Media Informasi Pemuda Peduli Dhuafa Gresik (PPDG) || Website: www.pemudapedulidhuafa.org || Facebook: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Twitter: @PPD_Gresik || Instagram: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Email: ppd.gresik@gmail.com || Contact Person: 0838-3199-1684 || Nomor Rekening: 0335202554 BNI a.n. Ihtami Putri Haritani || Konfirmasi Donasi di nomor telepon: 0857-3068-6830 || #SemangatBerkarya #PPDGresik

Kamis, 15 Mei 2014

Mental Bangsa yang Mana Perlu Direvolusi, Pak Jokowi?

KITA tak ingin ketinggalan dengan budaya modern atau kemajuan bangsa lain. Dan kita malu bila disebut sebagai orang miskin, orang udik atau tertinggal peradaban. Bahkan malu disebut sebagai bangsa miskin, negara dunia ketiga, negara berkembang, developing country atau istilah lainnya. Padahal kita mengaku sebagai bangsa yang besar dan sadar bahwa kita memang bangsa yang besar dan kaya. Tapi merasa tersinggung harga diri kita bila disebut sebagai bangsa tertinggal? Apalagi yang mengatai kita sebagai bangsa tertinggal itu bangsa kaya, modern dan maju?
“Kalau tanahmu kau sewakan untuk ditanami tebu, nanti kuberi modal untuk beli traktor dengan cicilan rendah,” demikian janji saudagar tebu di kampungku pada seorang petani.
“Kalau hutanmu kau tebangi dan kau tanami kelapa sawit, nanti aku kasih modal mengolahnya dan kujualkan hasil panennya. Kau tinggal menikmati hasil panen, nggak usah mikir banyak,” demikian kata pemilik modal.
Bagi petani yang hidup dalam ekonomi subsistensi, ilustrasi dari dua tawaran itu sama menariknya. Nampak menggiurkan bagi seorang yang berpikiran pendek. Orang yang tidak menghargai sebuah proses, bermental lemah dan ingin cepat kaya. Seolah tanpa kerja terlalu keras untung bisa didapat dalam waktu singkat dan mudah. Jualan hari ini, untung hari ini. Tapi dalam jangka panjang belum tentu kepastiannya.
Sebab bisa saja hasil panen ditentukan harganya oleh pemilik modal. Belum lagi jika pemasaran hasil panen ternyata dikuasai oleh pemilik modal yang punya jaringan luas dan ditunjang modal yang kuat. Pemilik tanah akan gigit jari jika ternyata harga jual pasca panen akhirnya ditentukan juga oleh pemilik modal untuk mengeruk sebanyak mungkin keuntungan.
Masih untung bila hasil panennya melimpah. Kalau gagal panen maka makin terpuruklah pemilik tanah. Bisa-bisa dililit hutang tak berkesudahan. Ketergantungan tercipta. Pemilik lahan akan terpasung kepemilikannya terhadap tanahnya sendiri dan tidak memberinya untung maksimal. Pemilik lahan akhirnya menjadi kuli di atas tanahnya sendiri.
Fenomena di atas tidak hanya melanda petani, tapi juga melanda kita semua. Dalam bidang teknologi, pangan, sandang, pertanian, dan banyak bidang lain kita tergantung dengan para pemilik modal luar negeri atau kepanjangan tangannya. Kita sudah senang sebagai konsumen. Karena mudah. Tinggal pilih dan beli. Kita tidak berpikir bagaimana mengolahnya. Atau darimana uang itu berasal untuk membelinya. Kadang kita tidak sadar bahwa uang itu hasil hutang yang harus dikembalikan.
Teringat akan sebuah cerita tentang seorang gadis desa yang diajak bekerja di kota oleh temannya sedesa. Gadis desa tersebut meski hidup sederhana, tapi kebutuhan sehari-hari bisa didapat dari kebunnya. Ia sudah merasa bahagia dalam keadaan begitu. Tapi oleh temannya, ia dianggap miskin dan ketinggalan banyak hal karena lama tinggal di desa. Di kota ia bisa dapat uang lebih banyak sehingga bisa membeli lebih banyak keperluan. Beli baju model baru, tv, radio, sepeda motor, mobil, alat kecantikan, perhiasan berkilau dan lain-lain tawaran yang menggiurkan.
Gadis desa itu akhirnya memutuskan untuk bekerja di kota. Dan benar kata temannya, begitu bekerja di kota ia bisa mengumpulkan uang banyak. Tanah di desa dijualnya dan mengajak orang tuanya untuk tinggal di kota.
Gadis desa itu bekerja keras. Karena untuk membeli kebutuhan, ia perlu uang. Selama ia masih hidup, ia harus bekerja mencari uang.
Sampai kemudian ia menyadari, bahwa hidupnya lebih punya arti ketika tinggal di desa. Meski miskin namun ia merasa hidupnya tak segelisah saat tinggal di kota. Ia lebih bisa mencukupi kebutuhannya sendiri dari tanah kebunnya, tak harus beli. Menjadi produsen berarti lebih punya kekuasaan untuk mengatur hidupnya sendiri. Kini ia penjadi konsumen yang senantiasa tergantung pada orang lain. Dan itu harus dibayarnya dari upah kerjanya. Ia tak kuasa keluar dari lingkaran cara hidup perkotaan ini.
Pembenahan mental rakyat Indonesia kini menjadi berita hangat di koran mengusik banyak kalangan. Mental yang manakah yang hendak direvolusi oleh Jokowi jika ia nanti terpilih menjadi presiden Indonesia?
Mudah-mudahan bukan merevolusi mental rakyat agar lebih konsumtif. Merevolusi mental untuk mengejar kemajuan dengan bangsa lain di dunia, namun sebenarnya malah mundur karena menjadikan kita makin konsumtif dan tergantung pada bangsa lain. Memanfaatkan kita untuk bermental kerja keras dan positif untuk membuka ladang dan mengolah sumber daya alam, supaya bangsa asing atau pemilik modal luar negeri agar makin bisa mencengkeramkan kekuasaan modalnya. Mengajak kita semua untuk bekerja di kota sebagai konsumen, meninggalkan kearifan hidup cara desa sebagai produsen. Tanpa sadar sebenarnya secara berangsur-angsur memiskinkan bangsa kita sendiri. Karena di manapun di muka bumi ini, seorang yang kaya pastilah seorang produsen. Bukan konsumen.
Benarkah ada yang salah dengan mental rakyat Indonesia selama ini? Barangkali pertanyaan ini hanya bisa dijawab oleh para sejarawan dan budayawan dengan penelitian panjang dengan menggali sejarah bangsa kita putar balik ke ratusan tahun silam pada saat bangsa kita pernah menjadi bangsa besar.
Kita merasa bahwa peradaban kita kini lebih maju dari nenek moyang kita. Benarkah demikian? Bangsa kita pernah jadi bangsa besar di masa lalu. Sementara saat ini bangsa kita punya hutang berjibun pada bangsa lain. Kita tergantung banyak hal pada bangsa lain. Kita ini maju atau sebenarnya malah mundur dari peradaban bangsa sendiri? Apakah masa lalu itu sebenarnya masa depan bangsa kita saat ini? Masa lalu tidak berusaha kita tinggalkan, tapi sebaliknya kita justru mengarah ke sana? Ke masa lalu? Ke keperadaban nenek moyang bangsa kita?
Pemerintah kita sebenarnya meneruskan mental kolonial dalam mengurus rakyat. Menempatkan rakyat sebagai pelayan di negeri sendiri. Pemerintah Indonesia modern telah lama menjauhkan diri dari rakyatnya sendiri. Mereka minta diperlakukan seperti golongan kulit putih dan rakyat sebagai inlander. Persis pada saat jaman Belanda. Memposisikan dirinya di strata sosial lebih atas daripada kaum rakyat jelata.
Duduk di posisi birokrasi pemerintah layaknya tuan meneer yang harus disegani, dilayani dan kalau perlu dikasih upacara kehormatan. Jika ingin merevolusi mental bangsa kita, sebenarnya kunci utamanya adalah merubah mental pemerintah kita dan antek-antek sistem warisan kolonial ini.
Jangan salahkan rakyat jika mereka menarik diri untuk terlibat dengan pemerintah. Pemerintah dan rakyat adalah dua hal terpisah. Tidak sebangsa dan setanah air. Rakyat tidak butuh pemerintah. Tidak ada yang salah dengan mental rakyat. Rakyat tidak menuntut banyak. Jika pemerintah tak mau tahu, rakyat pun tak akan memaksa. Jangan ditanggapi ini sebagai sikap pesimis dan negatif.
Jangan mengiming-imingi rakyat dengan kekayaan jika kekayaan itu berarti membuatnya menjadi budak. Lebih baik miskin karena lebih berharga dan menjadi tuan atas hidupnya sendiri daripada kaya tapi menjadi budak orang lain. Jangan mencoba merubah mental rakyat agar mau mengejar kemajuan dan kesejahteraan bila ternyata terjebak pada ketergantungan. Miskin bukan berarti melarat. Miskin jauh lebih baik dan bermartabat daripada kaya tapi hidup saling menghisap.
Pemerintah harus berkemauan untuk menjadikan rakyat sebagai tuannya. Sebab dengan begitulah pemerintah memperlakukan rakyatnya secara bermartabat. Itulah yang dibutuhkan rakyat. Bukan kekayaan, harta benda melimbah, mobil kinclong-kinclong atau gedong magrong-magrong. Rakyat tak akan menikmati suguhan kemewahan itu jika hak dasar mereka tak dikembalikan.
Jadikan rakyat sebagai tuan di atas tanah airnya sendiri sehingga akan mengangkat harga diri dan martabat mereka. Jadikan rakyat sebagai partner kerja untuk membangun negara dan bukan sebagai pesakitan yang perlu ditakuti bakal merombak struktur dan tatanan sistem negara. Sebuah sikap paranoid warisan kolonial.
Pemerintah harus berani memulai menanggalkan jubah penjajahnya. Sebab begitulah dalam sejarahnya, rakyat menjadi tuan dan Belanda hanya sebagai tamu. Namun status itu telah dibalik demi mempertahankan kepentingan dan kekuasaan di negara jajahannya lalu bertingkah bagai tuan rumah. Setelah berabad-abad, kini saatnya pemerintah mengembalikan hak mereka. Kembalikan martabat itu pada pemiliknya agar mereka lebih bisa menikmati apa yang dipunya. Agar mereka merasa berhak menempati rumah sendiri. Rumah besar yang katanya kaya dan besar ini. Rumah yang dihuni oleh berbagai macam suku, kulit, ras, agama dan lain-lainnya sesaudara.
Berikan kembali apa yang telah menjadi miliknya. Tidak peduli sekecil apapun. Jika hak sudah merasa dimilikinya, kita tak bisa duga apa yang dilakukan dengan miliknya yang telah terampas ratusan tahun itu. Mereka pasti akan menyambutnya dengan suka cita. Merawatnya dan mendandaninya bagai pengantin baru. Akan dipersoleknya negeri ini dengan cucuran keringatnya. Dan dengan singsingan lengan baju yang terangkat tinggi-tinggi ke atas lengannya akan dikayuhkan tangannya sepenuh hati mencangkul bumi Indonesia yang selama ini tak tergarap oleh pemiliknya yang sah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar