Dalam penggunaan mata uang asing itu ada istilah bernama hedging yang harus diperhatikan, hedging adalah suatu tindakan investor untuk mengurangi atau menghilangkan resiko adanya kerugian nilai tukar mata uang. Contoh mudahnya begini, Si A jualan barang di Singapura menggunakan mata uang US Dollar, sedangkan dalam pembuatan barang tadi dia menggunakan mata uang rupiah sebagai modalnya, dalam hal ini si A mempunyai resiko kerugian selisih kurs terhadap penggunaan 2 nilai mata uang tersebut.
Nah orang yang biasa melakukan analisa-analisa terhadap hedging tersebut dengan tujuan untuk mencari keuntungan dengan memainkan ‘harga’ biasa disebut Spekulan. Yups ‘money will flows in the same direction of where the majority of money flows‘, pada dasarnya berdasarkan prinsip uang tersebut bisa dimanfaatkan juga untuk mencari keuntungan. Tetapi bagi perusahaan yang go internasional atau expor/impor, mempelajari hedging juga penting untuk menjaga capital gain mereka (keuntungan) tetap terjaga.
Kembali ke Spekulan tadi, Pernah dengar nama George Soros ? kalau tidak pernah dengar sayang sekali, karena ini nama sangat melegenda sekali sebagai salah satu spekulan ulung kelas wahid dunia. Yang aksi analisa den gerakanya di pasar modal selalu jadi kiblat para pemain-pemain besar lainya untuk mengikuti. Jadi apakah spekulan-spekulan seperti ini bisa berbahaya bagi sebuah negara ? Mari kita flashback di krisis 1998 untuk lebih memahami benang merahnya. Versi analisa penulis pribadi dan berdasarkan kliping-kliping yang dikumpulkan sebagai berikut,
- Di tahun 1970 kurs rupiah adalah Rp 375 per US Dollar
- Di tahun 1980 kurs rupiah adalah Rp 625 per US Dollar (menururn 39%)
- Di tahun 1990 kurs rupiah adalah Rp 1900 per US Dollar (menurun 67%)
- Di tahun 1997 kurs rupiah adalah Rp 2400 per US Dollar (menurun 20%)
JIka dihitung berdasarkan uraian diatas rata-rata inflasi Indonesia ada diangka 14% - 16% per tahunya mengingat suku bunga bank saat itu ada dikisaran 12% - 14 %, sedangkan inflasi di Amerika (pemilik Dollar) hanya dikisaran 2%. Jika secara teori Value of Money, sederhananya penurunan rupiah harusnya ada di angka 10-12 % per tahun.
Tetapi kenapa di rentang tahun 1990 sampai 1997 penurunan nilai rupiah hanya tertahan diangka 20%, yang kalau di rata-rata hanya 3 % tahun ?
Begini loh saat rentang 90-97 tersebut banyak sekali investor asing yang masuk di Indonesia, Indonesia juga saat itu mulai menumpuk hutang dalam US Dollar, banjirnya US Dollar di pasar dalam negri inilah yang membuat permintaan akan rupiah meningkat, sehingga penurunan nilai rupiah pun terpaku di angka 3% per tahun meskipun tergerus Inflasi. Keadaan inilah yang membuat para pelaku pasar dalam negri terlena, mereka pun semakin senang berhutang, yah coba bayangin saja, kita pinjam US Dollar dengan bunga 5% per tahun, sedangkan dalam hitunganya nilai rupiah hanya turun 3%, jadi sambil merem saja kita sudah dapat untung 2% tiap tahunya.
Hal itu dimanfaatkan oleh George Soros dengan menarik semua US Dollar di Indonesia dalam jumlah banyak, dan diikuti oleh pemain besar lainya, itulah yang membuat nilai rupiah kembali di nilai sebenarnya yaitu dikisaran Rp 8300/US Dollar. Keadaan itu membuat panik pasar dalam negri yang tergoncang akan hal itu dan berusaha menarik semua US Dollarnya hingga rupiah pun terpuruk jauh lebih dalam di kisaran angka Rp 17 000/US Dollar, hal itupun masih ditambah dengan situasi politik dalam negri yang saat itu benar-benar kacau, dan alhasil Indonesia memiliki hutang yang sangat luar biasa di akhir kisah krisis itu.
Lantas apa George Soros atau seorang spekulan yang mengakibatkan krisis di suatu negara itu terjadi, seperti di Indonesia tadi ?
George Soros adalah seorang spekulan, dan itu sudah jadi pekerjaanya untuk mencari peluang disetiap kesempatan, jadi jelas di sini yang salah Indonesia sendiri memberi peluang terhadap aksi Spekulan tersebut, dengan fundamental ekonomi yang lemah Indonesia akan menjadi lahan subur bagi para spekulan tersebut. Jadi dalam kasus krisis 98 tersebut, Soros hanya memanfaatkan peluang dengan memainkan hukum supply and demand di pasar Indonesia, dia memborong US Dollar menggunakan perusahaan-perusahaan Investasinya, Akhirnya US Dollar pun menguat karena permintaan semakin banyak, sedangkan di sisi lain dengan kekuatan uangnya Soroh meng-hold (menahan) penawaran US Dollar terhadap Indonesia, sehingga harga US Dollar pun semakin tinggi.
Kalau saja saat itu pemerintah, lembaga keuangan, dan perusahaan Indonesia kuat fundamental ekonominya, tentu saja Soros akan berpikir dua kali untuk melakukan hal itu di Indonesia, sebesar apapun dana yang dimilikinya saat itu akan segera habis ditelan pasar modal Indonesia. Itu terbukti setelah sukses di mata uang Bath, Peso, dan Rupiah, George Soros mau melakukan aksinya lagi di Hongkong, tapi sayang mainland Hongkong alias China mendorong dari belakang dengan kekuatan ekonominya yang membuat George Soros mundur secara perlahan tidak berani melanjutkan. (soros manager regrets attack on HK dollar : Hong Kong Monetary Authority-1998). Terus di tahun 2014 ini apakah mata uang kuat seperti Yuan bisa dimainkan oleh spekulan ? jawabanya bisa saja, asal spekulan tersebut punya cadangan devisa sebesar 3 Triliun US Dollar seperti punya China, tapi entah siapa yang punya dan bisa, Jika melihat Amerika saja tidak bisa menaikan Kurs Yuan terhadap US Dollar.
Nah Indonesia inilah yang masih rawan terhadap aksi-aksi seperti itu, mengingat devisa kita juga masih sangat terbatas, dan ketergantungan kita terhadap US Dollar juga sangat tinggi. Seperti kasus kemarin pas QE masuk pasar dalam negri Indonesia saja euforia pasar modal sudah seperti itu, semua dikaitkan dengan euforia politik, giliran aksi Tappering Off (penarikan kembali) oleh The Fed, malah pemerintah mengeluarkan Bond (hutang) dalam bentuk US Dollar dan bertambah 82 Trilliun rupiah dalam tempo 2 bulan per akhir februari 2014 (TRIBUNNEWS.COM, 6 Maret 2014), yang terkesan seperti upaya mengantisipasi aksi tarik US Dollar tersebut. Di sini kelihatan sekali begitu rapuhnya fundamental ekonomi Indonesia ini.
Mudahnya lihat saja perkembangan di pasar modal, Yuan meskipun dilepas tetapi china masih bisa mengontrol arah pergerakanya untuk kepentingan-kepentingan penting mereka seperti ekspor dan impor. Lah kalau rupiah sudah dilepas buat ekspor dan impor, eh masih dibuat mainan forex dengan dijadikan komoditas sebebas-bebasnya dan parahnya mudah banget ditebaknya, yaitu selalu condong dihajar terus sama US Dollar, dari keadaan ini secara jelas sudah membuktikan bahwa cadangan devisa kita rapuh (sedikit), perdagangan masih saja defisit, korupsi dimana-mana, politik kurang stabil, yah akhirnya dimaklumilah kalau mayoritas rupiah sering kena hajarnya daripada menghajar.
Memang menurut kabar terakhir sih kakek George Soros ini sudah bertobat menjadi spekulan valas lagi, sekarang beliau lebih fokus menjadi investor saham dan menjadi pengamat ekonomi. Dengan begitu apakah Indonesia sudah aman dari sang spekulan George Soros ini atau spekulan yang lain ? Begini loh, pada dasarnya prisnsip kerja spekulan itu kan menggerak-kan harga seperti yang sudah kita ulas diatas atau istilah keren-nya ‘menggoreng‘, nah dalam hal ini yang harus selalu kita ingat adalah harga itu tergantung pada supply and demand (permintaan dan penawaran), hukum Ini tidak hanya berlaku bagi valas saja (mata uang asing), tetapi berlaku bagi semua bidang ekonomi, seperti saham , komoditas dan lain-lainya. Jadi selama fundamental ekonomi kita lemah dan selanjutnya kita lengah, bisa saja sewaktu-waktu George Soros atau spekulan lain akan datang lagi mengambil keuntungan, entah itu masih melalui valas atau melalui saham, tergantung peluang itu timbul dari mana.
Untuk mengatasi permasalahan ini. Indonesia memang butuh belajar banyak kepada China dan Jepang, kenapa China dan Jepang ? karena dua negara tersebut bisa memperkuat ekonominya di tengah kepungan kapitalis besar seperti Amerika dan Eropa, Lihatlah mata uang Yuan semakin banyak diperlombakan oleh negara-negara lain sebagai alat perdagangan semenjak 2012 kemarin, seperti yang digambarkan oleh Simon Rabinovitch dan Josh Noble dalam artikelnya yang berujudul ‘Cities compete to be global centre of renminbi trading‘ (Chinese economy 12 Oktober 2013). Sedangkan rupiah sendiri, apa laku kalau dipakai di luar negri kira-kira, itulah sebanarnya tolak ukur kerapuhan ekonomi kita dewasa ini, dan kita harus segera berbenah secepat mungkin untuk segera lepas dari posisi yang rawan ini. Yah semoga pemerintahan selanjutnya lebih baik lagi menghadapi keadaan-keadaan seperti ini. Semoga Bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar