Media Informasi Pemuda Peduli Dhuafa Gresik (PPDG) || Website: www.pemudapedulidhuafa.org || Facebook: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Twitter: @PPD_Gresik || Instagram: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Email: ppd.gresik@gmail.com || Contact Person: 0838-3199-1684 || Nomor Rekening: 0335202554 BNI a.n. Ihtami Putri Haritani || Konfirmasi Donasi di nomor telepon: 0857-3068-6830 || #SemangatBerkarya #PPDGresik

Selasa, 29 April 2014

Penting Mana? Status Sosial atau Nilai Sosial?

Seorang wanita berjalan cepat menyusuri tangga. Setelah sampai di muka pintu kaca, sambil menunggu bus, dikeluarkannya sebuah ear-phone yang tersambung dengan telepon pintarnya. Sesekali hembusan nafasnya terdengar tak teratur di balik masker yang menutup mulut dan hidungnya.
Orang di sebelahnya hampir memiliki kenampakan yang sama. Hawa gelisahnya seolah terfasilitasi saat menunggu bus—meski tanpa ear-phone, aktivitas jari, mata, dan pikiran bersama telepon pintarnya cenderung intensif.
Di seberang jalan, terlihat lelaki berkacamata hitam berumur 30an tahun mengendarai sebuah mobil pabrikan Jepang. Sesekali klakson dibunyikan, seakan mengingatkan angkutan kota di depannya yang berhenti sembarangan.
“Urip kok rasane kemrungsung (Hidup rasanya tergesa-gesa)”, begitu ungkapan teman saat saya mendiskusikan tentang fenomena yang saya lihat di atas.
Meeting, deadline, project, tuntutan bos, dan segala isu tentang dunia pekerjaan seolah menjadi penghuni tetap pikiran, kemudian meluap menjadi bahan pembicaraan, selanjutnya menjadi pembentuk fenomena-fenomena sosial.
Kadang fenomena seorang individu bertabrakan dengan individu lainnya, atau bahkan kelompok lainnya. Jadilah kegelisahan sosial meletup di mana-mana. Meledak di titik-titik penjuru negeri ini.
Gejala tentang lengsernya nilai-nilai sosial yang dari dulu diwariskan oleh leluhur mulai muncul di sudut-sudut media. Di antaranya adalah berbagai berita miris tentang tindakan ironis yang akhir-akhir ini tersuguh di mata kita. Mulai dari kisah Dinda di kereta, pelecehan di JIS (Jakarta International School), sampai peristiwa kematian siswa STIP Jakarta.
Ada apa sebenarnya di balik berita-berita yang kita tonton? Apa sebenarnya yang terjadi di setiap kepala, badan, dan hati kita? Apakah sudah sedemikian jauh perasaan “memanusiakan manusia” kepada sesama manusia? Apa kabarnya nilai-nilai luhur yang katanya diwariskan oleh orang tua kita? Ada apa di balik semua ini?
*
Seperti prolog tentang fenomena sosial yang saya tulis di awal tulisan, fenomena-fenomena sosial di kawasan perkotaan menjadi tidak terasa bahwa ternyata ada yang berubah seiring berubahnya jaman. Mbak-mbak yang bekerja di kantoran, Dinda yang akan berangkat ke kampus, atau beberapa bagian masyarakat lainnya, seolah tak berdaya menahan gempuran ‘kemajuan’ hingga menanggalkan kebiasaan (kadang disebut adat) tata karma yang bukan hanya diajarkan di rumah, tetapi juga di sekolah.
Contoh kecil fenomena pergeseran nilai sosial yang cukup mudah ditemui adalah saat melihat tentang kepemilikan suatu barang, dengan bergesernya fungsi yang substansial menjadi fungsi penentu status sosial.
Saya coba merenungkan hal-hal berikut;
Sebelum televisi dimiliki oleh semua orang, aktivitas malam mungkin diisi dengan pengajian, berkumpul bersama handai taulan, atau segera merapat di peraduan.
Sebelum laptop menjamur seperti sekarang, obrolan di warung kopi berlangsung ‘live’ dan penuh kehangatan.
Sebelum telepon genggam bebas beredar, menunggu sesuatu sering diisi dengan obrolan yang menyatukan hal-hal yang mungkin berseberangan.
Memang, seiring segala sesuatu yang dianggap ‘kemajuan’ datang, seolah akses informasi menjadi terbuka sangat lebar. Produktivitas digadang-gadang meningkat pesat dengan fasilitas teknologi yang terus berkembang. Lalu keterhubungan didewakan menjadi semakin erat, membuat yang jauh menjadi kelihatannya dekat.
Namun, apakah sisi-sisi yang menjadi kontraprestasi atau bahkan mereduksi (yang lebih parah mungkin mendekonstruksi) hal-hal yang bersifat manusiawi tidak terjadi? Apakah hal-hal yang dianggap abstrak yang secara lantang kita suarakan sebagai ajaran luhur orang tua-orang tua kita tidak tereliminasi?
Saya coba teruskan tentang bergesernya fungsi substansial kepemilikan suatu barang yang saya jadikan contoh di atas:
Berapa inchi ukuran televisi seolah menjadi ukuran berapa penghasilan.
Seberapa canggih laptop yang dimiliki seakan menjadi parameter seberapa tinggi posisi.
Seberapa pintar dan update sebuah handphone yang digenggam mungkin menunjukkan kesibukan harian.
Dan seabrek simbol yang dijadikan sebagai indikator status sosial lainnya.
Bukannya mobil adalah salah satu alat transportasi? Lalu mengapa membeli mobil yang harganya lebih dari Rp 1 miliar jika mobil yang berharga Rp 300 juta saja bisa dijadikan alat transportasi?
13987014671800403286
Mana yang lebih bersifat substansi? Alat indikator status sosial atau alat transportasi? (dok. pribadi)
Saya tidak mempermasalahkan, apa barangnya dan mengapa beberapa orang memiliki aset-aset tersebut, entah memang karena fungsi substansialnya, ataupun karena status sosialnya. Tetapi pertanyaanya, apakah ada yang berubah dengan nilai-nilai sosial saat status sosial telah berubah? Apakah dengan ukuran televisi yang lebih lebar akan membuat seseorang lebih peduli dengan tetangganya yang kekurangan? Apakah saat memiliki laptop yang lebih canggih seseorang akan lebih simpati terhadap saudaranya yang membutuhkan pertolongan? Apakah semakin pintarhandphone yang dipegang membuat seseorang semakin empati melihat fenomena keganjilan di masyarakatnya?
Mengutip Robert A Baron melalui bukunya yang berjudul Social Psychology, empati adalah kemampuan seseorang untuk bereaksi terhadap emosi negatif atau positif orang lain seolah-olah emosi itu dialami sendiri. Jika simpati bermakna bisa mengerti dan peduli dengan pikiran dan perasaan orang lain, namun empati lebih dalam lagi, yakni bisa merasakan dan memahami benar atas pikiran dan perasaan orang lain (dikutip dari http://www.wikimu.com/News/Print.aspx?id=19711 seperti aslinya).
Lalu bagaimana akan muncul kepekaan, apalagi simpati dan empati, jika pancainderanya sudah terisolir?
Jika mata yang tertutup kacamata, hidung dan mulut yang terbatasi masker, telinga yang tersumbat ear-phone, dan kulit yang terbungkus jaket, bagaimana bisa melihat kaum difabel yang butuh uluran tangan? Bagaimana bisa mencium bau khas anak jalanan? Bagaimana bertegur sapa dengan tetangga? Bagaimana mendengar suara rintihan warga di lingkungan kumuh? Bagaimana merasakan dinginnya tidur di emperan toko di kala malam?
Memang dengan adanya “tabir” yang menutup pancaindera tersebut tak bisa dijadikan indikator apakah seseorang mampu bersimpati/berempati kepada orang lain atau tidak. Tapi, saya takut, adanya tabir tersebut jangan sampai membuat tembok pembatas untuk mendekat kepada saudara, tetangga, masyarakat, atau siapapun di sekitar kita. Saya takut jika tabir yang membatasi pancaindera kita benar-benar membatasi simpati, empati, dan segenap hati kita.
Saya kemudian bergumam, apakah di jaman ini, peringkat status sosial lebih penting dari nilai-nilai sosial?
Rasanya saya masih belum pantas memberikan klaim, kesimpulan, apalagi himbauan tentang pentingnya nilai-nilai luhur dalam ranah sosial. Tulisan ini hanya refleksi saja dari apa yang saya lihat dan saya rasakan sambil terus mencari jawaban beberapa pertanyaan:
Pernahkah kita menghitung berapa kerugian atas hadirnya kemajuan?
Berapa banyak biaya yang dikeluarkan untuk mengembalikan nilai-nilai sosial yang telah tergerus akibat datangnya kecanggihan teknologi?
Bagaimana kita menebus suasana guyub-gayeng-gotong royong yang telah luntur gara-gara terseret arus modernisasi masif di negeri kita?
Salah satu aktivitas antarsaudara atau tetangga di desa (dok. pribadi).
Salah satu aktivitas antarsaudara atau tetangga di desa (dok. pribadi).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar