Media Informasi Pemuda Peduli Dhuafa Gresik (PPDG) || Website: www.pemudapedulidhuafa.org || Facebook: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Twitter: @PPD_Gresik || Instagram: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Email: ppd.gresik@gmail.com || Contact Person: 0838-3199-1684 || Nomor Rekening: 0335202554 BNI a.n. Ihtami Putri Haritani || Konfirmasi Donasi di nomor telepon: 0857-3068-6830 || #SemangatBerkarya #PPDGresik

Rabu, 21 Mei 2014

Bangsa yang Gemar Berimajinasi

Rhenald Kasali dalam salah satu bukunya menulis bahwa terdapat tiga karakteristik khas bangsa ini yakni; pertama, rasa ingin tahu yang tinggi terhadap orang lain. Dalam bahasa remaja sekarang, diistilahkan dengan “kepo” alias selalu ingin tau urusan orang lain. Melihat tetangga didatangi oleh beberapa orang berbadan besar, orang menjadi ingin tahu apa urusannya orang berbadan besar tersebut kemudian berasumsi bahwa itu adalah debt-collector yang hendak menangih hutang. Melihat tetangga lainnya yang tiba-tiba membeli mobil, orang menjadi kepo dari mana ia mendapatkan uang sebanyak itu untuk membeli mobil, kemudian berasumsi bahwa tetangganya tersebut korupsi. Dan masih banyak contoh lainnya dalam hal kepo. Kedua, adanya semacam keharusan untuk menjadi sama atau bersifat kolektif. Ketika seseorang tidak sama dengan orang pada umumnya, maka akan ada mekanisme untuk membuatnya menjadi sama. Gosip atau rumor merupakan mekanisme yang paling sering dijalankan. Biasanya orang yang digosipkan atau menjadi bahan pembicaraan oleh sekelompok orang adalah orang yang berbeda dari mainstream atau dari umumnya. Dan ketika orang tersebut sudah berubah dan menjadi sama seperti mainstream, maka gosip pun mereda dan menghilang dengan sendirinya. Ketiga, adanya semacam keharusan untuk menghormati orang yang lebih dahulu. Lebih dahulu lahir (lebih tua), lebih dahulu masuk sekolah atau tempat kerja (senior). Orang-orang yang merasa lebih tua, lebih senior dan lain sebagainya merasa perlu dan harus dihormati oleh orang-orang yang lebih muda atau lebih junior. Karena keharusan menghormati tersebut maka dibuat semacam mekanisme tertentu agar yang muda atau yang junior menghormati yang tua dan senior. Bullying merupakan salah satu contoh konkrit dimana junior harus menghormati yang lebih senior.
Ketiga karakteristik menurut Rhenald Kasali diatas sepertinya tepat dan tak salah. Namun ada karakter lainnya yang juga sesuai dilekatkan pada bangsa ini. Saya menambahkan karakter keempat yaitu; gemar terhadap hal yang imajiner. Imajiner berarti tidak nyata, bersifat khayal, tidak konkrit, dan masih bersifat angan-angan. Ada beberapa kondisi yang memperkuat karakter keempat ini yang sering kita temukan dalam keseharian. Berikut beberapa contohnya;
Dalam pesta demokrasi pemilu, untuk memilih calon anggota legislative, calon presiden dan wakil presiden, demi terpilihnya sang kandidat, setiap kandidat berlomba-lomba meyakinkan masyarakat dengan janji-janji manis dan melenakan. Masyarakat dibuat terbuai oleh janji-janji tersebut. Dan sayangnya, masyarakat lebih senang dengan janji-janji yang sifatnya masih imajiner ketimbang kandidat-kandidat yang sudah jelas konkrit membawa perubahan secara lebih riil. Belum ada jaminan bahwa janji-janji tersebut akan terealisasi dalam bentuk nyata, tetapi imajinasi-imajinasi yang kadung hidup dalam alam pikiran masyarakat, mampu mendorong untuk memilih para kandidat penebar janji tersebut dalam proses pemilu.
Semakin maraknya mekanisme kredit dalam membeli barang dimana orang boleh mencicil sampai lima tahun lamanya atau bahkan lebih. Atau maraknya iklan-iklan yang menawarkan peminjaman uang tunai yang pengembaliannya dapat dibayarkan secara mencicil setiap bulannya. Orang merasa bahwa dalam rentang waktu lima tahun atau lebih tersebut, ia mampu untuk membayar beban kredit beserta bunganya hingga lunas. Padahal dalam kenyataannya, uang yang akan ia bayarkan selama itu, belum jelas adanya dan masih bersifat imajiner. Mungkin memang benar akan datang uang tersebut dari gaji atau pendapatan lainnya tiap bulan, tetapi saat menyetujui kesepakatan kredit, uang itu masih dalam ranah imajiner.
Sinetron-sinetron Indonesia yang bersetting kemewahan dan kekayaan hampir di semua stasiun televisi, penonton setianya justru lebih banyak dari golongan menengah kebawah atau berpendidikan rendah. Golongan ini barangkali sudah jenuh dan bosan dengan kondisi nyata yang sulit. Dengan menonton sinetron tersebut, ada imajinasi yang hidup di pikiran mereka mengenai seperti apa dinamika kehidupan orang-orang kaya. Walaupun belum pernah merasakan kaya, setidaknya imajinasi mereka sudah merasakannya.
Online shop yang semakin menjamur di internet yang menawarkan beragam jenis barang. Berdasarkan survey yang pernah saya baca, Hampir setiap harinya seluruh masyarakat Indonesia yang punya jaringan internet membuka online shop untuk sekedar melihat-lihat (window shoping) barang yang ditawarkan dan pastinya mencari tahu berapa harga dari barang tersebut. Walaupun tidak diikuti dengan pembelian barang yang dilihat, tetapi setidaknya ada imajinasi barang-barang tersebut untuk suatu saat dapat dibeli dan dipakai.
Yang lebih miris lagi adalah, ketika remaja kita ditanya mengenai cita-cita mereka, yang mereka sebutkan adalah cita-cita setinggi langit yang tidak dibarengi dengan usaha yang keras dan konkrit untuk menuju cita-cita tersebut. Mereka hanya berimajinasi ketika sudah mencapai cita-cita tersebut tanpa diajarkan untuk mencintai proses mencapainya. Barangkali mereka cukup terbuai dengan pribahasa “gantungkanlah cita-citamu setinggi langit” yang menurut saya pribahasa tersebut terpotong, seharusnya dilengkapi dengan kalimat berikutnya “lalu buatlah pijakan pijakan untuk mencapainya”. Dengan demikian, sesuatu yang imajiner dapat menjadi konkrit.
Terlepas dari keempat karakter diatas, tentunya masih banyak karakter lainnya yang dapat menggambarkan bangsa ini apa adanya. Tulisan ini hanya sekedar stimulus untuk menggugah kesadaran kita akan gambaran bangsa kita tercinta. Semoga dapat mencerahkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar