Media Informasi Pemuda Peduli Dhuafa Gresik (PPDG) || Website: www.pemudapedulidhuafa.org || Facebook: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Twitter: @PPD_Gresik || Instagram: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Email: ppd.gresik@gmail.com || Contact Person: 0838-3199-1684 || Nomor Rekening: 0335202554 BNI a.n. Ihtami Putri Haritani || Konfirmasi Donasi di nomor telepon: 0857-3068-6830 || #SemangatBerkarya #PPDGresik

Kamis, 24 April 2014

Spiritualitas Tanpa Agama dalam Konteks Sosial

Budaya sebagai khazakah keislaman adalah warisan yang tak dapat diabaikan, karena berbagai macam peradaban telah banyak dihasilkan oleh budaya yang beragam tersebut. Tidak sebatas daerah, wilayah ataupun Negara, Ini semua adalah kenyataan yang tidak dapat disangkal keberadaanya, logisnya kita semua pasti bersandingan dengan semua makhluk Tuhan yang beragam tersebut. Komarudin Hidayat dalam salah satu ceramahnya pernah berucap, kehidupan dunia yang beragam ini layaknya mengaruni lautan luas dengan sebuah perahu kayu yang kecil, berbagai macam etnis, suku, bahasa dan budaya naik bersama-sama pada perahu tersebut untuk satu tujuan yang sama, bersama-sama menyinggahi pulau yang dimaksudkan.
Dalam perjalanan yang panjang dan melelahkan tersebut, para penumpang dalam perahu tersebut mendapatkan ujian, karena lamanya perjalanan yang harus mereka tempuh. Banyak yang tidak sabar untuk segera sampai pulau yang dituju, ada juga yang tidak suka dengan keberagaman yang ada dalam perahu tersebut yang akhirnya mereka saling berebut benar dalam menentukan rute perjalanan menuju pulau yang diimpikan. Ada yang lebih ekstrim, mereka frustasi karena para penumpangnya pada bertengkar dan berebut benar, akhirnya diapun melubangi perahu yang ditumpanginya tersebut. Dan kita pasti tahu, apa yang akan terjadi setelah perahunya dilobangi, pastinya tidak hanya yang melonagi perahu tersebut yang akan tenggelam, melainkan semua penumpang akan tenggelam karena perbuatan yang bodoh dan menyesatkan tersebut. Kalau sudah demikian, tujuan untuk sampai kepada pulau yang dituju sudah tinggal dalam angan-angan belaka, yang ada hanya penyesalan dan itu semua sudah terlambat.
Begitu juga halnya dengan kehidupan manusia yang beragam, berbagai macam etnis, suku, bahasa dan budaya serta agama, tumpah ruwah dalam satu bumi yang sama. Dimana diciptakannya manusia dibumi, tidak lain hanyalah sebagai Mandataris Tuhan/Khalifatullah yang bertugas mengemban amanah dengan menyampaikan pesan-pesan ke-Tuhanan kepada semua makhluk Tuhan yang ada dibumi. Tidak ada tugas lain selain tugas tersebut.
Sebagai Mandataris Tuhan, sudah selayaknya manusia saling bahu membahu, membantu satu sama lain karena kita semua dicipta atas asal usul yang sama, serta memiliki tujuan yang sama pula yakni membumikan pesan-pesan Tuhan sebagai Dzat yang Mahabesar. Tidak ada kepentingan lain selain berusaha menedekati Tuhan dengan sebaik-baiknya ibadah dan amal perbuatan. Berbanggalah bagi mereka yang sadar dan mau berubah untuk lebih mengenal Tuhan. Diciptakannya perbedaan tersebut bukan menjadi sumber terjadinya bencana, melainkan itu adalah pintu rahmat Tuhan untuk makhluk seluruh alam, jadi bersahabatlah dengan perbedaan sesuia dengan kemampuan dan pemahaman yang bisa diterima, jangan jadikan akar permasalahan. Jangan hanya karena perbedaan fisik, bahasa, budaya ataupun agama semuanya menjadi penghalang untuk mendekat pada-Nya.
Dalam konteks kehidupan social budaya, dewasa ini tengah terjadi trend baru berupa pesatnya perkembangan agama Islam puritan dan Islam radikal yang ingin mengembalikan ajaran Islam sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits. Side efect (efek samping) yang paling terasa adalah aspek-aspek kebudayaan lokal tidak lagi menjadi bagian atau perekat pelaksanaan syariat. Apabila pada masa lalu kebudayaan lokal memiliki peranan penting dalam penyampaian ajaran atau syiar, maka yang terjadi sekarang adalah sebaliknya, yaitu adanya usaha isolasi terhadap budaya lokal dalam pelaksanaan ajaran.
Dalam konteks pertumbuhan dan perkembangan budaya spiritual, kondisi demikian dapat dimaknai sebagai hal yang tidak menguntungkan. Di Pulau Jawa saja ada beberapa ratus ajaran kepercayaan yang merupakan sempalan(varian) dari agama Islam. Berbagai ajaran kepercayaan yang pada umumnya berupa ajaran budi luhur dan peran untuk mencapai tataran insan kamil(hidup sempurna) justru sering dimaknai sebagai bentuk penyimpangan terhadapagama.
Sedangkan dalam kacamata filsafat timur, banyaknya ajaran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah suatu keniscayaan, karena manusia adalahhomo religious dan homo festisius. Setiap manusia berhak mencari Tuhannya dengan caranya masing-masing yang pasti berbeda-beda sesuai dengan keyakinan yang mereka anut. Upaya pencarian Tuhan dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu melalui wahyu dan melalui akal pikiran manusia.
Pencarian Tuhan melalui wahyu adalah sebagaimana dilakukan dan dilaksanaan dalam ajaran agama, seperti dicontohkan oleh nabi-nabi terdahulu yang bertugas benar-benar sebagai Mandataris Tuhan, tidak ada konpromi untuk penyampaian pesan Tuhan, itulah yang semestinya kita tiru. Adapun pencarian Tuhan melalui akal pikiran didasarkan pada hasil olahan cipta, rasa dan karsa. Dalam hal ini pengalaman dan tindakan yang bersifat pribadi sangat menentukan seberapa dekat seorang manusia dalam mengenal Tuhannya. Oleh karena itu konsep pencarian Tuhan model yang demikian ini digolongkan sebagai bagian dari kebudayaan, bukan agama.
Namun demikian baik pencarian Tuhan melalui wahyu maupun akal pikiran sama-sama mempertanyakan apa dan siapakah manusia itu, dari mana asal manusia, apakah yang dimaksud dengan hidup dan kemanakah perginya manusia setelah hidup di dunia. Dengan kata lain manusia mencari jawaban dari persoalan aku mbiyen ora ana, ning saiki dadi ana, mbesuk maneh ora ana.
Selama manusia masih ada, saya yakin varian-varian kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang demikian ini akan terus berlangsung, dan semakin berkembang. Sebab pencarian Tuhan adalah persoalan yang sangat pribadi dan sensitif. Setiap pribadi berhak menentukan pilihan jalan untuk mencapai derajat ketuhanan yang diyakininya. Persoalan selanjutnya adalah bagaimana agar sistem kepercayaan semacam ini dapat sinergi dalam kehidupan sosial budaya dialam post modernisme seperti sekarang? Hal paling sederhana yang dapat dilakukan adalah dengan cara saling menghormati dan saling menghargai, toleransi antar pemeluk agama dan kepercayaan.
Beruntung sekali kita semua yang hidup didalam bingkai UUD 1945. Sungguh besar dan panjang pemikiran founding father kita dahulu, mereka memahami, meyakini dan mampu membayangkan kehidupan keberagaman yang akan terus berembang di ndonesia, dan itulah sebabnya mereka cetuskan UUD 1945. Kebebasan memeluk agama dan kepercayaan sebagaimana tersebut di dalam UUD’45 pada prinsipnya justru melahirkan keterbatasan. Semakin kita bebas menentukan pilihan maka berarti pula kita semakin terbatas dengan pilihan yang kita tentukan. Dalam falsafah Jawa dikenal ungkapan isi sama dengan kosong dan kosong sama dengan isi.
Dengan demikian tanpa adanya toleransi akan berakibat tergusurnya kebebasan orang lain dalam menentukan pilihannya. Apabila hal ini terjadi maka akan bermuara pada terjadinya konflik antar kelompok agama/kepercayaan, antar etnik dan antar kepentingan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar