi Paham Liberalisme yang dinilai kontradiktif dengan nilai, budaya dan karakter bangsa Indonesia. Untuk membangun bangsa terlebih dahulu wajib diciptakan paradigma, budaya dan pendekatan yang sesuai dengan ciri dan karakter bangsa Indonesia. Oleh karena itu, konsep “Tri Sakti” bung karno turut serta menjadi landasan pembentuk Revolusi Mental ini, Indonesia yang berdaulat secara politik, Indonesia yang mandiri secara ekonomi dan Indonesia yang berkepribadian secara sosial – budaya.
Revolusi Mental yang penekanannya ada pada perubahan sosial dan kebudayaan secara cepat dan menyangkut dasar dan pokok – pokok kehidupan masyarakat, dalam hal ini lebih di tujukan kepada mental – mental manusianya sendiri yang tercerabut dengan paradigma liberatif, mindsetpragmatis - oportunis dan budaya koruptif. Revolusi Mental menjadi suatu keharusan dan diharapkan menjadi solusi di tengah – tengah kegagalan reformasi ini.
Kritik subjektif saya terhadap Revolusi Mental sebelum menjawab pertanyaan di atas. Untuk merubah paradigma, mindset dan budaya itu tidak semudah membalik telapak tangan. Paradigma terbentuk dari realitas yang di alami dan di lihat secara langsung dan akhirnya mempengaruhi alam pikir, bersikap dan bertindak kita. Artinya tidak mudah merubah cara pandang masyarakat di tengah – tengah realita umum dan kebanyakan yang sudah membentuknya.Mindset (pola pikir) terbentuk dari pengalaman seseorang yang bersifat positif maupun negatif yang tidak terlepas dari pembiasaan diri sejak kecil yang sangat membekas atau imprint (J.P. Chaplin dalam Kartini Kartono, Kamus lengkap Psikologi 2006). Sama halnya dengan paradigma, pola pikir ini terbentuk dari pembiasaan sejak usia dini. Ibaratnya tidak mudah merubah bentuk dari batu dengan tidak mengurangi materi di dalamnya. Pun begitu dengan budaya, yang terbentuknya tentu dari kompleksitas berbagai unsur yang mempengaruhi akal dan budi. Tentu dalam ini paradigma, mindset dan budaya secara umum yang melibatkan hal positif dan negatif yang terjadi.
Ketiga aspek tersebut yang menjadi penekanan Revolusi Mental tentu tidak bisa diterapkan kepada Manusia – manusia saat ini. Masyarakat atau manusia hari ini sudah dalam taraf terbentuk – paradigma, mindset, budaya – jadi, bukan dalam taraf membentuk jadi. Taraf membentuk jadi bagi saya diperuntukan bagi manusia – manusia yang fitrah (suci) dalam hal ini anak usia dini. Jika manusia dewasa yang menjadi objek dari Revolusi Mental sedikit banyak akan terbentur dengan bangunan karakter yang sudah terjadi baik itu yang positif maupun negatif.
Dari sini saya berkesimpulan bahwa, Revolusi Mental merupakan ide/ gagasan yang cukup ideal, tetapi dalam implementasinya hanya akan menjadi sebuah utopia saja. Seperti analogi yang saya sebutkan tadi, merubah bentuk batu tanpa mengurangi materinya. Yang menjadi penting hari ini adalah bagaimana merevolusi pendidikan kita untuk membentuk – paradigma,mindset, budaya – jadi tunas bangsa. Tentu dengan pendidikan yang tidak menjadikan lagi tunas bangsa sebagai subjek, atau meminjam terminologi Paulo Freire pendidikan “gaya bank”. Dalam arti luas pendidikan kita di arahkan ke pendidikan yang membebaskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar