Selasa, 1 April 2014, bertempat di Epicentrum XXI di kawasan Rasuna Epicentrum, saya beruntung berkesempatan melihat gala premier (pemutaran perdana) film Sepatu Dahlan, sebuah film adaptasi dari novel Mega Best Seller (Konon sudah terjual lebih dari 130.000 eksemplar) dengan judul sama karangan Khrisna Pebichara, terbitan Nourabooks, Jakarta.
Dihadiri oleh Dahlan Iskan beserta istri, dengan hampir seluruh artis pendukung, Gala Premier berjalan penuh meriah. Tiga studio yang disewa oleh Mizan Production, Semesta Pro & Expose Pictures selaku produser film ini, hampir penuh tanpa tersisa hingga bangku depan. Puluhan wartawan dari berbagai media cetak memenuhi ruangan. Maklum, Dahlan Iskan adalah salah satu peserta konvensi calon presiden dari Partai Demokrat. Dan dari hasil berbagai survey sementara ini nama Dahlan Iskan masih unggul dibandingkan dengan kandidat lain seperti Gita Wiryawan dan Anies Baswedan.
Pertanyaan tentang apakah ada intervensi ataupun pesan-pesan Dahlan dalam film ini ditepis Dahlan dari awal. Dahlan menegaskan tidak ada satupun intervensi yang dilakukannya, bahkan dari mulai saat pembuatan novelnya. “Silahkan tanya para pemain, penulis naskah, hingga sutradara, semuanya adalah murni kreasi dan karya seni”, begitu Dahlan menegaskan.
Adegan dimulai saat Dahlan kecil (diperankan dengan baik oleh pendatang baru Aji Santosa) bersama teman-temannya sedang mencuri sebatang pohon tebu. Saat mereka sedang berusaha mencuri, tiba-tiba datang sang mandor penjaga tebu dan merekapun lari terbirit-birit. Dikejar tiga orang penjaga, mereka tertangkap dan dilaporkan kepada kedua orang tua masing-masing.
Bapak Iskan, ayahnya Dahlan (diperankan oleh Donny Damara) adalah sosok pekerja keras yang pantang menyerah. Bapak Iskan walaupun miskin selalu memegang martabat yang tinggi. “Walaupun kita miskin, pantang kita meminta-minta. Kerja keras dan jangan berhutang. Hiduplah dengan apa yang kita punya. Jangan memaksakan diri”, begitu beberapa prinsipnya. Mengetahui Dahlan kecil mencuri, Ayahnya menghukumnya dengan memukul tangan Dahlan dengan kayu hingga berdarah. Sang ibu (diperankan dengan baik oleh Kinaryosih. Melihat dan mendengar Kinaryosih bersenandung bahasa Jawa sepanjang film, rasanya kita melihat Kinaryosih yang berbeda dibandingkan sosok model cantik yang biasa kita lihat. Dan malam itu, Kinaryosih memang tampil cantik sekali) adalah ibu yang sangat bijaksana. Sama-sama pekerja keras, tetapi jiwa keibuan yang dimunculkannya membuatnya rela tangannya terpukul oleh kayu yang dipukulkan oleh ayah Dahlan, demi melindungi anaknya. “Sudahlah, Pak. Kan hanya mencuri satu batang tebu”, begitu ujarnya. Dengan dingin, pak Iskan bilang: “Ini menjadi pelajaran. Kalau mencuri yang kecil dibiarkan, nanti lama kelamaan ia terbiasa, lalu mencuri yang besar”.
Hampir sepanjang film, kita disuguhi oleh potret kemiskinan keluarga Dahlan. Dahlan kecil hingga SMP adalah Dahlan yang tidak punya sepatu. Ayahnya bekerja serabutan, mulai mengumpulkan kayu bakar di hutan dan menjualnya di pasar, membuat sapu lidi, hingga memelihara kambing orang lain. Semuanya dilakukan dengan penuh kerja keras. Sang Ibu membantu ekonomi keluarga dengan membatik untuk tetangganya. Tentu saja itu semua tidak cukup untuk membiayai kehidupan sehari-hari mereka.
Satu nilai yang sungguh hebat ditunjukkan adalah betapa orang tua Dahlan sangat peduli dengan pendidikan. Dahlan adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Dua kakak perempuannya (Diperankan oleh dua artis muda Amyra Jessica Ritcher dan Elyzia Mulachela. Menurut saya sih mereka “terlalu cantik” untuk menjadi kakak Dahlan kecil yang “hitam dan kucel”) melanjutkan kuliah di Madiun. Mereka bisa kuliah hasil dari penjualan kambing yang dimiliki oleh Pak Iskan. Oleh Pak Iskan, masing-masing anak diberikan satu kambing yang akan dijual pada saat mereka membutuhkan biaya kuliah nanti. Kambing-kambing itulah yang memang bisa menyekolahkan mereka hingga tinggi.
Cerita ini mengambil setting mulai dari Dahlan kecil hingga SMP. Dahlan yang mengaku pernah tidak naik kelas dan terdapat beberapa nilai merah dalam ijazahnya memang setiap harinya tidak bisa memfokuskan dirinya untuk belajar. Dahlan harus berjalan berkilo-kilometer setiap harinya dari rumah menuju sekolah, tanpa alas kaki karena memang orang tuanya tidak sanggup membelikannya.
Cita-cita Dahlan untuk mempunyai sepatu dan sepeda inilah yang menjadi jalinan cerita dari awal hingga akhir film. Sebuah jalinan cerita sederhana, tetapi menggambarkan kepiluan sepanjang film ini berlangsung. Bagaimana di tengah-tengah Dahlan menuntut ilmu, harus kehilangan ibunya karena sakit saking kerasnya bekerja demi untuk membelikan Dahlan sepatu (dalam novel ibunya meninggal karena dikirim santet). Adegan ibunya meninggal, dan bagaimana selama ibunya dibawa ke rumah sakit di Madiun, Dahlan harus menjaga adiknya setiap hari dan tetap sekolah, kadang tidak makan nasi seharian karena tidak ada uang, menambah pilu suasana cerita. Film ini, kalau boleh disebut memang menawarkan perjuangan dan tekad kuat, di tengah kepiluan dan keterbatasan. SepatuDahlan ingin menunjukkan bahwa kemiskinan, keterbatasan, tidak boleh menghalangi kita bekerja keras dan bercita-cita tinggi. Keterbatasan justru harus dilawan, harus menjadi penyemangat untuk hidup lebih baik.
Dahlan yang terpilih menjadi anggota tim inti Bola Voli Pesantren Takeran, tempatnya bersekolah, harus berlatih setiap hari tanpa sepatu. Saat teman-teman dan guru-guru berpatungan membelikannya sepatu, Dahlan malah menangis karena menganggap dirinya telah menyusahkan orang tuanya. Di sinilah peran Teuku Wisnu Rikana sebagai ustadz pembimbing di pesantren tersebut patut diacungi jempol. Bagaimana dengan dingin dan lembut ia berhasil menasehati Dahlan tanpa marah-marah, dengan penuh kasih sayang. Dahlan kecil yang tadinya murungpun akhirnya kembali ceria.
Dengan kerja keras pula, akhirnya Pak Iskan berhasil memberikan Dahlan sepasang sepatu. Dahlan sangat bergembira. Tetapi bukan sepatu itu yang membuatnya terus melaju, tetapi hasrat, tekad, dan perjuangan hebat yang ada dalam dirinya.
Film ini sarat dengan nilai-nilai yang sarat ditonton keluarga, terutama anak-anak sekarang, agar mereka menjadi anak-anak yang pandai bersyukur. Mungkin di rumah mereka sering merasa kurang, makan mintanya enak terus, tidak mau belajar, padahal di luar sana, banyak yang jauh lebih tidak beruntung. Terlepas dari masalah politik, film ini cocok untuk ditonton bersama keluarga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar