Media Informasi Pemuda Peduli Dhuafa Gresik (PPDG) || Website: www.pemudapedulidhuafa.org || Facebook: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Twitter: @PPD_Gresik || Instagram: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Email: ppd.gresik@gmail.com || Contact Person: 0838-3199-1684 || Nomor Rekening: 0335202554 BNI a.n. Ihtami Putri Haritani || Konfirmasi Donasi di nomor telepon: 0857-3068-6830 || #SemangatBerkarya #PPDGresik

Minggu, 27 April 2014

Islam Moderat/Liberal Mewujudkan Muslim yang Intelek

“Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari Ahlul Kitab telah berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Sesungguhnya (umat) agama ini (Islam) akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua golongan tempatnya di dalam Neraka dan hanya satu golongan di dalam Surga, yaitu al-Jama’ah.”
(HR. Abu Dawud No. 4597)
Sudah bukan rahasia lagi bahwa Islam pada masa kini telah banyak berubah bila dibandingkan dengan masa saat Rasulullah SAW masih hidup, banyaknya golongan-golongan yang lahir sepeninggal Rasulullah SAW tentulah menyebabkan banyaknya perbedaan pendapat pula. Tiap golongan merasa paling benar, pengkafiran terhadap Islam yang golongan lain menjadi hal yang biasa padahal itu sebuah ironi dan saya kira itu adalah hal yang tidak perlu karena selain merusak ukhuwah islamiyah juga merusak makna Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin.
Kali ini saya akan membahas mengenai ramainya penolakan terhadap kelompok yang menyebarluaskan ajaran Islam Moderat di Indonesia, yakni Jaringan Islam Liberal (JIL). Seperti yang kita ketahui bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya adalah kaum konservatif, yang mana cenderung kurang bisa menerima hal-hal yang baru. Seringkali umat Islam Indonesia yang konservatif menemui kebuntuan dalam berbagai permasalahan kehidupan di era modern, hal tersebut terjadi karena kurangnya penggunaan nalar dan kesadaran konstektual-historis dalam memahami Al-Quran dan Al-Hadits. Munculnya kelompok-kelompok ekstrimis Islam tak lain disebabkan karena pemahaman Al-Quran dan Al-Hadits secara tekstual, sehingga teks-teks agama cenderung dianggap sebagai “buku manual” yang harus mutlak diikuti kata demi kata.
Tujuan daripada beragama dengan akal adalah untuk menimbukan rasa sukarela dan rasa tidak terpaksa dalam beragama, serta untuk menjawab berbagai permasalahan yang tidak dijelaskan dalam Al-Quran dan Al-Hadist dengan cara ber-ijtihad. Menafsirkan suatu nash secara kontekstual sendiri sudah dilakukan sejak awal perkembangan Islam, pada masa Khalifah Umar bin Khattab misalnya, sekitar akhir tahun 18 H, saat itu Arab tengah dilanda musibah kelaparan yang disebabkan kemarau panjang. Beberapa budak terbukti mencuri onta karena kelaparan, namun Umar tidak menjatuhi hukum potong tangan terhadap mereka sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikut:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya” (QS. Al Ma’idah: 38)
Saat itu Umar justru mendenda majikan mereka, Hatib Ibn Abi Balta’ah mengganti dua kali lipat dari harga onta tersebut pada pemiliknya dan berkata kepada para budak yang mencuri itu, “Kalian pergilah dan jangan ulangi lagi perbuatan seperti itu!”
Keputusannya untuk tidak menjalankan firman Allah secara tekstual itu membuatnya dikecam karena dianggap telah mengingkari Al-Quran dan Al-Hadits, namun bagi Umar hal yang dilakukannya lebih baik daripada memotong tangan para budak yang tidak sepenuhnya bersalah.
Kisah kedua, Umar menjabat sebagai khalifah kedua. Saat itu kaum muslimin berhasil merebut tanah pertanian yang membentang dari Suriah, Irak, Persia, sampai Mesir. Berdasarkan ketentuan QS Al-Anfal: 41, berikut lafadznya:
وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ إِنْ كُنْتُمْ آمَنْتُمْ بِاللَّهِ وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ, semestinya prajurit yang ikut berperang mendapat empat perlima dari rampasan (ghanimah), sedangkan yang seperlima masuk kas negara untuk kemaslahatan umat. Hal tersebut dilakukan oleh Rasulullah SAW ketika membebaskan tanah Khaibar, Madinah.
Namun Umar khawatir, apabila ia mengikuti nash itu secara tekstual, maka akan mengancam kemaslahatan umat, karena dengan cara begitu, tanah pertanian akan habis di-kavling dan tak ada sisa untuk generasi berikutnya. Umar lantas ber-ijtihaddemikian, bahwa tanah tidak dibagi-bagi, melainkan tetap digarap oleh pemilik asli dengan syarat membayar kharaj (pajak). Status tanah itu menjadi milik negara.
Ketika itu, Umar ditentang keras oleh para sahabat, seperti Bilal, Abdurrahman bin Auf, dan Zubair bin Awwam. Ia dinilai berani melanggar nash yang secara eksplisit menjelaskan pembagian harta rampasan. Umar juga dianggap meninggalkan Sunnah Rasul di Khaibar, namun Umar bersikukuh dengan ijtihad-nya dan akhirnya pendapatnya yang menang.
Sangat banyak kisah-kisah yang intinya serupa dengan kisah di atas namun silahkan para pembaca mencari sendiri, intinya yang ingin saya tekankan disini adalah bahwa tafsir terhadap suatu nash adalah relatif, sehingga kita tidak bisa mengatakan bahwa tafsir A adalah yang benar karena penafsiran adalah hasil pemikiran manusia yang sangat subjektif dan tidak mutlak. Berangkat dari pendapat saya di atas, tidak bisa kita mengklaim bahwa Islam kita adalah yang paling benar dan mengkafirkan selain golongan kita karena keyakinan dan pemahaman kita adalah tafsir kita terhadap Islam, dan setiap muslim punya tafsir tersendiri mengenai Islam.
Saya rasa pengkafiran terhadap Islam golongan lain adalah wujud dari arogansi beragama, sangat perlu untuk dihindari, selain karena memang tidak perlu dilakukan juga merusak ukhuwah islamiyah. Fanatisme dalam ber-Islam telah membutakan umat muslim menjadi umat intoleran. Umat muslim di Suriah kini menderita karena pertengkaran Sunni-Syiah, jangan sampai umat muslim di Indonesia menderita karena hal tidak perlu semacam itu. Akhir kata saya mengutip sebuah perkataan Imam Malik Rahimahullah, “Laisa min ahadin illa yu’khodzu min qaulihii wa yutroku illa Rasulullah SAW” - Siapapun orangnya, perkataannya bisa ditolak dan bisa diterima, kecuali Rasulullah SAW (harus diambil perkataannya).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar