Media Informasi Pemuda Peduli Dhuafa Gresik (PPDG) || Website: www.pemudapedulidhuafa.org || Facebook: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Twitter: @PPD_Gresik || Instagram: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Email: ppd.gresik@gmail.com || Contact Person: 0838-3199-1684 || Nomor Rekening: 0335202554 BNI a.n. Ihtami Putri Haritani || Konfirmasi Donasi di nomor telepon: 0857-3068-6830 || #SemangatBerkarya #PPDGresik

Sabtu, 26 April 2014

Mengapa Aceng Fikri Bisa Melaju ke Senayan?

Berita disahkannya Aceng HM Fikri mantan Bupati Garut oleh KPU Jabar sebagai Anggota DPD 2014-2019, mendapat sambutan negatif dari sebagian orang, baik dari para lelaki maupun perempuan. Dan kaum perempuan lebih keras dalam menyatakan pendapat. Percakapan dua perempuan di sebuah grup BB menggambarkan ini:
A: “Aceng Fikri yang sensasional dari Jawa Barat melenggang dengan lajunya ke Senayan. Dia akan melegalisir poligami nampaknya.”
B: “OMG…musibah untuk warga Jabar.”
A: “Bener-bener musibah moral! Masyarakat yang lapar dengan mudah memilih dan membela yang mbayar.”
Di tingkat nasional, Komisioner Komisi Nasional Perempuan, Masruchah, berpendapat “Bisa dibilang ada cacat pada sosok Aceng” (tempo.co). Bahkan dia meminta Aceng untuk membuat pakta integritas yang isinya secara garis besar tidak akan mengulangi perbuatannya terdahulu.
Tokoh wanita yang berpendapat tidak sekeras Masruchah dalam menyikapi kemenangan Aceng Fikri adalah Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Gumelar. Dia diberitakan kehabisan kata-kata ketika mengetahui Aceng Fikri berhasil melaju menjadi anggota DPD (republika.co.id). Ia hanya bisa berharap, semoga dalam perjalanan Aceng ke depan, pengalaman yang lalu bisa dijadikan pelajaran dan jadi pertimbangan. Linda juga berharap agar Aceng benar-benar bisa memperhatikan kepentingan perempuan dan anak-anak.
Cap kurang sedap yang melekat pada H. Aceng terjadi karena kasus pernikahannya dengan Fany Octora, gadis 18 tahun, yang hanya berusia 4 hari. Itu terjadi di saat dia menjabat sebagai Bupati Garut.
Terlepas dari cap kurang sedap, kenyataannya dia mampu meraih suara terbesar ketiga untuk meraih satu tiket DPD. Dia sukses meraup sebanyak 1.139.556 pemilih. Sebuah sukses yang meruntuhkan logika kebanyakan orang di luar Garut, baik yang berada di Jakarta maupun di kota-kota lain. Dia berhasil mengalahkan nama-nama yang secara hirarki tampak lebih hebat dari dirinya, yaitu mantan Wakil Ketua DPRD Jabar yang juga mantan Ketua PDI-P Jabar (Rudi Harsa Tanaya) dan mantan Wakil Gubernur Jabar (Nu’man Abdul Hakim). Juga berhasil dia kalahkan mantan anggota DPR RI, Suharna Surapranata dan Syarif Bastaman. Mereka meraih suara antara 201 ribu hingga 423 ribu.
Kok bisa seseorang yang dijatuhkan dari jabatan publiknya kembali maju dengan meraih kepercayaan publik?
Setelah dijatuhkan dari jabatan Bupati Garut pada Februari 2013 dan dipecat dari Golkar, dia berusaha tetap setia dengan karir politik. Dia pun mendaftarkan diri menjadi politikus Hanura. Tetapi usahanya kandas (detik.com). Tidak putus asa, dia pun mengadu nasib dengan mendaftarkan diri sebagai caleg dari jalur DPD (Dewan Perwakilan Daerah) mewakili wilayah Jabar.
Syarat untuk menjadi caleg dari jalur DPD adalah dukungan dari sedikitnya 5.000 orang yang harus dibuktikan dengan tanda tangan. Aceng Fikri berhasil menghimpun 6.750 tandatangan yang diperoleh dari 13 kabupaten/kota. Meski diberitakan di jari ungu dia berstatus tersangka dan lolos sebagai caleg anggota DPD, kenyataannya namanya tetap terus melaju dan masuk dalam daftar caleg DPD Jawa Barat.
Aceng Holik Munawar Fikri, S.Ag., mengaku menghabiskan dana Rp 300 jutaan dalam musim kampanye. Menurutnya, biaya yang dikeluarkannya untuk kampanye pencalonan menjadi DPD adalah yang paling kecil dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan caleg-caleg lain.
Jika benar jumlah dana yang dikeluarkan hanya Rp 300 jutaan, yang dalam hitung-hitungan dana kampanye caleg terbilang kecil, tentu ada sebab lain yang membuat dirinya mampu meraih suara ketiga terbanyak se-Jawa Barat.
Mungkin teknik membangun citra dan hubungan via shalat Jumat menjadi salah satu strategi kampanyenya yang berhasil. Setiap hari Jumat dia meninggalkan rumah jam 10.00. Tidak ada tujuan tertentu, kabarnya. Dia pergi ke masjid yang berada di Garut Kota atau ke Kabupaten lain seperti Tasikmalaya atau Ciamis. Dia tidak melakukan sosialisasi apa pun. Hanya jika ada orang yang menyapa, dia meladeni untuk ngobrol. Jika tak ada yang menyapanya, dia pun langsung pulang.
Mungkin saja sebagian dari jamaah shalat Jumat mengenali siapa Aceng Fikri yang turut shalat Jumat bersama mereka. Tetapi mereka menganggapnya biasa saja. Namun, bisa juga kehadirannya meninggalkan kesan positif di beberapa orang. Dan kalau dijumlahkan seluruh masjid-masjid yang pernah dikunjunginya, bisa dibayangkan berapa banyak para lelaki yang “ditanami” kesan positif tentang dirinya.
Apakah karena itu bisa disimpulkan mayoritas pemilihnya adalah pria?! Dari berita-berita yang bisa dilihat di dunia maya, tak disebutkan berapa jumlah pemilih pria dan pemilih wanita di antara 1,1 juta suara yang diraihnya.
Jika menyimak perolehan suara Aceng Fikri ketika memenangkan jabatan Bupati Garut, persentase suara yang diraihnya mencapai 57 persen. Sebuah angka kemenangan yang telak mengingat dia maju sebagai calon perorangan. Sementara pesaingnya didukung dua partai besar, yaitu PDI-P dan Golkar. Menurut Asep Warlan Yusuf, dosen Unpar yang mengamati pemerintahan dan politik, kemenangannya itu karena masyarakat memiliki harapan baru pemimpin yang bukan dari partai politik.
Tampaknya, Aceng Fikri cukup jeli untuk memanfaatkan peluang harapan masyarakat itu. Meski tidak ada jaminan dia bakal mendapatkan kepercayaan lagi, toh dia tetap maju.
Di sini tampaknya ada faktor lain yang perlu kita lihat. Faktor sosial masyarakat Kabupaten Garut dan Kabupaten disekitarnya, amat kuat dalam hal kehidupan spiritual khususnya dalam hal kegiatan keagamaan (Islam). Aceng Fikri yang Sarjana bidang Agama dan perilakunya yang dinilai wajar dalam batas-batas keagamaan masih mendapatkan tempat di hati masyarakat.
Kalau ditilik lima peraih suara terbanyak dari Jawa Barat, hanya satu yang mungkin pernah aktif di partai, yaitu Asep Syaripudin. Dia meraih jumlah terbanyak keempat. Yang kelima adalah Ketua PW NU, sebuah organisasi massa. Tampaknya, pendekatan kelima caleg dengan raihan suara terbanyak itu mempunyai kesamaan, yaitu melakukan pendekatan (kegiatan) keagamaan.
Dari sederet “kesalahan” Aceng Fikri, kesalahan yang dianggap paling besar adalah dalam hal perkawinan kilatnya dengan seorang gadis. Dan itu terwakili dalam pendapat Komisioner Komisi Nasional Perempuan yang disebutkan di awal tulisan ini. Nah pertanyaannya adalah mengapa masyarakat Jawa Barat tetap memberi kepercayaan padanya?
Di sini terjadi perbedaan persepsi antara masyarakat Jawa Barat (khususnya para pendukung Aceng Fikri) dan masyarakat di luar Jawa Barat.
Masyarakat pendukungnya melihat bahwa perkawinan kilatnya secara hukum agama (syariah) memenuhi syarat atau rukun nikah. Dan itu berbeda dari hukum positif negara. Negara melihat usia si wanita yang belum genap 18 tahun saat terjadi pernikahan sebagai sebuah pelanggaran. Dan itu dikatakan batal demi hukum. Tetapi, dari sudut syariah (termasuk fikih), usia 17 tahun dan beberapa bulan sudah sah untuk menikah. Dan sepanjang syarat/rukun nikah dipenuhi, maka sepanjang itu sah perkawinannya. Meski tanpa ada keterangan surat dan meski kejadiannya hanya 4 hari.
Di sini kejelian Aceng Fikri memanfaatkan situasi dan cara pandang masyarakat Jawa Barat untuk tetap maju di jalur politik.
Terlepas dari “dosa-dosa”-nya, Aceng Fikri memberi kita pelajaran tentang keteguhan dalam karir politik, dengan memanfaatkan pengetahuan tentang masyarakat pemilih. Secara tidak langsung, dia juga memberi tahu kita tentang praktek kehidupan beragama masyarakat Jawa Barat. Juga, secara tidak langsung dia memberi tahu kita tentang kekecewaan dan kejenuhan masyarakat Jawa Barat, khususnya Garut, terhadap politikus dan partai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar