Media Informasi Pemuda Peduli Dhuafa Gresik (PPDG) || Website: www.pemudapedulidhuafa.org || Facebook: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Twitter: @PPD_Gresik || Instagram: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Email: ppd.gresik@gmail.com || Contact Person: 0838-3199-1684 || Nomor Rekening: 0335202554 BNI a.n. Ihtami Putri Haritani || Konfirmasi Donasi di nomor telepon: 0857-3068-6830 || #SemangatBerkarya #PPDGresik

Rabu, 23 April 2014

Kuasa Wanita Di Pasar Tradisional

Wanita memanggungkan wacana yang tiada habisnya. Wacana kesetaraan dan keadilan menjadi menu utama jika wanita masuk dalam arena diskusi. Keadilan dan persamaan wanita menjadi lakon dalam pelbagai tafsiran, dalam ragam perspektif. Namun dialektika ini akan segera menemui jalan akhir sekaligus hangus jika kita mewacanakannya dalam konteks pasar tradisional. Mengapa? Pasar tradisional merupakan simbol aktifitas perekonomian lokal. Pasar tradisional memperoleh makna terminologinya bukan hanya karena secara umum pasar tradisional berada daerah pedesaan, namun karena proses distribusi yang masih mempertahankan sifat ketradisionalannya. Pasar tradisional menjadi lakon dalam proses aliran barang antara produsen dan konsumen melalui perantara penjual dalam satu tempat.
Pasar tradisional menjadi simbol dan ruang komunikasi tanpa garis pembatas antar penjual dan pembeli, pembeli dengan pembeli, serta penjual dengan penjual yang sekaligus pemilik modal. Bentuknya yang terbuka memungkinkan ragam suku, agama dan status saling bertemu dan berkomunikasi. Menghapus stratifikasi sosial sebab yang ada hanyalah penjual dan pembeli. Pun demikian dengan wacana kesetaraan gender.
Wacana kesetaraan gender selalu dihubungkan dengan persamaan hak yang memungkinkan wanita menempati posisi yang sama dengan laki-laki dalam pelbagai hal. Dalam politik, wacana gender menempati posisi penting dalam pergolakan wacana, sesaat ataupun sesudah pemilu. Dalam sudut pandang agama, wacana gender seringkali dihubungkan dengan poligami.
Di pasar tradisional wanita memiliki kuasa. Pasar tradisional yang merupakan lanskap kecil kehidupan sosial, di dalamnya terdapat ragam interaksi dan aktifitas sosial. Dan dominasi wanita sangat kentara dalam praktik kehidupan sosial tersebut. Wanita menjadi penguasa dalam dalam arus pertukaran barang. Yang dimaksud dengan kuasa wanita di sini adalah kemampuan wanita untuk mempengaruhi, menentukan, bahkan mendominasi suatu keputusan. Singkatnya ia merupakan penjual, manager sekaligus pemilik modal.
Wanita dalam transaksi jual beli berpengaruh penting dalam prosesi mendatangkan dan melayani pembeli. Ia juga menentukan dan mendominasi dalam pelbagai hal. mulai dari penentuan harga, jenis barang yang dijual, kemana barang tersebut didistribusikan, dan ragam aktifitas lainnya. Hal ini berbeda dengan peran kaum lelaki dalam tempat yang sama. Dominasi kaum laki-laki hanya sebatas sebagai pelengkap, membantu dan bahkan sebagai buruh angkut barang. Dalam bahasa yang paling ekstrim, laki-laki sebagai buruh dalam konteks ini. Mereka tidak berhak dalam menentukan suatu keputusan dan tidak berpengaruh signifikan dalam transaksi dagang.
Fenomena berkuasanya seorang wanita dalam konteks pasar tradisional ini tak lepas dari posisi perempuan dalam ranah privat, dalam konteks kehiupan sosial. Di mana dengan kondisi tersebut seorang wanita akan lebih mudah dan bebas dalam bergerak dan berpendapat sebab ia bebas dari pelbagai tekanan sosial. (Jay, 1963). Hal ini tentu jauh berbeda dengan posisi laki-laki yang berada dalam posisi publik, yang mana kaum Adam tersebut dituntut oleh tata krama yang tepat sehingga mereka terbebani dan tak bebas untuk bergerak secara sosial.
Lebih dari itu Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya, mengatakan bahwa kaum wanita di Indonesia memegang peranan penting dan menonjol, bahkan kedudukannya jauh lebih tinggi daripada wanita di Asia lainnya. Kekuasaan mereka sekalipun di belakang layar tetap ampuh dan bersumber pokok pada kelompok perkumpulan mereka. Dengan kata lain, dominasi kaum wanita dalam pasar tradisional adalah karena para pedagang kebanyakan adalah perempuan itu sendiri. Wanita memliki otoritas sebab dilegimitasi oleh kaumnya yang juga menjadi pedagang.
Namun jika kita menelisik lebih dalam, maka sesungguhnya wanita memiliki peran yang besar. Kekuasaan kaum laki-laki hanya terhenti dalam wacana dan ideologi. Ketika dihadapkan dalam keadaan faktual, maka dominasi laki-laki hanya sebatas mitos. Dengan kata lain, dominasi wanita adalah dominasi nyata dan praktis yang lebih memperlihatkan kuasa yang sebenarnya dan hidup, meski dalam ranah ideologi seringkali kalah.
Kuasa wanita dalam pasar tradisional mendeskrontruksi pemahaman mengenai wacana domestik-publik. Persepsi selama ini wanita hanya terbatas dalam ruang domestik. Artinya peran perempuan sebatas sebagai ibu rumah tangga. Namun kenyataan di pasar tradisional meluluhkan persepsi itu. Jika dilihat dari sudut ideologi produksi, wanita sebenarnya juga berproduksi di ruang sosial (publik). Artinya ia juga mampu menghasilkan materi sebagaimana laki-laki. Dalam paham materialisme pun demikian. Dalam pembagian kerja sosial, wanita juga menempati kedudukan sebagai sebagai produsen sekaligus non produsen walau dalam peran yang berbeda dengan laki-laki. Dalam pasar tradisional, wanita berada dalam perspektif publik. Sebab mereka mampu berproduksi dalam ranah sosial. Pasar tradisional menjadi lakon dalam mempersepsi ulang kuasa wanita. Wanita berada dalam ruang domestik dan publik sekaligus.
Kuasa wanita dalam konteks pasar tradisional jauh berbeda dengan kuasa wanita di pasar-pasar modern sekelas mall, supermarket, plasa dan sejenisnya. Dalam pasar modern, wanita tak mempunyai kuasa untuk untuk mempengaruhi, menentukan, bahkan mendominasi suatu keputusan. Mereka berada dalam ruang publik hanya sebagai “pengikut”, sebab terikat dalam sistem di luar kuasanya. Mereka hanya sebagai karyawan yang terikat aturan-aturan yang kemudian memperoleh upah. Tidak memperoleh laba dari hasil usahanya sendiri. Tidak berkuasa atas apa yang mereka tawarkan. Pasar tradisional hanya sebagian kecil ruang yang menggambarkan kuasa seorang wanita. Dalam konteks lain masih banyak ruang di mana kajian kesetaraan kaum Hawa menemukan momentum penyelesaiannya. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar