Media Informasi Pemuda Peduli Dhuafa Gresik (PPDG) || Website: www.pemudapedulidhuafa.org || Facebook: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Twitter: @PPD_Gresik || Instagram: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Email: ppd.gresik@gmail.com || Contact Person: 0838-3199-1684 || Nomor Rekening: 0335202554 BNI a.n. Ihtami Putri Haritani || Konfirmasi Donasi di nomor telepon: 0857-3068-6830 || #SemangatBerkarya #PPDGresik

Minggu, 20 April 2014

Hilangnya Budaya Malu

Malu tak selamanya baik, tapi juga tak selamanya buruk. Tergantung dari bagaimana kita menempatkannya. Rasa malu bisa timbul dari rendahnya kepercayaan diri seseorang akibat kurangnya kemampuan. Rasa malu semacam inilah yang dianggap negative, karena mengurangi dan menghambat potensi kita untuk maju. Hal ini bisa kita kikis dengan meningkatkan kemampuan dan interaksi social di tengah-tengah komunitas masyarakat. Rasa malu bisa juga muncul dari bahwa hal itu tak sesuai dengan norma yang diyakini oleh bangsa kita. Rasa malu yang terlahir dari keyakinan bahwa itu tidak sesuai dengan adat ketimuran, sopan santun, kepribadian luhur bangsa kita. Budaya malu inilah yang mulai hilang di tengah masyarakat kita. Padahal boleh jadi budaya malu jenis inilah yang membuat masyarakat kita dulu terkenal santun dan beradab.
Budaya malu mengakar kuat dalam masyarakat kita. Adat Minangkabau mengatakan “Raso jo pareso”. Artinya, rasa malu orang Minangkabau harus tinggi. Dari rasa malu, timbul sikap sopan. Kalau orang Minangkabau tidak lagi memiliki rasa malu, maka hilanglah keminangannya. Kita juga mengenal budaya “Siri’ na pacce” yang menjadi salah satu falsafah budaya masyarakat Bugis. Bagi masyarakat Bugis, siri’mengajarkan moralitas kesusilaan yang berupa anjuran, larangan, hak dan kewajiban.Siri’ adalah rasa malu yang terurai dalam dimensi-dimensi harkat dan martabat manusia. Siri’ adalah sesuatu yang “tabu” bagi masyarakat Bugis dalam berinteraksi dengan orang lain.
Era globalisasi ini, budaya malu mulai hilang di tengah masyarakat kita khususnya kaum penguasa yang tersebar secara luas di lembaga-lembaga kekuasaan negeri ini dari pusat sampai ke tingkat desa. Budaya malu ini mulai hilang. Padahal sejatinya budaya malu ini awal datangnya bencana bagi diri orang yang bersangkutan dan orang lain di sekitarnya. Perilaku baik itu ucapan maupun tindakan mulai tak bisa dikendalikan sehingga keluar dari norma-norma dan adab sopan santun yang selama ini dijunjung bangsa Indonesia.
Lihatlah di pulau Sumatra sana. Ada seorang gubernur mengumpat hanya karena pertanyaan seorang wartawan yang kurang berkenan di hatinya. Kata-kata kasar sang gubernur pun menyebar luas dan jadi bahan tertawaan masyarakat di sana. Bukankah hal ini akan membuat sang gubernur itu hilang hanya karena keteledorannya menjada rasa malu?
Seorang elit politikus Islam tak punya rasa malu mengumbar aurat dan aib partainya hanya demi berebut kursi kekuasaan. Lalu dimana etika politik Islam yang diwakili partai Islam? Apa bedanya dia dengan partai nasionalis yang selama ini jadi rival politiknya di pemilu jika dia sendiri tak bisa menunjukan etika politik?
Seorang gubernur yang sudah disumpah untuk melayani rakyat selama lima tahun ke depan dengan tanpa malu meninggalkan amanahnya demi kursi kekuasaan yang lebih tinggi. Tak malukah ia bertemu rakyat yang dulu pernah dijanjikan angin surga? Tak malukah ia saat ditanya rakyat kecil “Pak Gubernur mana janji manismu kala kampanye dulu?” Tak malukah ia saat ditanya bagaimana amanahmu? Hilang sudah akhlaknya dan dicap gila kekuasaan hanya karena tameng malunya hilang.
Para caleg yang setelah terpilih jadi anggota dewan dengan tanpa rasa malu berebut kursi kekuasaan. Mereka menunjukkan perilaku rakusnya dalam tiap korupsi-korupsi, budaya malas rapat, dan sedikitnya empati untuk rakyat. Tontonan anggota dewan yang tak punya malu inilah yang sering dilihat oleh rakyat di layar kaca, menjadi contoh dan cerminan rakyatnya.
Seseorang yang tidak memiliki rasa malu itu seperti pohon yang tidak memiliki kulit. Makna kiasnya, seseorang yang tidak memiliki rasa malu sama halnya dia tidak memakai baju, dengan kata lain telanjang. Peradaban mana pun, pasti tidak membenarkan seseorang yang tidak memakai baju berkeliaran di mana-mana. Justru mereka yang memakai baju serba minim, cenderung diidentikkan dengan suku-suku primitif di pedalaman. Jadi, baju adalah simbol peradaban. Tanpa rasa malu maka rusaklah peradaban luhur kita. Inikah yang kita inginkan?
Mari kita bersama membudayakan malu di tengah masyarakat kita. Tidak hanya melalui perkataan, tapi juga di setiap perbuatan kita. Kita memiliki tanggung jawab membangun peradaban karena kita tinggal di bumi Indonesia. Kalo bukan kita yang menjaga siapa lagi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar