Makin hari, kondisi keberagaman bangsa ini makin parah. Terlihat, lebih banyak diproduksi oleh orang-orang yang tak mengakui perbedaan. Mereka seolah alergi dengan melakukan aksi-aksi intoleransi terhadap mereka yang dipandang beda. Mereka nodai kesucian agama dengan menggunakannya sebagai jubah dalam melakukan aksi-aksi keji, bejat, tak bersahabat.
Istilah “Indonesia tanpa diskriminasi”—meski sering orang anggap sebagai ilusi—lebih merupakan cita-cita paling ideal sekaligus paling realistis untuk bangsa Indonesia. Bagaimana tidak, Indonesia adalah bangsa yang kaya. Selain kaya akan sumber daya alamnya, juga kaya akan kemajemukan manusia-manusianya (a multicultural society). Kemajemukan agama, ras, suku, bahasa, budaya, dan lain sebagainya, belum lagi tata cara pengamalan dan penghayatannya, mesti diakui sebagai keniscayaan. Karena itu, upaya apapun yang nantinya berujung pada penyeragaman, harus dan wajib kita tolak. Jika tidak, di samping akan diskriminatif, konflik pun tiada akan pernah berhenti. Alhasil, perdamaian hanya akan jadi khayalan kita belaka. Bahwa menghargai dan menghormati lebih baik daripada saling meniadakan. Bukankah Indonesia agung karena perbedaannya, bukankah Indonesia kokoh karena persatuannya?
Dalam sejarah bangsa ini, perwujudan cita-cita di atas, boleh dikatakan, melulu hanya sampai pada tahap konsep. Semboyan luhur nan mulia Bhinneka Tunggal Ika yang dulu diagungkan para founding fathers, hampir-hampir perealisasiannya jarang kita dapati. Justru, penghianatan atasnya cenderung bersua dalam kehidupan sehari-hari kita: acapkali ada kelompok merasa benar sendiri dan memaksakan kebenarannya kepada kelompok lain; tak terima, konflik jadi jawaban. Kemana larinya semboyan itu?
Memang, beberapa kasus belakangan yang kerap terjadi, sebut misalnya pencekalan diskusi, pengrusakan tempat-tempat peribadatan, hingga pada aksi kekerasan terhadap mereka yang dianggap “beda”, menjadi bukti betapa kondisi keberagaman kita makin hari makin digerus. Contoh kasus sebagaimana yang baru-baru ini terjadi di Surakarta (22/5). Acara peresmian lembaga Kedutaan Besar Iran kerjasama Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta, yakni Iran Corner, dibubarkan paksa oleh sejumlah ormas yang mengatasnamakan Islam. Di antaranya adalah Laskar Umat Islam Surakarta (LUIS) dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Alasan pembubarannya, jika dinalar sungguh tidak masuk akal alias koplak, yakni Iran Corner dituding sebagai lembaga yang bakal sebar ajaran-ajaran Syiah. Entah karena apa, Syiah dianggap sebagai salah satu ajaran “sesat”, karena itu tidak dibolehkan bercokol di dunia akademik yang nantinya akan merusak pemikiran mahasiswa, terutama dalam hal akidah Islam.
Jika kita mau sedikit terbuka dan berbicara jujur, keberadaan lembaga seperti Iran Corner ini, meskipun akan banyak menampung ajaran-ajaran Syiah di dalamnya, justru menjadi kebutuhan urgent bagi mahasiswa. Mereka (mahasiswa), terutama yangconcern di bidang pemikiran Islam, tentu akan sangat terbantu dengan adanya lembaga yang menawarkan referensi-referensi berbeda. Ini penting guna menjelajahi pemikiran Islam yang kaya dan luas itu. Hematnya, lembaga seperti ini sangat mungkin akan memperkaya khazanah ilmu pengetahuan keislaman mahasiswa itu sendiri. Tapi mengapa di IAIN Surakarta justru terjadi yang kebalikannya?
Memang, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah keluarkan fatwa tentang Syiah. Sejak tahun 1984, MUI Pusat telah memfatwa ajaran Syiah berbeda dengan Sunni. Bahkan, MUI menyeru kepada segenap umat Islam Indonesia untuk mewaspadai ajaran Syiah ini. Kemudian pada tahun 2012, giliran MUI Jawa Timur yang keluarkan fatwa tentang kesesatan ajaran Syiah, kafir, menyimpang dari ajaran Islam. Lagi-lagi, alasannya hanya soal beda semata. Pertanyaannya, apakah yang beda itu sudah pasti sesat? Atas dasar apa seseorang bisa sebut orang di luar dirinya itu sesat atau tidak? Bukankah di mata mereka yang dipandang beda itu juga bisa memiliki persepsi yang sama atas mereka yang memandangnya demikian? Jika mau fair, berarti mereka juga sesat. Lagi pula, bukankah MUI juga merupakan kumpulan manusia-manusia biasa, bukan Dewa, yang secara pasti tidak pernah bisa memiliki kebenaran mutlak sebagaimana dengan-Nya?
Terlepas embel-embel sesat atau tidaknya, yang jelas, siapapun tidak boleh dilarang menyebarkan ide dan gagasannya, juga tidak boleh didikte harus belajar ini dan itu. Toh setiap manusia, apalagi yang berstatus mahasiswa, sudah bisa memilah mana yang baik dan mana yang buruk. Untuk apa lagi mereka dibatasi? Jangan-jangan apa yang dikatakan Abd A’la, Guru Besar Sejarah Pemikiran Politik Islam IAIN Surabaya itu benar adanya: orang yang alergi pada keberagaman adalah orang yang cenderung mengkhawatirkan masalah kekuasaan; jangan-jangan mereka berpikir kalau keragaman itu dibiarkan akan jadi ancaman bagi kekuasaan mereka?
***
Andai kiranya para founding fathers negeri ini masih ada, penulis yakin, mereka tentu akan teteskan air mata, jika bukan mengusir mereka yang tidak hargai perbedaan, yang melulu paksakan kehendak pada yang lain. Bagaimana tidak, pluralisme yang diletakkan meniscayakan adanya prinsip penghormatan dan penghargaan antar sesama, telah mengarah pada jalan yang menyimpang. Dominasi kelompok tertentu paksa kelompok lain hancur-lebur. Tak ada lagi kebersamaan, tak ada lagi sikap harga-menghargai, di atas kemajemukan bangsa. Kebenaran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Sila ke-5 Pancasila) tak mencuak lagi. Yang ada hanya kebenaran tunggal, menjadi asas mutlak bagi kelompok yang hendak mendominasi kelompok lain.
Mesti disadari. Krisis toleransi dan perdamaian yang terjadi di bangsa saat ini masih mengalir deras. Kerusuhan-kerusahan serta konflik-konflik sosial yang jamak dijumpai di berbagai daerah—lebih banyak diakibatkan karena perbedaan—sudah mengarah pada disintegrasi paling memprihatinkan. Kejadian-kejadian semacam itu seolah jadi tontonan lumrah dan menunjukkan bahwa keragaman cenderung jadi sumber pertikaian antar komponen bangsa. Kenyataan bahwa upaya membangun kesadaran akan arti pentingnya keberagaman, belumlah merupakan keniscayaan sepenuhnya. Hampir sebagian besar bangsa Indonesia saat ini belum/tidak memahami arti penting dari pluralisme itu sendiri. Ini dikarenakan—mengutip pandangan Bandem (2001), masyarakat belum meyakini secara sadar bahwa kehidupan teramat mungkin dibangun dalam naungan keberagaman.
Hari ini, juga harus disadari betul bahwa tiap-tiap pandangan dari mana atau apapun asalnya, pastilah melulu relatif. Artinya, tiada pandangan atau kebenaran yang benar-benar mutlak adanya. Ya, kita boleh saja mengatakan bahwa pandangan yang kita anut itu adalah yang paling benar. Akan tetapi, di dalam kemajemukan bangsa sebagaimana di Indonesia ini, sama sekali kita tidaklah boleh mengatakan bahwa (paham) saya yang paling benar, dan yang lain salah, sesat. Sembari kita percayai kebenaran tertentu, kita pun harus hargai kebenaran semacam itu yang ada pada diri (orang) yang lain. Dalam ranah inilah toleransi dibutuhkan: kita beda dan karena beda maka kita harus saling menghargai.
Tentu sangat disayangkan ketika ada kelompok tertentu jadi hakim bagi kelompok lain. Di sini, kita harus jeli lihat persoalan semacam itu. Biar bagaimanapun, sikap saling hormat-menghormati, harga-menghargai, tetap harus ditumbuh-suburkan dalam diri masing-masing. Islam sebagai rahmatan lil alamin sendiri telah meletakkan dasar-dasar tersebut dalam menyikapi perbedaan yang ada: “Bagimu agamamu, bagiku agamaku.”
Di zaman yang semakin kompleks penuh perbedaan ini, tak ada jalan bagi intoleransi bisa hidup. Mencontoh Nabi dengan segala sikap toleransinya dalam menyikapi perbedaan yang ada, adalah tatanan masyarakat yang mesti diperkokoh dan dikembangkan. Menghargai dan menghormati adalah kunci utama daripadanya, terlebih hidup di tengah pluralitas yang membiak dan beragam seperti di Indonesia ini.
Mari bersama-sama toleran dalam menyikapi perbedaan yang ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar