Media Informasi Pemuda Peduli Dhuafa Gresik (PPDG) || Website: www.pemudapedulidhuafa.org || Facebook: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Twitter: @PPD_Gresik || Instagram: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Email: ppd.gresik@gmail.com || Contact Person: 0838-3199-1684 || Nomor Rekening: 0335202554 BNI a.n. Ihtami Putri Haritani || Konfirmasi Donasi di nomor telepon: 0857-3068-6830 || #SemangatBerkarya #PPDGresik

Sabtu, 10 Mei 2014

Aku Kehilangan Merah Putih di Tanah Legian

Menyusuri hiruk-pikuk Jalan Legian dan lingkungan sekitar Pantai Kuta membuat merah mataku. Tanpa terasa air mata turun mengalir perlahan menyusuri pipi yang sudah tidak halus lagi. Berkerut dahi ini menyaksikan ketika aku sudah kehilangan merah putih di tanah airku sendiri yang kucintai.
13996888041216856785
Rasa menyesal menumpuk di dada. Beban berat seolah menghimpit mematikan rasa. Mungkin ini bukan salah siapa-siapa. Mungkin hanya perasaanku saja yang merantai mata hatiku yang kecil ini.
Kehidupan malam Legian dan Pantai Kuta sungguh menampilkan keadaan yang bukan “milikku”, dan juga bukan “milik Indonesia” lagi.
Jejeran klub malam dan tempat bersuka, riang menghentak memecah kesunyian malam Kuta. Di depannya berdiri 2 sampai 5 gadis muda berbikini sambil memegang sebotol vodka. “Ayo Mampir. Having fun, Right here,” sahut mereka memanggil para jejaka tampan dari seluruh penjuru dunia.
13996875011175035855
www.suryapratamatravel.blogspot.com
Kutengok kepala ke arah dalam sebuah klub dengan panggung terbuka menghadap ke jalan Legian. Seorang Pemuda lokal tampan bercelana renang sedang meliuk-liukkan tubuhnya mengiringi dentuman musik hingar bingar. Di sampingnya seorang gadis dengan bawahan dibalut kain bali dan atasan hanya menutupi dada saja. Terkadang gerakan mereka mesra. Terkadang menjauh mencari mangsa penonton yang ikut berdansa.
Di pinggir jalan, kerumunan pemuda pemudi dari negara lain sedang asyik bercengkerama dengan bercanda tertawa lepas, terkadang liar tergelak. Ada seorang muda yang tiba-tiba menggerakkan kepalanya mencium gadisnya yang hanya berbaju seperti perenang saja. Aroma alkohol keras menyengat.
13996872611621362646
(gambar dari www.smh.com.au)
Di bagian lain, kucoba mengalihkan perhatianku pada beberapa butik. Di dalamnya terpajang beberapa merek dunia. Terkenal dan mahal. Kuraih saku belakangku. Wah baju-baju bagus ini tak bisa kuraih walau hanya dengan telapak tanganku yang setiap hari bekerja memeras keringat memutar otak untuk dapur yang harus mengebul. Huruf ‘$” di samping angka-angka itu kembali memerahkan mataku.
Taksi-taksi biru ini pun tak kalah berbaris rapi menunggu hantaran barunya. Mereka hanya bisa jadi penonton. Melihat wajah riang memerah tertawa, menari, memercikkan air botol ke bibir mereka. Meniup asap putih beraroma ke wajah mereka. “Bali seperti surga dunia,” kata mereka.
Dengan berlinangan air mata karena sedih, kuhela napas kecil. Di sudut jalan, ada seorang anak kecil berpakaian lusuh, rambut kucel seperti belum pernah dimandikan sedang menangis menggendong adiknya. Adiknya yang masih bayi merah tidak bisa diam meronta-ronta kelaparan. Sang kakak hanya bisa menggendong sambil berusaha menenangkan si adik. Ia juga menangis. Bila si adik bayi sepertinya menangis kelaparan, sang kakak sepertinya menangis tidak tahu harus berbuat apa untuk bisa menenangkan adiknya itu. Uang tidak ada untuk bisa membelikan adiknya sebotol susu. Bukan hanya susu saja, sang kakak tidak bisa menutupi rasa ketakutannya pada kehidupan malam yang membutakan ini.
Ah, perih rasanya dada ini. Ke manakah Merah Putihku di dada mereka?
Aku seperti melihat suramnya Indonesiaku di Legian ini. Ada yang sedang mabuk tertawa menyambut kemenangan semu yang sudah ia raih dengan sebotol anggur di dada. Ada yang sedang asyik menari menghentak mengikuti irama. Ada juga yang perutnya lapar dan hidup compang-camping. Mereka menjadi penonton yang sedang mabuk.
Air mata mengalir. Aku sudah kehilangan merah putihku di Legian. Kehalusan budi, kesopanan timur, kecantikan alami, kejernihan pikir dan hati seolah dibumihanguskan di sini. Meraja emosi dan ambisi mengemuka di sini. Semua ingin menang. Semua ingin senang. Dan tak mau melihat yang kalah dan lapar.
Remang-remang dan hingar-bingar musik serta hilir mudik mereka berpakaian seronok membutakan mata hatiku. Aku sudah lupa warna benderaku. Aku sudah lupa kelima warna Indonesiaku. Aku sudah lupa ketuhananku, kemanusiaanku, persatuanku, kemajemukanku dan keadilanku. Buas dan lapar, menikung sesama dan membunuh karakter lugu manusia. Itulah yang kudapat di sana.
Kemana Merah Putih di Legian Kuta? Apakah sudah hilang terkikis dengan kehadiran manusia pembawa visa? Manusia predator yang siap menerkam budayaku? Manusia canggih yang menelan peradabanku? Ke mana merah putihku? Biar malam saja yang menjawab dengan kelabu.
Note: Ini Ungkapan Kesedihan karena aku tidak melihat “Indonesia” di Legian Kuta lagi. Mohon maaf bila tidak berkenan tidak perlu marah dan berkomen menentang. Indonesia kaya raya akan budaya dan adat yang sopan, ramah, bersih dan memegang adat ketimuran kini tidak ada di Legian. Maaf, jika engkau menganggapku berlebihan, silakan. Karena setiap orang berhak menulis apa yang ia rasakan. Dan inilah perasaanku di sana, di tanah airku sendiri, Tanah Legian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar