Media Informasi Pemuda Peduli Dhuafa Gresik (PPDG) || Website: www.pemudapedulidhuafa.org || Facebook: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Twitter: @PPD_Gresik || Instagram: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Email: ppd.gresik@gmail.com || Contact Person: 0838-3199-1684 || Nomor Rekening: 0335202554 BNI a.n. Ihtami Putri Haritani || Konfirmasi Donasi di nomor telepon: 0857-3068-6830 || #SemangatBerkarya #PPDGresik

Rabu, 09 April 2014

Jurnalisme Online yang Mulai Bias

Jurnalisme online, sejak munculnya fenomena ini, kegiatan jurnalisme seakan menjadi lebih mudah dari yang dibayangkan. Dengan mengatasnamakan kecepatan, pencarian data dan penyebarluasan informasi bisa berjalan bersama dan beriringan. Efisiensi waktu produksi dan biaya adalah kenapa jurnalisme online ini memiliki bayak penggemar. Kehadiranya yang juga didukung dengan jaringan internet.
Awal produk jurnalistik pertama kali adalah Acta Diurna berbentuk newsheet yang saat itu ditemukan di Roma, harian yang diterbitkan pada abad ke-5 sebelum masehi ini berada di Roma dan digantungkan ditengah kota dengan tujuan untuk melaporkan  dan merekam berbagai kegiatan yang terkait dengan politik.
Dalam sejarah pers, perubahan terbesar dapat dilihat dari awal ditemukanya mesin cetak ole Gutenberg pada 1440. Dengan ditemukanya mesin itu pers kemudian merasa lebih mudah, cetakan secara massal terasa lebih cepat dan lebih efektif. Awalya jurnalisme dikenal dengan kegiatan melaporkan mengenai suatu peristiwa yang terjadi di masyarakat. Kemudian, seiring dengan ditemukanya mesin cetak tadi fungsi tersebut mulai sedikit berubah demi kepentingan kekuasaan yang ingin menyampaikan tekanan terhadap publik.
Setelah itu dunia jurnalisme tak terbendung lagi, munculnya TV dan radio adalah alternatif lain bagi para jurnalis untuk melakukan kegiatanya. Bergesernya ideologi media ke dalam dunia industri adalah salah satu alasan dimana kegiatan ini mulai tidak murni lagi. Bahkan, bisa dikatakan jurnalisme konvensional sudah berubah fungsi menjadi salah satu alat untuk propaganda demi kepentingan kelompok tertentu.
Masyarakat modern kemudian menemukan salah satu alteratif lain, perlu ditekankan dalam konteks ini bahwa munculnya jurnalisme online pada dasarnya merupakan alternatif baru sebagai pesaing dari jurnalisme konvensional. Dalam jurnalisme online, kegiatan pencarian data, penglohan dan pelaporan bisa sejajar terjadi secara bersamaan, berbeda dengan jurnalisme konvensional yang harus berurutan dari pencarian data baru kemudian diolah dan keesokan harinya baru bisa disajikan kepada khalayak. Dengan prinsip dasar yang berbeda ini dan keunggulan dari jurnalisme online secara lambat laun peminat produk jurnalisme konvensional mulai berpindah kepada media online.
Bittner (1986) menjelaskan bahwa pemberitaan dapat dikirim, disebar, dan diterima dalam kepingan data-data. Kecepatan ruang waktu elektronika dipakai untuk mengantarkan pesa bergambar dan bersuara.
Peluang inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh jurnalisme online untuk membuat bisnis online media. Industrialisasi media karena adanya jurnalisme online seakan tidak bisa terhindarkan lagi. Perkembangan teknologi yang juga mendampinginya adalah dua perpaduan yang manis terkait munculnya fenomena ini. Semakin hari masyarakat justru terbiasa dengan media online, di Indonesia sendiri seperti yang dilansir oleh AJI, pada 2011 angka pengguna internet mencapai 55,23 juta, meningkat dari 42,16 juta di tahun 2010. Hal ini merupakan gambaran kecil bagaimana internet telah dikenal oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Artinya, banyaknya masyarakat yang mengakses internet tadi merupakan gambaran nyata dimana masyarakat selalu haus akan informasi. Menurut data dari AJI, dari 100 persen pengakses internet, 67 persen diantaranya merupakan pencari informasi.
Hal inilah yang perlu digaris bawahi, bahwa bias media online kini semakin tak terbendung. Keberadaan media online yang notabenya adalah alternatif bagi masyarakat justru berubah fungsinya menjadi sumber kehidupan bagi suatu perusahaan media. Bahkan, sejak munculnya trend mengenai media online ini, surat kabar cetak khususnya mulai mengalami penurunan minat pembaca. Menurut Howard Kurtz dalam Jurnalisme Kontemporer karya Septiawan Santana, lebih dari 150 harian bangkrut, dan berdasar poling Times Minor Center pada april 1995 saja hanya tinggal 45 persen dari masyarakat yang masih membaca surat kabar sehari sekali.
Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah dengan adanya jurnalisme online dan media online ini pada dasarnya memang diperlukan atau hanya untuk menopang kelangsunghan hidup perusahaan ?
Jika dilihat secara sekilas, memang dirasa munculnya jurnalisme online dengan segala kekuatanya ini merupakan suatu arogansi dari inovasi yang ada. Jurnalisme yang sesungguhnya memiliki kepentingan untuk melaporkan berita dimanfaatkan penyedianya untuk mendapat keuntungan dengan segala tawaranya terhadap profit.
Konglomerasi atau kepemilikan media juga merupakan suatu fenomena yang menjadikan batas antara ideologi media dan bisnis menjadi semakin bias. Munculnya fenomena konglomerasi ini kemudian merubah semua konten didalamnya demi kepentingan komersial. Apapun yang disajikan oleh media merupakan produk yang akan mendapat keuntungan.
Beralihnya jurnalisme konvensional ke online sebenarnya juga merupakan suatu kekhawatiran dari media cetak yang sudah mulai tergerus oleh jaman. Bisnis media online adalah hal yang cukup menjajikan. Ciri dari jurnalisme online yang memberitakan suatu informasi secara berkala atau potongan-potongan berita / follow up news merupakan taktik agar suatu portal dikunjungi berulang kali oleh pembaca. Dengan seringnya pembaca mengunjungi portal berita online maka keuntungan dari “klik” yang di lakukan merupakan sumber keuntungan bagi media. Hal itu berkaitan dengan klien yang memasang iklan di portal berita itu.
Sisi lain dari munculnya jurnalisme online ini adalah adanya anggapan bahwa keberadaanya adalah pembunuh bagi jurnalisme konvensional. Meskipun tidak seutuhnya mati, jika dibandingkan dengan jurnalisme online , jurnalisme konvensional kini tidak mampu bersaing. Dari segi konten, maupun profit yang dihasilkan.
Faktor ekonomi politik yang sudah mulai diterapkan dalam dunia jurnalisme sebenarnya merupakan ancaman bagi obyektifitas suatu informasi. Ketidakjelasan batas antara bisnis dan ideologi bukan masalah yang main-main, jika di seluruh media dikuasai oleh seseorang demi kepentinganya, misalnya keuntungan bisa dipastikan informasi yang akan kita dapatkan adalah merupakan suatu konstruksi demi kepentingan komersial.
Informasi yang diberikan bahkan tidak selalu memiliki manfaat penting bagi masyarakat kebanyakan, namun asalkan berita itu menarik dan dapat menghasilkan “klik” serta mampu menarik pembaca rasaya sudah cukup informasi itu menjadi syarat mutlak untuk dapat dimuat di suatu portal berita. Interaksi yang mudah juga menjadi keunggulan dari jurnalisme online, dengan adanya interaksi ini pembaca akan lebih senang untuk ikut langsung mengomentari peristiwa yang diberitakan itu.
Sekali lagi, bias kepentingan media antara ideologi dan bisnis adalah ancaman serius bagi dunia jurnalisme, bukan hanya bagi jurnalisme konvensional, tapi juga masyarakat yang membacanya. Dampak yang ditimbulkan karena komersialisasi akan menghasilkan produk yang tidak prestisius. Jurnalisme online yang keberadaanya diragukan antara keharusan atau hanya sebagai pelengkap untuk terus bertahan ditengah dinamika pasar media perlu dikaji ulang. Beberapa perspektif harus digunakan untuk menilai bagaimana fungsi seharusnya  jurnalisme online ini berada disekitar masyarakat, kegunaan, keunggulan dan ancaman yang ditimbulkan karena keberadaanya harus dikaji ulang.
Kemajuan teknologi dan jurnalisme online sendiri pada dasarnya merupakan keuntungan bagi dinamika kehidupan, namun dengan bijak sebagai masyarakat yang cerdas kita perlu melakukan penyaringan terhadap apa yang sudah disajikan melalui jurnalisme online. Jurnalisme online bukan ancaman, melainkan alternatif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar