Media Informasi Pemuda Peduli Dhuafa Gresik (PPDG) || Website: www.pemudapedulidhuafa.org || Facebook: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Twitter: @PPD_Gresik || Instagram: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Email: ppd.gresik@gmail.com || Contact Person: 0838-3199-1684 || Nomor Rekening: 0335202554 BNI a.n. Ihtami Putri Haritani || Konfirmasi Donasi di nomor telepon: 0857-3068-6830 || #SemangatBerkarya #PPDGresik

Selasa, 06 Mei 2014

(Potret Tarutung) Salah Satu Barometer Kerukunan Umat Beragama di Indonesia

Memuji kota (daerah) kampung halaman adalah bagian dari atensi atau respek pribadi setiap orang tentang kampung di mana ia dilahirkan dan dibesarkan. Orang boleh memuji indahnya panorama Kota Padang, Bandung, Sukabumi, Bogor, Ternate, Bali,Surabaya, dan lain sebagainya, dengan ragam spesifikasi panorama, budaya, kuliner, dan tipikal masyarakat. Gambar atau potret tentang daerah-daerah akan lebih terbentang ketika itu disajikan dengan tulisan. Saya salut mencermati tulisan para sahabat kompasiner dari seluruh Indonesia yang telah menyajikan aspek spesifik dari kampung halaman masing-masing. Saya yakin kompasianer yang aktif menyumbang ide ke Kompasiana sudah mewakili seluruh penjuru Nusantara yang besar ini. Dan dari saya yang telah bergabung dalam barisan kompasianer, saya juga merangkum kampung halaman saya dengan reportase ini. Apa sih Kota Tarutung itu, di mana letaknya, apa saja yang ada di sana. Para kompasianer mungkin pernah dengar nama, seperti juga saya pernah dengar nama Purwokerto, Purbalingga, Banyumas, Sukabumi, Cirebon, Kuningan, tapi belum pernah ke sana, dan tak tahu banyak ada apa di sana. Mungkin tulisan ini sedikit agak panjang, dan saya tak tahu apakah akan banyak yang sudi membacanya. Salam kami orang Tarutung.
Tarutung, sering disebut Rura Silindung. Karena letaknya berada dalam sebuah rura(lembah), Tarutung diidentikkan dengan predikat Silindung. Padahal sebenarnya cakupan wilayah yang disebut Silindung lebih luas dari Tarutung. Orang menganggap konotasi Silindung itu termasuk kawasan Sipoholon, Pansurnapitu yang sekarang menjadi kecamatan Siatas Barita, bahkan juga sebagian kawasan Pahae. Terletak dalam sebuah lembah, sepintas Tarutung bagai terukir dalam sebuah kuali besar, dikelilingi pegunungan dari delapan penjuru.
Dilihat dari peta kecamatan, Tarutung seluas 200,60 kilometer, dengan jumlah penduduk (2005) 47.529 jiwa. Kota Tarutung adalah kota bersejarah, baik dari segi pemerintahan, budaya, dan agama. Pada masa pemerintahan Belanda, di kota ini ada sekolah MULO, dan menjadi pusat penyebaran agama Kristen yang dipilih oleh Dr IL Nommensen. Kompleks Pearaja di pinggiran Tarutung sebelah selatan, hingga kini menjadi pusat HKBP, konon sekte protestan terbesar di Asia Tenggara.
Menurut legenda, Tarutung bermula dari sebuah perkampungan kecil pada abad 18. Nama Tarutung diambil dari sebuah pohon tarutung yang berarti durian. Di bawah pohon itulah dulunya, konon para pedagang antarkampung berkumpul untuk barter produksi hasil bumi.”Di bona ni durian i ma hita pajumpang” (di bawah pohon durian itulah kita bertemu). Demikian bahasa janji pedagang antarkampung ketika itu. Lama kelamaan ucapan itu semakin mengental, dan akhirnya menjadi nama kota Tarutung yang sekarang. Di bawah pohon durian itu, pomparan Guru Mangaloksa (PGM) terdiri dari marga Hutabarat, Panggabean, Hutagalung, Hutatoruan (Tobing) pernah mengadakan syukuran besar. Di sana dibangun sebuah monumen kecil, dengan prasasti bertuliskan tahun 1887. Tulisan itu berupa prakiraan bahwa pohon tersebut sudah ada tahun 1887. Keturunan PGM merupakan marga yang dominan menghuni Rura Silindung (lembah yang terlindungi) dalam pengertian raja huta.
Kota Tarutung memang sebuah kota kecil tapi memiliki daya tarik tersendiri, dengan panorama alam yang indah. Di sebelah selatan kelihatan Dolok Martimbangmenjulang dengan kehijauan yang masih terpelihara. Konon nama Dolok Martimbangpernah ditabalkan menjadi nama pesawat kepresidenan, setelah Bung Karno berkunjung ke Tarutung tahun 1955.
Di sebelah Barat lembah ini terdapat perkampungan Simaung-maung yang terkenal sejak dulu, bersambung ke pebukitan tangsi arah ke kota. Lokasi tangsi ini sejak zaman Belanda dijadikan sebagai tangsi militer. Di sana dibangun asrama militer dan perkantoran, yang masih digunakan hingga sekarang.Di bagian depan kantor bupati Taput, berdiri Tugu Sisingamangaraja XII menjadi salah satu ikon kota Tarutung. Dan masih sederetan dengan tangsi, di bagian paling ujung arah Siwaluompu berdiri RSU Tarutung dengan megah, tepat berhadapan dengan jembatan Naheong pintu masuk ke kota Tarutung dari arah Timur.
Di jantung kota, tepatnya jalan Sisingamangaraja, kini terdapat sederet gedung dengan arsitektur khas Batak, yakni Gedung DPRD, Gedung KesenianSopo Partungkoan, dan filial kantor bupati. Bangunan besar ini menjadi ikon kota seperti halnya Tugu Sisingamangaraja XII.
Sementara itu sejauh mata memandang ke puncak Dolok Siatas Barita di sebelah timur, terdapat bangunan monumen Salib Kasih yang menjadi kebanggaan masyarakat Silindung dan Tapanuli Utara. Monumen ini digagas dan dibangun Bupati Lundu Panjaitan pada 1993, kemudian ditingkatkan para bupati penggantinya dari waktu ke waktu.Seiring dengan dibangunnya monumen salib setinggi 31 meter itu, mottoTarutung Kota Wisata Rohani, ditabalkan pemerintah untuk kota berhawa dingin sejuk ini. Dari ketinggian bukit sebelah timur, bisa disaksikan pesona kota Tarutung di bawah lembah. Pada malam hari, kota itu sering diibaratkan Hongkong atau Singapura, dipandang dari kejauhan. “ Kota ini betul-betul memendam pesona alami, siapa pun akan tertarik untuk menikmati panorama, terutama malam hari”, bisik artis penyanyi Batak Tetty Manurung satu ketika saat berbincang dengan penulis. Dan Regina the winner kontes Indonesia Idol 2013, merasa beruntung bisa berkenalan dengan sebuah kota sejuk seperti Tarutung. ”Amazing, amazing,” cetusnya menyatakan takjub pada malam berkeliling sesaat jelang tampil menghibur warga Tarutung di Lapangan Serbaguna. Di pegunungan ini pula belakangan dibangun lagi Patung Yesus setinggi 45 meter (belum selesai hingga Mei 2014 saat tulisan ini dibuat). Untuk pembuatan patung ini, dianggarkan biaya Rp 6,2 miliar. Bah!
Persis di tengah kota, mengalir Aek Sigeaon, yang selama ratusan tahun melintas dengan setia membelah Tarutung menjadi dua. Sungai yang airnya kekuningan ini menjadi sahabat yang baik bagi penduduk, tapi menjadi sumber petaka saat banjir. Beberapa kali tanggul sungai pernah jebol. Untunglah pemerintah segera melakukan perkuatan tanggul dengan tembok permanen, sehingga bahaya banjir bisa diantisipasi.Samsul Sianturi, salah satu calon bupati Taput pada pilkada 2008,mengaku kagum pada panorama alam Lembah Silindung.”Tidak banyak kota di dunia ini yang dibelah sebuah sungai seperti Tarutung. Tapi disayangkan, belum ada niat yang serius dari pemerintah setempat mengolah potensi keindahan ini menjadi sesuatu yang layak dibanggakan”, ungkapnya ketika membaur dengan sejumlah warga yang bergotongroyong di hulu Bondar Panaharan, Desa Parbaju Juli 2009 silam. Bahkan Samsul terobsesi, seandainya terpilih jadi Bupati, akan ”menyunglap” Aek Sigeaon sedemikian rupa menjadi sebuah area wisata lokal dengan ragam tampilan eksklusif. Tanggul akan ditata dengan mengijinkan warga membuat usaha kuliner ringan, sehingga Tarutung makin hidup.
Masih menopang tag (label) kota wisata rohani, Pemkab Taput juga membangun sebuah Menara Lonceng di simpang empat kota, walaupun belakangan warga heran karena bunyi lonceng seperti jarang terdengar. Kalau pun sesekali terdengar, suaranya sayup-sayup. Sebagai wilayah dengan penganut mayoritas Kristen Protestan, wajar di sini ditemukan banyak bangunan gereja, tak hanya di desa juga di perkotaan. Karena banyaknya gereja, sampai ada yang bilang Tarutung ”Kota Gereja”. Bahkan ada yang bilang, Tarutung adalah potret sebuah daerah di mana kerukunan umat beragama terjaga dengan baik sejak dulu hingga sekarang. Meski dihuni mayoritas Nasrani, umat non Muslim senantiasa merasa nyaman dengan toleransi khas masyarakatnya.
Jangan lupa, Rura Silindung juga terkenal dengan pemandian aneka jenis, yang mendukung pesona alami yang dimilikinya. Di Sipoholon ada aek rangat (air hangat) belerang yang puluhan tahun dieksploitasi penduduk menjadi tempat pemandian umum. Di Ugan jalan Sibolga, ada pemandian air hangat-hangat kuku yang bersumber dari kawasan pebukitan. Di Parbubu ada kolam pemandian Aek Rara (air soda) bernuansa magis yang konon sudah berusia seratus tahun lebih. Konon sumber air sejenis ini hanya ada dua di dunia, satu di Parbubu Tarutung dan satu lagi di Venezuela. Itu kata Drs RE Nainggolan, mantan Bupati Taput. Atau mau mandi air dingin seperti es? Ada air alami di kampung Simarlai-lai Pansurnapitu. Dinginnya menusuk sampai ke sumsum, tapi sangat diminati banyak orang.
Perantau asal Tarutung sering melontarkan kritik ketika satu saat mudik. Katanya, Tarutung begitu-begitu saja, tak ada perobahan atau perkembangan. Masih banyak jalan yang rusak, tak terurus.Rumah-rumah tua di pusat kota masih banyak yang belum berubah, tanpa sentuhan renovasi, walau beberapa di antaranya memang sudah diperbaharui. Mereka seperti sulit bersikap jujur mengakui berbagai perobahan yang terjadi di kota itu. Meski pun Tarutung kota kecil yang luasnya terbatas karena diapit pegunungan di sebelah Timur dan Barat,tapi kota ini terus berkembang tidak di pusat kota, melainkan melebar ke berbagai arah. Itu tampak di kawasan jalan Pahae arah Hutagalung sampai Pansurnapitu, kawasan jalan Sipoholon, jalan Hutabarat, dan kawasan hinterland lainnya seperti Saitnihuta. “Karena perkembangannnya mengarah ke pinggiran, perubahan kota tidak kentara”, ujar Ompu Arenz Simanjuntak seorang warga yang mudik ke Tarutung September tahun ini.
Brand yang kini dilekatkan pada Tarutung sebagai “Kota Wisata Rohani”, sesungguhnya menjadi beban moral tersendiri bagi pemerintah dan masyarakat setempat. Faktor keamanan saja tak cukup mendukung brandtersebut. Pada akhirnya, bagaimana perilaku setiap warga di kota ini, dituntut harus sejalan dengan motto wisata rohani yang kini sudah tersebar kemana-mana. Adalah ironis, ketika orang yang datang berwisata rohani ke Tarutung, dikejutkan misalnya oleh hiruk pikuk yang timbul di kedai tuak. Atau ketika wisatawan mengikuti kebaktian di gereja, tapi jumlah jemaat gereja yang hadir bisa dihitung dengan jari. Adalah memalukan, manakala terbaca berita di salah satu koran, 5 orang perempuan penjaja diri (maaf) tertangkap petugas Satpol PP dari area Salib Kasih beberapa waktu lalu.
Setidaknya, life style (gaya hidup) orang Batak yang menghuni kota Tarutung harus merefleksikan sikap “anak ni raja”, yang tercermin dari filosofi leluhur berlandaskan Dalihan Natolu. Predikat anak ni raja dituntut harus berbanding lurus dengan penekanan kata anak na raja. Dalam arti, raja do na ro, raja do nang na nidapothon (raja yang datang, raja juga yang
menerima). Ungkapan itu memberi makna yang luas, karena predikat rajabagi orang Batak, merefleksikan makna parpatik ( mematuhi aturan-aturan),partutur ( bergaul dalam koridor Dalihan Natolu),partamue ( terbuka menerima kehadiran orang lain), paradat ( konsisten dengan kesantunan), dan parugamo (taat pada ajaran agamanya), sebagaimana dinyatakan Ketua KERABAT ( Kerukunan Masyarakat Batak) HP Panggabean,SH, dalam suatu wawancara di Tarutung, akhir Maret 2007 silam.
Modernisasi yang mengarus deras pada kehidupan orang Batak, merupakan kodrat alami yang tak terhindarkan, tak terkecuali warga Tarutung, khususnya kawula mudanya. Dalam konteks itulah, predikat brand ”kota wisata rohani”, menjadi sebuah beban tidak ringan yang harus dipikul segenap warga kota Tarutung.
Tarutung kota wisata rohani, terinspirasi dari nama besar dan jasa pengabdian Dr Ingwer Ludwig Nommensen, yang telah ditabalkan sebagai Apostel Orang Batak. Harus diakui, perkembangan kota Tarutung dari masake masa selalu terkait dengan nama Nommensen. Bahkan konon, Tiga Pilar Pembangunan Pemkab Tapanuli Utara, yakni Pertanian, Pendidikan, Kesehatan, terinspirasi dari 3 (tiga) ojahan (landasan) strategi filosofis yang diletakkan Nommensen dalam menyejahterakan umat manusia. Nommensen tidak hanya berkutat pada pembangunan rohani kekristenan dengan mendirikan gereja, tapi juga membangun sekolah (pendidikan), dan rumah pengobatan (kesehatan). Jejak dari tiga strategi kebijakan itu, hingga sekarang masih bisa ditemukan di dusun Onan Sitahuru Desa Saitnihuta Tarutung.
Tiga Pilar Utama Pembangunan Tapanuli Utara, sudah benar. Tapi yang menjadi pertanyaan: kenapa tidak Empat Pilar sekalian,plus agama?
Pasca dilantiknya pasangan Nikson Nababan/Mauliate Simorangkir menjadi pemimpin pemerintahan Tapanuli Utara, tentu banyak sisi-sisi menarik dan penting bakal jadi prioritas perhatian dalam konteks tata kota.Bupati Nikson misalnya secara khusus telah turun mencermati trotoar di tepi Jalan Diponegoro, dan langsung menggagas agar lokasi ini ditata dengan baik untuk menghidupkan jalan yang selama ini terkesan ”mati”. Aspek kebersihan juga mendapat perhatian bupati yang terpilih dengan Konsep Perubahan itu. Masyarakat yakin, perubahan demi perubahan bakal hadir di wilayah ini. Tapi, tentu itu tak semudah membalik telapak tangan. Itu membutuhkan proses, secara bertahap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar