Saat ini Indonesia digemparkan dengan adanya berita pelecehan seksual terhadap anak atau disebut dengan istilah Pedofilia. Dari berbagai daerah di Indonesia, seperti di daerah Sukabumi, Jawa Barat misalnya. Seorang pemuda berinisial AS melakukan tindakan pelecehan seksual sebanyak 110 anak berumur antara 6 – 13 tahun. Tercatat sejak 1 Mei 2014 lalu, pelaku pedofilia ini resmi di bui. Selain itu di daerah Jakarta tepatnya di sebuah sekolah bertaraf Internasional yaitu JIS (Jakarta International School) juga terdapat pelecehan seksual yang dilakukan oleh petugas kebersihan sekolah tersebut. Hingga kini kasus tersebut masih dalam proses hukum di Polda Metro Jaya, Jakarta. Belum lagi kasus yang sama terjadi di daerah lain seperti di Pekanbaru, Medan dan Makasar.
Kita yang mendengar atau membaca berita-berita menjijikkan itu seolah tak percaya. Termangu dan ternganga kita dibuatnya. Namun inilah faktanya bahwa perbuatan-perbuatan itu telah terjadi dan berpotensi terulang kembali jika tidak ditangani dengan serius. Apalagi di zaman “edan” seperti ini, kondisi serta lingkungan seolah mendukung orang-orang untuk melakukan berbagai penyimpangan seksual. Na’udzubillahi mindzalik.
Diantara penyebab terjadinya penyimpangan seksual seperti pedofilia antara lain orang tua dan guru lalai dalam mendidik anak, kosongnya ruhiah, tipisnya agama, dan lemahnya iman. Selain itu senang membujang daripada beristri, tidak memanfaatkan waktu kosong, pergaulan yang buruk, mengutamakan penampilan (metroseksual), terbiasa melakukan perbuatan tercela seperti onani, membaca dan menonton film porno, mendengarkan musik yang berunsur seksualitas dan mendatangi tempat-tempat yang bisa membangkitkan gairah seksual seperti: kolam renang, dll. Serta kebablasan menggunakan media elektronik seperti televisi, video game dan yang paling rentan saat ini adalah penggunaan akses internet yang salah seperti facebook, twitter, youtube, dll.
Namun diantara berbagai penyebab penyimpangan seksual bukan tak adanya solusinya. Islam adalah agama fitrah dan risalah abadi sampai Allah mewariskan bumi dan segala isinya. Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin? Islam memandang pemenuhan syahwat dan naluri secara halal melalui pernikahan antara laki-laki dan perempuan. Artinya jelas Islam tidak melarang perbuatan seksual, bahkan itu merupakan salah satu amal soleh. Pelakunya berhak mendapatkan keridhaan Allah, balasan dan pahala dengan jalan pernikahan. Allah swt berfirman: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikannya diantara kamu rasa kasih dan sayang.” (QS. Ar-Ruum: 21)
Islam dengan tegas memberikan tuntunan kepada penganutnya bahwa pemenuhan syahwat dan naluri seksual adalah fitrah dan wajar tapi disalurkan pada jalan yang benar yaitu menikah. Dari sini kita dapat mengetahui bahwa Islam mengharamkan upaya menghindarkan diri dari perkawinan dan zuhud didalamnya dengan niat mengosongkan diri untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Terutama sekali jika mampu untuk menikah dan segala sarananya mudah ia dapatkan
Lantas bagaimana dengan yang belum mampu menikah? Rasulullah saw bersabda: “Wahai kaum pemuda, siapa saja diantara kamu telah mampu untuk menikah maka menikahlah, karena menikah dapat lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu peredam nafsu syahwat baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Solusi yang dapat diambil selain menikah adalah dengan berpuasa. Karena puasa dapat mengekang hawa nafsu dan gejolak hasrat seksual. Selain itu solusi lainnya yang penulis nukil dari sebuah buku berjudul Pendidikan Anak dalam Islam karya Dr. Abdullah Nashih Ulwan adalah antara lain: mempertebal keimanan pada Sang Khalik dengan banyak mengerjakan amalan soleh seperti sholat, dzikir, membaca Al-Qur’an. Lalu menyibukkan diri dengan aktivitas-aktivitas bermanfaat seperti mengikuti pengajian, membaca buku, menulis, berorganisasi, dll, serta dengan taubat nasuha bagi yang pernah terjerat melakukan penyimpangan seksual.
Terakhir, hendaknya kejadian-kejadian yang penulis paparkan diatas jangan dianggap sepele apalagi ringan. Akan tetapi harus dijadikan perhatian yang sangat serius oleh berbagai pihak. Antara lain oleh keluarga, lingkungan tempat tinggal, sekolah, masyarakat, tokoh agama dan pemerintah daerah setempat. Karena kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar