Media Informasi Pemuda Peduli Dhuafa Gresik (PPDG) || Website: www.pemudapedulidhuafa.org || Facebook: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Twitter: @PPD_Gresik || Instagram: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Email: ppd.gresik@gmail.com || Contact Person: 0838-3199-1684 || Nomor Rekening: 0335202554 BNI a.n. Ihtami Putri Haritani || Konfirmasi Donasi di nomor telepon: 0857-3068-6830 || #SemangatBerkarya #PPDGresik

Rabu, 14 Mei 2014

Menguapnya Kebersamaan

Segarnya alam udara di pagi hari dan masih tingginya solidaritas sosial sesama masyarakat merupakan alasan utama mengapa keluarga saya lebih memilih untuk tinggal di desa. Walaupun sedikit terpengaruh juga dengan lagu DESA nya Iwan Fals; desa harus jadi kekuatan ekonomi, desa harus jadi kekuatan sejati, negara harus berpihak kepada petani. Tetapi yang paling penting adalah rasa aman dan nyaman untuk hidup dibandingkan dengan hiruk pikuknya suasana alam perkotaan. Apakah sedemikian indah dan nyaman gambaran untuk hidup di desa saat ini, ternyata memang tidak seideal pengertian masyarakat desa dalam mata kuliah sosiologi pedesaan, bahwa masyarakat desa berkarakteristik; homogen, mobilitas sosial rendah, besarnya peranan kelompok primer, hubungan yang bersifat intim dan awet, faktor geografik sebagai penentu pembentukan kelompok atau asosiasi, keluarga lebih ditekankan sebagai fungsi unit ekonomi, dan populasi penduduk yang besar (Roucek dan Warren, 1962). Banyak hal yang berubah di desa, baik secara penampilan fisik, gaya hidup dan relasi sosial. Tidak bisa dipungkiri bahwa pergeserannya setahap demi setahap, ke arah perkembangan masyarakat modern yang tidak mengenal batas wilayah dan geografi. Setidaknya pengalaman saya tinggal di desa menjadi salah satu parameter bergesernya perilaku sosial masyarakat, menjadi semakin individualis dan privacy. Ketika suatu malam saya bertamu ke tetangga sebelah,niat awal ingin bertemu dengan orang tuanya, tetapi hanya ditemui oleh anaknya saja, padahal di ruang itu ada kedua orang tua dan keluarganya sangat asyik menonton TV. Begitu terasing saya bertamu, tidak ada sapaan hangat seperti yang saya impikan masih nikmatnya tinggal di desa, apalagi secangkir teh kental yang menghangatkan relasi dan persaudaraan yang terjalin antar sesama masyarakat. Semua mata yang ada di keluarga tersebut terpaku pada sebuah kotak ajaib yang bernama televisi, begitu khusuk dan khidmat menonton sebuah sinetron yang ditayangkan oleh salah satu siaran TV swasta. Tidak ada beban mereka tidak menyapa orang lain atau mungkin sudah bergeser tidak membutuhkan orang lain lagi dan lebih memilih menikmati kesenangannya sendiri.
Kejadian ini tidak hanya terjadi pada satu keluarga saja, tetapi lebih dari satu keluarga di pedesaan, hampir secara keseluruhan, terutama untuk kategori masyarakat pedesaan yang “kaya” secara ekonomi, memiliki sumber penghasilan tidak hanya dari sektor pertanian, tetapi sektor pekerjaan lain. Apalagi ditunjang memiliki jabatan struktural, entah sebagai ketua RT, RW, Dusun, Kades yang memaknai kunjungan tamu atau tetangga hanya simbolik atau artifisial semata. Apa yang saya rasakan ketika bertamu di desa ini ternyata tidak begitu jauh berbeda dengan apa yang saya rasakan ketika bertamu di kota. Tetapi saya sudah tidak heran, ketika bertamu di kota untuk mencari surat keterangan pindah KTP di rumah ketua RT hanya disuruh menunggu Pak RT membuatkan surat keterangan tersebut, sementara keluarga yang lain dalam ruangan yang sama dimana saya menunggu, asyik berbincang sendiri dan lagi-lagi asyik menonton TV tanpa mengindahkan kehadiran saya. Dan saya seolah-olah tidak ada di situ. Setelah semua urusan selesai, membayar uang administrasi tidak ada relasi apa pun yang muncul. Demikian halnya dengan bertamu di rumah Pak RW, gak ada ruang tamu untuk tamu, hanya sebuah kursi bambu di depan pagar, diatasnya ada bel dan tulisan “TAMU HARAP PENCET BEL DAN MENUNGGU”, urusan minta tanda tangan dan membayar uang administrasi selesai, selesai sudah relasi antara warga masyarakat dengan aparat kampung. Gak ada pembicaraan tentang apapun. Selesai urusan, selesai sudah relasi sesaat tersebut. Fenomena yang terjadi di desa ataupun di kampung perkotaan tidaklah jauh perbedaannya. Relasi yang dibangun antar personal dan interpersonal lebih berdasarkan pemikiran rasionalitas bertujuan. Artinya, seseorang akan menjalin relasi dengan orang lain karena ada kepentingan dan tujuan yang ingin diperoleh dari relasi tersebut. Kalau seandainya tidak ada tujuan, enggan relasi itu dibangun, akan sia-sia dan buang-buang waktu, padahal waktu itu harus digunakan sebaik dan seefisien mungkin atau kalaupun dibuang akan lebih baik untuk memuaskan dan menyenangkan diri sendiri. Dengan menonton, main game, ataupun chating yang akan memuaskan dirinya sendiri tanpa harus ada kehadiran orang lain secara langsung.
Sehingga relasi yang terbangun di masyarakat membentuk sebuah kehidupan yang bersifat simbolik, artifisial dan formalitas. Fungsi pejabat struktural di kampung- kampung perkotaan, semisal Ketua RT, RW, Dusun atau bahkan Lurah hanya resmi urusan administrasi. Mengurusi warga masyarakat pindah alamat, pindah KTP, kelahiran dan kematian, surat keterangan atau mencatat siapa saja yang mendapatkan bantuan dari pemerintah; askeskin, raskin, BLT, P2KP dan masih banyak bantuan lain. Tetapi relasi pejabat sebagai abdi dan pengayom masyarakat, menjembatani kesenjangan sosial yang terbentuk di masyarakat mengalami kemandulan yang tidak melahirkan apapun. Masyarakat di desa pun menderita hal sama. Kegiatan gotong royong, bersih desa, ataupun kegiatan sosial lain, semisal menjenguk tetangga yang sakit secara bersama- sama tanpa memandang siapa yang sakit, petani miskin ataupun rentenir yang kaya raya masih tetap dilakukan. Akan tetapi apa yang masyarakat lakukan itu hanya artifisial semata. Mereka akan tetap melakukan kegiatan tersebut ketika ada perintah dari tokoh agama, tokoh masyarakat ataupun tokoh pemerintahan, tetapi gerundelan muncul jauh lebih banyak dibanding dengan kegiatan itu sendiri. Ketiga tokoh tersebut mempunyai kekuatan untuk menggerakan masyarakat, tetapi tidak banyak menjalin relasi lebih intim dengan masyarakat. Antar sesama masyarakat ataupun sikap pejabat desa sedikit yang memperhatikan petani miskin yang tidak punya lahan untuk bisa menggarap sawah dan menghasilkan pangan bagi masyarakat. Yang terjadi malah sebaliknya beberapa kasus di sebuah desa di Kabupaten Bantul, pejabat desa yang memperoleh tanah pelungguh atau bengkok lebih senang menyewakan tanah kepada perusahaan dibanding disewa oleh petani yang tidak punya lahan dengan alasan uang sewa yang diberikan oleh perusahaan lebih tinggi dibanding disewa petani. Dalam tahap perkembangannya sangat nampak kehidupan masyaraat desa semakin terpolarisasi seperti halnya masyarakat kota. Walaupun bertetangga tetapi sudah tidak saling mengenal, tidak saling menyapa, kalaupun menyapa hanya say hallo saja, tidak lebih. Mereka membangun hubungan intim dengan masyarakat yang kondisinya sama dengan dirinya. Yang miskin akan berkelompok dan bergaul dengan sesamanya, demikian juga yang kaya. Sehingga kesenjangan sosial dalam masyarakat desa semakin tajam. Wilayah ataupun teritori bukan hal yang penting lagi. Asalkan mempunyai hobi, pekerjaan, kebiasaan sama, okelah bisa bergabung dalam kelompok. Kalau tidak, ya nanti dulu, tidak boleh gabung dalam kelompok. Ada memang pertemuan atau kumpulan RT, tetapi hanya artifisial karena ada arisan, simpan pinjam dan iuran sana sini. Kalau mau cerita kondisi ekonomi semakin memburuk, harga tempe yang melangit, STOPP pasti tidak ada wadahnya di pertemuan tersebut. Semakin ditinggalkannya kebersamaan dalam masyarakat ini, ditopang dengan kehadiran produk-produk industri yang menggiring seseorang menjadi semakin privacy. Kehiadiran Televisi yang dulunya satu TV bisa ditonton oleh seluruh warga RT, sekarang ini menonton TV di rumah tetangga adalah aib dan yang punya televisi pun enggan menonton bersama. Lebih enak menonton di rumah sendiri dan lebih privacy. Sehingga masyarakat lebih memilih di depan TV ataupun asyik dengan media sosial daripada berienteraksi dengan orang lain secara langsung.
Fenomena sosial ini jika berlangsung secara terus menerus melahirkan karakter masyarakat tanpa nyawa, tanpa ruh dan masyarakat formal, yang mengartikan interaksi dengan masyarakat lain hanya sebatas kebutuhan dan tujuan yang harus dipenuhi. Tanpa itu lebih baik tidak berinterkasi karena semau kebutuhan sudah terpenuhi. Sedemikian individual kah masyarakat kita … Apakah kita tidak rindu dengan kehangatan, perhatian dan kebersamaan dengan sesama lagi ? (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar