Wanita memanggungkan wacana yang tiada
habisnya. Wacana kesetaraan dan keadilan menjadi menu utama jika wanita masuk
dalam arena diskusi. Keadilan dan persamaan wanita menjadi lakon dalam pelbagai
tafsiran, dalam ragam perspektif. Namun dialektika ini akan segera menemui
jalan akhir sekaligus hangus jika kita mewacanakannya dalam konteks pasar
tradisional. Mengapa? Pasar tradisional merupakan simbol aktifitas perekonomian
lokal. Pasar tradisional memperoleh makna terminologinya bukan hanya karena
secara umum pasar tradisional berada daerah pedesaan, namun karena proses
distribusi yang masih mempertahankan sifat ketradisionalannya. Pasar
tradisional menjadi lakon dalam proses aliran barang antara produsen dan
konsumen melalui perantara penjual dalam satu tempat.
Pasar tradisional menjadi simbol dan ruang
komunikasi tanpa garis pembatas antar penjual dan pembeli, pembeli dengan
pembeli, serta penjual dengan penjual yang sekaligus pemilik modal. Bentuknya
yang terbuka memungkinkan ragam suku, agama dan status saling bertemu dan
berkomunikasi. Menghapus stratifikasi sosial sebab yang ada hanyalah penjual
dan pembeli. Pun demikian dengan wacana kesetaraan gender.
Wacana kesetaraan gender selalu dihubungkan
dengan persamaan hak yang memungkinkan wanita menempati posisi yang sama dengan
laki-laki dalam pelbagai hal. Dalam politik, wacana gender menempati posisi
penting dalam pergolakan wacana, sesaat ataupun sesudah pemilu. Dalam sudut
pandang agama, wacana gender seringkali dihubungkan dengan poligami.
Di pasar tradisional wanita memiliki kuasa.
Pasar tradisional yang merupakan lanskap kecil kehidupan sosial, di dalamnya
terdapat ragam interaksi dan aktifitas sosial. Dan dominasi wanita sangat
kentara dalam praktik kehidupan sosial tersebut. Wanita menjadi penguasa dalam
dalam arus pertukaran barang. Yang dimaksud dengan kuasa wanita di sini adalah
kemampuan wanita untuk mempengaruhi, menentukan, bahkan mendominasi suatu
keputusan. Singkatnya ia merupakan penjual, manager sekaligus pemilik modal.
Wanita dalam transaksi jual beli berpengaruh
penting dalam prosesi mendatangkan dan melayani pembeli. Ia juga menentukan dan
mendominasi dalam pelbagai hal. mulai dari penentuan harga, jenis barang yang
dijual, kemana barang tersebut didistribusikan, dan ragam aktifitas lainnya.
Hal ini berbeda dengan peran kaum lelaki dalam tempat yang sama. Dominasi kaum
laki-laki hanya sebatas sebagai pelengkap, membantu dan bahkan sebagai buruh
angkut barang. Dalam bahasa yang paling ekstrim, laki-laki sebagai buruh dalam
konteks ini. Mereka tidak berhak dalam menentukan suatu keputusan dan tidak
berpengaruh signifikan dalam transaksi dagang.
Fenomena berkuasanya seorang wanita dalam
konteks pasar tradisional ini tak lepas dari posisi perempuan dalam ranah
privat, dalam konteks kehiupan sosial. Di mana dengan kondisi tersebut seorang
wanita akan lebih mudah dan bebas dalam bergerak dan berpendapat sebab ia bebas
dari pelbagai tekanan sosial. (Jay, 1963). Hal ini tentu jauh berbeda dengan posisi
laki-laki yang berada dalam posisi publik, yang mana kaum Adam tersebut
dituntut oleh tata krama yang tepat sehingga mereka terbebani dan tak bebas
untuk bergerak secara sosial.
Lebih dari itu Denys Lombard dalam Nusa Jawa:
Silang Budaya, mengatakan bahwa kaum wanita di Indonesia memegang peranan
penting dan menonjol, bahkan kedudukannya jauh lebih tinggi daripada wanita di
Asia lainnya. Kekuasaan mereka sekalipun di belakang layar tetap ampuh dan
bersumber pokok pada kelompok perkumpulan mereka. Dengan kata lain, dominasi
kaum wanita dalam pasar tradisional adalah karena para pedagang kebanyakan
adalah perempuan itu sendiri. Wanita memliki otoritas sebab dilegimitasi oleh
kaumnya yang juga menjadi pedagang.
Namun jika kita menelisik lebih dalam, maka
sesungguhnya wanita memiliki peran yang besar. Kekuasaan kaum laki-laki hanya
terhenti dalam wacana dan ideologi. Ketika dihadapkan dalam keadaan faktual,
maka dominasi laki-laki hanya sebatas mitos. Dengan kata lain, dominasi wanita
adalah dominasi nyata dan praktis yang lebih memperlihatkan kuasa yang
sebenarnya dan hidup, meski dalam ranah ideologi seringkali kalah.
Kuasa wanita dalam pasar tradisional
mendeskrontruksi pemahaman mengenai wacana domestik-publik. Persepsi selama ini
wanita hanya terbatas dalam ruang domestik. Artinya peran perempuan sebatas
sebagai ibu rumah tangga. Namun kenyataan di pasar tradisional meluluhkan
persepsi itu. Jika dilihat dari sudut ideologi produksi, wanita sebenarnya juga
berproduksi di ruang sosial (publik). Artinya ia juga mampu menghasilkan materi
sebagaimana laki-laki. Dalam paham materialisme pun demikian. Dalam pembagian
kerja sosial, wanita juga menempati kedudukan sebagai sebagai produsen
sekaligus non produsen walau dalam peran yang berbeda dengan laki-laki. Dalam
pasar tradisional, wanita berada dalam perspektif publik. Sebab mereka mampu
berproduksi dalam ranah sosial. Pasar tradisional menjadi lakon dalam
mempersepsi ulang kuasa wanita. Wanita berada dalam ruang domestik dan publik
sekaligus.
Kuasa wanita dalam konteks pasar tradisional
jauh berbeda dengan kuasa wanita di pasar-pasar modern sekelas mall,
supermarket, plasa dan sejenisnya. Dalam pasar modern, wanita tak mempunyai
kuasa untuk untuk mempengaruhi, menentukan, bahkan mendominasi suatu keputusan.
Mereka berada dalam ruang publik hanya sebagai “pengikut”, sebab terikat dalam
sistem di luar kuasanya. Mereka hanya sebagai karyawan yang terikat
aturan-aturan yang kemudian memperoleh upah. Tidak memperoleh laba dari hasil
usahanya sendiri. Tidak berkuasa atas apa yang mereka tawarkan. Pasar tradisional hanya sebagian kecil ruang
yang menggambarkan kuasa seorang wanita. Dalam konteks lain masih banyak ruang
di mana kajian kesetaraan kaum Hawa menemukan momentum penyelesaiannya. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar