Menjadi pemimpin bisa meneguhkan biografi
diri seseorang. Menguatkan dirinya sebagai yang berada, tak sebatas ada. Namun
status tersebut selalu menghadirkan tantangan sekaligus harapan. Baik dalam
proses pencapaian status tersebut maupun dalam proses kreatifnya. Pemimpin
selalu menjadi yang terdepan; menerima efek positif dari lakunya, atau juga
sebaliknya, menanggung resikonya.
Menjadi pemimpin bukanlah hal yang mudah.
Sebab sikap-sikap kepemimpinan diperoleh bukan dari bakat sejak lahir, ataupun
dengan mempelajarinya selama beberapa jam pertemuan. Sikap kepemimpinan
merupakan sebuah proses yang terus menerus dalam tahap menjadi. Jadi sikap
kepemimpinan dalam diri seseorang bukan sesuatu yang sifatnya pasti, tetap atau
juga stagnan. Sikap itu terus membangun diri melalui serangkaian tempaan,
sejalan dengan semakin matangnya pola pikir serta kedewasaan sikap.Sikap itu
bukan sesuatu yang bisa mencapai tahap finish. Serangkaian proses yang tak
pernah usai tersebut menjurus pada satu tujuan, menjadi pemimpin yang
sesungguhnya. Lalu, bisakah seseorang menjadi pemimpin yang sesungguhnya?
Pemimpin yang sesungguhnya atau lumrah
disebut sebagai pemimpin ideal dalam arti paling purba adalah seorang pemimpin
yang mampu menjalankan fungsi dan perannya, yang tak lain adalah mengatur.
Setidaknya dalam ranah ideologis memang demikian, namun akan memperoleh
perluasan jika dibenturkan dalam ranah praktis. Dibenturkan dalam kehidupan
nyata di masyarakat. Apa yang diajarkan Ki Hajar Dewantara setidaknya bisa
menjawab permasalahan ini. Seorang pemimpin adalah; Ing ngarso sung tuladha (di
depan sebagai contoh), ing madya mangun karso (di tengah memberi semangat), tut
wuri handayani (di belakang memberikan dorongan). Pengertian ini menunjukkan
bahwa seorang pemimpin jauh dari sikap pemanfaatan kekuasaan untuk memerintah
seenaknya.
Menjadi seorang pemimpin ideal memang sulit
dan memerlukan proses belajar yang panjang, namun bukan berarti tidak mungkin.
Pada dasarnya manusia adalah pemimpin, setidaknya menjadi pemimpin atas dirinya
sendiri. Hal ini sejalan dengan idiom bahwa tiap manusia akan menanggung
sendiri dari apa yang telah ia lakukan. Jadi di sini manusia dituntut untuk
bisa mengontrol dirinya agar tetap pada koridor dan nilai-nilai tertentu.
Tantangan dan Harapan
Namun seorang pemimpin baru akan benar-benar
memperoleh tantangan jika dia menjadi pemimpin dalam organisasi atau kelompok
tertentu. Sebab di sini dia juga bertanggung jawab bukan hanya pada apa yang
dia lakukan, tapi juga apa yang dilakukan oleh anggotanya. Lebih dari itu, juga
bertanggung jawab atas tercapai atau tidaknya tujuan tertentu. Sehingga
filosofi hidup yang diutarakan Ki Hajar Dewantara di atas sekaligus merupakan
tantangan untuk menjadi seorang pemimpin yang ideal.
Di depan sebagai contoh, artinya selain ia
menjalankan tugas pokok sebagai pemimpin, ia juga harus mampu bersikap positif,
mampu memberikan positif impact, sehingga ia layak untuk menjadi
"bahan" percontohan sikap dan prilaku bagi liyan (the other) yang tak
lain adalah para anggotanya. Selanjutnya, di tengah memberi semangat, artinya
dalam aktifitas untuk mencapai tujuan, seorang pemimpin tidak melulu mengatur,
pemimpin harus mampu memberikan sentuhan-sentuhan penyemangat agar para anggota
juga tidak merasa diperas, ditekan dalam aktifitasnya. Ketiga, di belakang
memberi dorongan, di sinilah seorang pemimpin tidak selalu dalam posisi di
depan dalam derap langkah sebuah aktifitas. Seorang pemimpin yang ideal harus
mampu dan mau “turun tahta” untuk sementara waktu, untuk membaur bersama
anggota dan memberikan dorongan-dorongan di saat mereka dalam keadaan lemah,
fisik atau pun mental. Sikap-sikap tersebut mencerminkan sikap luwes
(transformatif) pada diri pemimpin. Dia mampu memerankan berbagai adegan dalam
kancah aktifitas berorganisasi.
Selain sikap sekaligus tantangan bagi
pemimpin ideal di atas, pemimpin juga diharapkan mampu menjalani komunikasi
dengan baik. Komunikasi adalah sebuah penengah (medium) antara pemimpin dan
anggota. Hemat penulis, terjalinnya komunikasi yang baik, akan tercipta pula
iklim harmonis dalam organisasi tersebut. Sehingga sangat wajar jika Marshal
Mc. Luchan mengatakan, "medium is power". Komunikasi adalah kekuatan
sekaligus kekuasaan. Atau dengan ekstrim Cicero mengatakan "tak ada yang
satu hal pun yang tak dapat diciptakan atau dihancurkan atau dapat diperbaiki
dengan kata-kata", di mana kata adalah moda utama komunikasi. Namun harus
diakui untuk mencapai sikap-sikap itu butuh proses panjang. Sehingga muncul
pertanyaan yang cenderung politis, mengapa seseorang ingin jadi pemimpin?
Pertanyaan ini akan terjawab jika tujuan sekaligus harapan menjadi pemimpin
terjawab.
Secara internal, harapan sekaligus tujuan
seseorang untuk memimpin, jika meminjam istilah Friedrich Nietzche adalah
adanya kehendak untuk berkuasa (the will to power). Bakat alami yang dimiliki
oleh manusia adalah keinginannya untuk menguasai. Kehendak untuk berkuasa di
sini dapat dirumuskan sebagai kekuatan yang memerintahkan tanpa adanya suatu
pasivitas. (St. Sunardi, 2009: 63). Harapan ini mengandaikan orang lain agar
mengatakan "Ya" atas ide, perkataan, hingga laku kita. Di sinilah
persepsi mengenai pemimpin menemui definisi banalnya, memerintah. Menjadi
pemimpin itu mudah karena hanya memerintah.
Selain itu, menunjukkan eksistensi juga
menjadi tujuan seseorang menjadi pemimpin. Jika mengacu pada teori Abraham
Moslow, maka menjadi pemimpin adalah jalan untuk memenuhi kebutuhan akan
eksistensi diri. Meneguhkan biografi diri dalam pergolakan di panggung dunia.
Sebab efek yang tak disadari dari seorang pemimpin adalah menjadi populer. Dua faktor esensial inilah yang menjadikan
seseorang ingin dan berani menjadi pemimpin. Namun yang terpenting dari itu
semua adalah bagaimana kita memimpin dengan baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar