Media Informasi Pemuda Peduli Dhuafa Gresik (PPDG) || Website: www.pemudapedulidhuafa.org || Facebook: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Twitter: @PPD_Gresik || Instagram: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Email: ppd.gresik@gmail.com || Contact Person: 0838-3199-1684 || Nomor Rekening: 0335202554 BNI a.n. Ihtami Putri Haritani || Konfirmasi Donasi di nomor telepon: 0857-3068-6830 || #SemangatBerkarya #PPDGresik

Selasa, 15 April 2014

Relevansi Simbolisme Syariah di Industri Perbankan

Seorang kawan yang menyelesaikan sarjana terlebih dahulu pernah berdiskusi dengan saya. Ceritanya ia sudah diterima di sebuah bank. Dasar nasib, bank itu bukan bank syariah. Akhirnya kegalauan memenuhi ruang batinnya. Penyebabnya, selama kuliah kita selalu mendikotomikan industri perbankan dengan dua bagian : syariah dan konvensional. Tidak kurang dan tidak lebih. Bahwa syariah adalah pilihan, sedangkan konvensional lebih baik ditinggalkan dan ditunggu kehancurannya.
Semakin lama saya justru semakin bertanya-tanya. Tidak adakah tersisa ruang diskusi sehingga semua hanya dikembalikan kepada doktrin para dosen tentang industri perbankan ? Sebenarnya ada beberapa hal yang sangat menarik untuk diperbincangkan, terkait dikotomi industri perbankan oleh para ekonom rabbani (begitu mereka menyebut diri).

Simbolis
Bank Muamalat. Bank yang pertama kali secara eksplisit dalam aturan perusahannya menyebutkan, bahwa segala sesuatu yang dijalankan oleh bank tersebut beroperasi atas dasar aturan (syariah) Islam. Kerennya atau anehnya, bank tersebut tidak menggunakan kata-kata atau embel-embel “syariah” dalam namanya. Entah mengapa , barangkali karena memang saat itu (zaman Orba) penggunaan kata-kata semacam “syariah” haram digunakan atau bagaimana.
Di masa itu (Orba) simbolisme masih sangat kental. Kau kibarkan bendera ‘palu arit’ di pos ronda, maka itu akan menjadi hari terakhir dirimu mampu melihat mentari bersinar. Masih aman jika ‘bulan bintang’, setidaknya dirimu hanya berstatus ‘dalam pengawasan’. Maka, mungkin salah satu pertimbangan mengapa bank Muamalat tidak menggunakan embel-embel Islami adalah menghindari sikap represif pemerintah.
Nyatanya tanpa mengedepankan simbol, bank Muamalat terus eksis. Momentum bagi Muamalat datang saat krisis ’98. Satu diantara bank yang bertahan adalah Muamalat. Di permulaan abad 21 inilah tren bank ala Muamalat (masih males nyebut ‘bank syariah’) mulai naik, perlahan bank-bank besar melirik operasional dan konsepsi bank ala Muamalat.
Apalagi kampanye bank dengan aturan Islam mulai banyak digencarkan, ( tanpa mengurangi rasa hormat dan respek pada para masayikh dan ulama) sehingga mulai muncul unit-unit usaha ‘sampingan’ dari bank-bank semacam BCA, Mandiri, HSBC sampai Niaga dan bank-bank yang lain.
Kesalahan fatal penggunaan simbol pun dimulai. Latahnya industri perbankan membentuk unit usaha ala Muamalat diikuti dengan latahnya penamaan unit usaha mereka dengan tambahan kata ‘syariah’ di belakang nama unit usaha yang sama dengan induknya.Semacam jika Toyota, perusahaan otomotif membuat sebuah unit yang bekerja dengan aturan Islam, kemudian menamai unitnya “Toyota Syariah”. Lucu ? Engga. Tapi tertawalah sebelum tertawa dilarang.
Dimana lucunya ? Sejujurnya tidak ada. Justru timbul pertanyaan. Dimana urgensi penamaan dengan menggunakan embel-embel ‘syariah’ di belakang nama induk perusahaan ? Apakah agar masyarakat tahu identitas bank tersebut ? Bagi saya, hal itu berkesan semacam gelar ‘haji’ di depan nama asli seseorang dan nama keluarganya. Agar masyarakat tau betapa ‘islami’ dirinya. Atau apa urgensinya ?
Masyarakat Rasional
Peristiwa latah industri perbankan tersebut menjadi salah satu penyebab lahirnya dikotomi syariah dan konvensional. Entah oleh siapa. Padahal makna konvensional sebagai sebuah kata sifat adalah segala sesuatu yang disepakati bersama, telah disepakati atau diatur oleh undang-undang. Sedangkan makna syariah adalah tata aturan. Dalam hal ini diasosiasikan dengan Islam. Apapun itu, yang jelas sekarang telah terjadi dikotomi dalam industri perbankan yang tidak tepat.
Dalam sebuah diskusi kultural yang pernah diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Ekonomi Islam Universitas Airlangga, pernah dilontarkan sebuah pertanyaan unik. Jikalau tujuan dikotomi ini adalah membuat yang syariah lebih unggul dari yang konvensional, apakah hal tersebut possible ?  Setidaknya ada beberapa hal yang sangat dalam didiskusikan, terlepas dari worldview atau cara pandang yang digunakan oleh para ekonom Islam :
1. Bank adalah institusi yang didesain untuk tidak pernah bisa collapse, atau paling tidak, tidak merugi dalam operasionalnya.
2. Bank mendapatkan back-up yang sama antara satu dengan yang lain dari pemerintah, agar para nasabah merasa nyaman dengan dukungan pemerintah tersebut
3. Bank selalu meningkat jumlah dana yang disimpannya. Coba lihat laporan keuangan yang dipublikasikan setiap tahun selama 5 tahun ke belakang.
Saya tidak mengerti. Dan jika-pun bisa mengerti, apa yang selama ini difahami oleh orang-orang yang memiliki ‘semangat juang’ menenggelamkan bank yang dianggap konvensional dan menaikkan pangsa pasar bank yang dianggap syariah, saya masih bersikukuh hal tersebut sangat hipokrit.

Jika yang diperebutkan adalah sebuah pangsa pasar atau market share yang sama, lalu mengapa harus ada dikotomi di industri perbankan ? Bukankah orang beragama Kristen juga boleh menjadi nasabah bank ‘syariah’ ? Dan orang beragama Islam tidak dilarang MUI (dalam konteks ini, saya berusaha realistis) untuk menjadi nasabah bank ‘konvensional’ ?
Ruang diskusi dalam kelas-kelas kuliah, terutama pembelajaran ekonomi syariah ditutup rapat. Disinilah kelas bebas dibuka. Agar semua menjadi jelas dan tidak mengikuti doktrin. Akhirnya, di akhir diskusi dengan teman saya, saya berikan saran kepada teman saya yang diterima di bank ‘konvensional’ sore itu. “ Terima saja. Seperti Erdogan yang tetap muslim dalam negara sekuler, jadilah bankir muslim di bank sekuler…”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar