Teks kutipan: Untuk memahami penderitaan mereka, kita bisa mencobanya dengan menjalani tiga laku, yakni berpuasa melihat, mendengar dan berbicara.
Bagaimana rasanya menjadi penyandang cacat atau penyandang disabilitas? Tak dapat dibayangkan, kecuali bagi yang pernah mengalaminya sendiri. Mereka yang pernah mengalami pun dibagi dua, yang cacat bawaan dan yang cacat akibat kecelakaan dan penyakit.
Ada yang menganggap bahwa penderita sejak lahir tidak terlalu menderita daripada yang menyandang belakangan. Alasannya, yang pertama sudah terbiasa sejak awal, jadi tidak tahu bedanya. Sedangkan yang kedua bisa “shocked”, ketika kecacatan itu tiba-tiba menimpanya.
Untuk memahami penderitaan mereka, kita yang alhamdulillah sehat wal’afiat bisa mencobanya dengan menjalani tiga laku, yakni berpuasa melihat, mendengar dan berbicara. Tentu saja, karena namanya berpuasa, waktunya terbatas.
Kita bisa mulai lakukan sekarang. Mari kita tutup kedua mata kita rapat-rapat dengan alat penutup. Setelah itu, kita dipaksa untuk melakukan sesuatu dalam keadaan darurat seperti karena gempa bumi atau kebakaran di rumah sendiri atau ruangan yang sudah kita kenali. Jika anda panik itu normal. Padahal, itu baru simulasi atau latihan, bagaimana jika itu sungguhan dan penderitaan itu permanen? Telinga masih bisa mendengar dan mulut masih bisa bicara untuk minta tolong.
Sekarang puasa mendengar. Kita tutup kedua telinga kita rapat-rapat, sementara mata terbuka lebar dan mulut masih bisa berfungsi normal. Tiba-tiba seseorang menyampaikan kabar yang menentukan nasib kita dan kabar itu hanya mungkin kita terima melalui alat pendengaran. Anda kesal dan marah-marah? Itu normal. Atau ini contoh yang lebih gampang: anda sedang berbicara melalui hp, tiba-tiba ada gangguan sinyal, sehingga tidak dapat menangkap dengan jelas apa yang disampaikan rekan bicara anda. Apa reaksi anda? “Ngomel” dan berteriak-teriak minta diulangi pesan itu atau tulis saja lewat sms atau email. Padahal, penderitaan ini hanya bersifat sementara dan simulasi.
Bagaimana jika sesungguhnya dan permanen?
Sekarang kita puasa berbicara. Kita tutup mulut kita rapat-rapat dengan alat. Mata dan telinga berfungsi normal. Tiba-tiba seseorang datang mencercai Anda dengan pedas. Anda tentu ingin balas, tapi yang keluar dan terdengar cuma “akh dan ukh” yang disertai gerak anggota tubuh yang menunjukkan kemarahan. Padahal, ini cuma latihan, bagaimana jika sungguhan dan permanen?
Bagaimana jika ketiga alat komunikasi kita itu tidak berfungsi total? Berat, tak terperikan! Itulah yang disandang para tuna netra, tuna rungu dan tuna wicara. Ada penderitaan lain, yakni tuna daksa atau cacat tubuh. Bagaimana jika ini juga menimpa kita? Sudah buta, tuli, bisu dan lumpuh. Duh, tak terbayangkan.
Keempat penderitaan itu bisa menghampiri siapa saja seiring perjalanan usia yang mengakibatkan berkurangnya fungsi pancaindra dan kekuatan tubuh, di samping karena penyakit. Inilah yang dialami kaum lanjut usia (lansia). Sudahkah kita siap menghadapinya?
Lansia sering dianggap tidak memerlukan apa-apa lagi. Ini pandangan yang sering diidap orang muda yang masih sehat dan perkasa. Kenyataannya, lansia perlu lebih banyak biaya untuk pengobatan. Sementara, pendapatan mereka sangat kecil atau hampir tidak ada, tergantung anak dan cucu. Coba tengok, berapa besar jumlah uang pensiun mereka. Itu masih untung bagi yang mendapat pensiun. Bagaimana bagi mereka yang tidak punya uang pensiun, tabungan dan anak cucu yang berkecukupan dan peduli mereka?
Masih ada penderitaan lain, yakni tuna grahita atau “mentally retarded”, gangguan perkembangan mental atau penalaran. Para penyandang disabilitas itu bisa terjadi karena nasib atau takdir, perjalanan waktu, kecelakaan dan sebagian besar karena kelalaian diri sendiri dan para penyelenggara negara. Akankah kita pura-pura buta, tuli dan bisu atas kenyataan itu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar