Setelah membaca puisi-puisi Gus Mus (meski tanpa tahu bahwa beliau adalah seorang kiai), mungkin semua akan beranggapan sama, bahwa Gus Mus adalah salah seorang yang memiliki kedekatan khusus dengan Tuhan. Mengingat dalam bait-baitnya seringkali ditemukan kata Tuhan, baik dalam bahasa Indonesia maupun Arab. Dari sini saja sudah terlihat, melalui puisi, Gus Mus mengingatkan pembaca untuk selalu ingat dengan Tuhan.
Tuhan, kami sangat sibuk.
(Keluhan)
Puisi yang diberi judul Keluhan tersebut hanya terdiri dari satu bait. Kata Tuhan ini menduduki tempat yang dipanggil, atau dalam bahasa Arab, yang dipanggil itu disebut munada. Munada harus dibaca nasab, karena sebenarnya dia menempati tempatnya maf’ul bih (objek), yang pada asalnya adalah ada sebuah kalimat fi’il (kata kerja) yang dibuang karena tanpanya pun kalimat tersebut tetap bisa dipahami.Adapun kata kerja yang dibuang tersebut adalah “aku memanggil”. Karena Tuhan pada bait puisi tersebut mengandung makna panggilan, maka jelas keluhan tersebut mengarah atau ditujukan kepada Tuhan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sendiri, Keluhan berasal dari kata keluh, yang berarti ungkapan yang keluar karena perasaan susah (karena menderita sesuatu yang berat, kesakitan dan sebagainya). Keluhan diambil menjadi sebuah judul memberi pemahaman bahwa penulis atau pengarangnya ini sedang mengalami masalah. Karena kedekatannya dengan Tuhan, maka Gus Mus menceritakan masalahnya langsung kepada yang memberi masalah tersebut.
Inilah masalahnya, “Kami sangat sibuk”. Sibuk berarti banyak kerjaan. Sehingga banyak waktu yang digunakan untuk mengerjakan sesuatu dan sedikit waktu untuk mengerjakan sesuatu yang lain. Bila dikaitkan dengan Tuhan, akan memberi arti tidak ada waktu untuk mengingatNya. Masalah yang mungkin amat pelik bagi seorang yang sudah mencapai derajat tasawwuf ini.
Yang menjadi pertanyaan di sini, siapa yang disebut kami dalam puisi tersebut? Kenapa Gus Mus lebih memilih diksi “Tuhan”, tidak “Allah” saja?
Perilaku bangsa saat itu, lupa bahwa mereka beragama. Beragama tentunya memercayai adanya Tuhan, tetapi mereka lupa bahwa Tuhan itu ada. Dalam Islam sendiri, mengingat Tuhan itu ada tiga macam cara, yaitu:
Pertama, dengan lisan. Mengingat Tuhan dengan mengucapkan namaNya. Biasanya, ini dilakukan dalam salat atau setelah salat. Bagi umat Islam tradisionalis, mereka lebih sering mengingat Tuhan dengan cara ini, karena ini adalah cara termudah bagi orang-orang awam. Biasanya, mereka mengadakan tahlil (membaca kalimat tayibah) untuk memperingati wafatnya seorang muslim atau dalam rangka pesta pernikahan dan pesta khitanan. Selain itu, mereka juga mengingat Tuhan dengan membaca surat yasin dan sebagainya.
Kedua, dengan akal pikiran. Akal menjadi keunggulan manusia, karena hanya manusialah yang diberi akal. Bahkan, dalam ilmu logika sendiri, manusia adalah hewan yang berakal. Manusia disamakan dengan hewan, hanya akallah yang membedakannya. Allah sering sekali mengingatkan dalam Al-Qur’an, apakah kalian tidak berfikir? apakah kalian tidak berakal?. Ini menunjukkan keistimewaan akal dan manusia. Mengingat Tuhan dengan akal pikiran adalah dengan mengetahui sendiri makhluk hidup atau dunia itu sendiri seperti apa menurut pemikiran logika.
Ketiga, dengan hati. Hati adalah anggota tubuh yang paling buruk dan paling baik, tergantung orangnya seperti apa. Paling buruk, tentu ketika orang tersebut menggunakan hati untuk iri, dengki, dan berburuk sangka. Adapun hati bisa menjadi paling baik adalah ketika digunakan untuk mensyukuri nikmat-nikmat Allah.
Tidak melaksanakan salat bagi penganut agama Islam, tidak mengikuti kebaktianpada hari minggu di gereja bagi umat kristiani, dan sebagainya. Selain itu, masalah bangsa semakin banyak, pemerintahan yang otoriter pada saat itu, semakin memperparah keadaan.Maka dari itu, karena kepekaan seorang Gus Mus, lahirlah puisi singkat dan sarat makna ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar