Media Informasi Pemuda Peduli Dhuafa Gresik (PPDG) || Website: www.pemudapedulidhuafa.org || Facebook: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Twitter: @PPD_Gresik || Instagram: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Email: ppd.gresik@gmail.com || Contact Person: 0838-3199-1684 || Nomor Rekening: 0335202554 BNI a.n. Ihtami Putri Haritani || Konfirmasi Donasi di nomor telepon: 0857-3068-6830 || #SemangatBerkarya #PPDGresik

Rabu, 14 Mei 2014

Pemerintahan Baru: Merger Kemenakertrans dan Kemendikbud

Meski masih lama, dan juga belum jelas siapa yang bakal mendapat mandat dari rakyat untuk memimpin Indonesia, namun tuntutan agar presiden yang baru nanti mengangkat menteri professional (sering disebut juga sebagai zaken cabinet) sudah mulai diangkat ke media. Pengangkatan menteri yang didasarkan atas keterwakilan partai, tanpa melihat profesionalitasnya, susungguhnya adalah mengorbankan masa depan bangsa sendiri.
Tulisan ini secara khusus ingin membangun opini bahwa bagian dari agenda presiden yang akan datang adalah menggabungkan dua kementerian sebagaimana telah disebutkan di judul. Beberapa negara lain ternyata memiliki pengalaman yang sama, penggabungan tetapi ada juga pemisahan dua kementerian di atas. Jadi opini ini tentu sejujurnya bukan hal baru. Namun ingin lebih dekat, mengapa penggabungan itu perlu untuk konteks Indonesia. Dua kementerian di atas memiliki irisan yang sama dalam hal menyiapkan tenaga kerja terampil, terutama pada dua level pendidikan yaitu pendidikan kejuruan dan perguruan tinggi. Dua jenjang ini secara legal mempersiapkan lulusannya untuk bekerja (Penjelasan pasal 15 UU Sisdiknas).
Indonesia, menurut penulis, mengalami kerumitan luar biasa dalam hal regulasi dan kebijakan pendidikan dan ketenagakerjaan. Kerumitan itu diperparah oleh (mungkin) faktor budaya yang sering disebut ego sektoral. Contoh yang ingin penulis sampaikan adalah kebijakan tentang Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) dan juga yang lebih baru, Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI).
Banyak regulasi di dua sektor ini yang seakan disusun tanpa melirik satu sama lain padahal sesungguhnya mereka mengatur hal yang sama. Dari sisi waktu, keduanya tampak seperti balapan, UU Naker lebih dulu beberapa bulan daripada UU Sisdiknas di tahun 2003. Lalu Kepmen SKKNI keluar pertama kali tahun 2003 juga. Setahun kemudian (2004) terbit Peraturan Pemerintah (PP) tentang BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi). Tak mau kalah, tahun berikutnya PP BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) diketok Presiden. Pada tahun 2006 muncul dua lagi yang seharusnya saling merujuk, yaitu PP tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional dan Peraturan tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL) di mana SKL SMK juga diatur. Lalu tahun 2012 terbitlah PP tentang KKNI di mana paling tidak SKKNI disebut dua kali. Kemendikbud tampak sangat bersemangat dengan KKNI, namun SKKNI sebagian bagian integral dengan BNSP seakan tidak ditaati.
Titik singgung yang seharusnya diutamakan demi kepentingan nasional, daripada kepentingan departmen atau lebih parah kepentingan pejabatnya antara lain adalah, sekolah kejuruan (SMK) menurut UU Sisdiknas mempersiapakan siswa untuk bekerja di bidang tertentu. SKKNI yang sertifikasinya dikelola BNSP adalah regulasi yang mengembangkan standar kompetensi kerja. Alih-alih keduanya saling bekerja sama agar siswa terampil menurut kompetensi yang dituntut oleh stakeholders, ternyata Kemendikbud mengembangan sertifikasi sendiri yang pengelolaannya tidak merujuk BNSP.
Kerumitan juga muncul di lapangan dan membuat orang bingung. Karena ada sertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) milik BNSP dan ada Lembaga Sertifikasi Kompetensi (LSK) yang dikelola salah satu direktorat di Mendikbud . Sertifikasi kompetensi model LSP yang rujukannya the Regional Model Competency Standards nya ILO) hanya punya dua kriteria: Kompeten atau Tidak Kompeten. Sementara LSK menerbitkan sertifikat kompetensi dengan nilai (seperti ujian tulis). Saya tidak faham juga pedoman itu merujuk dari dunia mana. Yang lucu adalah beberapa guru SMK juga asesor menjadi agen ganda untuk LSP dan LSK, tergantung siapa yang meminta nya.
Kalau kedua kementrian di atas digabung atas nama national interest, apa yang muncul di lapangan sebagai “rebutan kue” seperti ini mungkin bisa dihindari. Saya tidak tahu, apakah hilangnya kata “mempersiapakan untuk bekerja” di SKL SMK 2006 lalu berubah menjadi “melanjutkan ke pendidikan tinggi” hanya gara-gara menghindari rebutan kue ini?
Di sisi lain, Menakertrans juga kerja ekstra di bagian anggaran karena sebagain programnya harus dibicarakan dengan DPR Komisi Pendidikan serta sebagian anggaran yang lain dibicarakan dengan Komisi Ekonomi. Rumit bukan? Kalau nanti Cak Imin jadi Menko Kesra, sementara saat ini NU yang memimpin Kemendiknas, merger ini diharapkan bisa mulai dibicarakan secara kekeluargaan. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar