Sejak
beberapa tahun terakhir, kesadaran masyarakat untuk berzakat di tanah air kita
cukup tinggi. Hal itu antara lain ditunjukkan dengan meningkatnya penerimaan
dana zakat, infaq dan shadaqah yang dihimpun dari masyarakat pada hampir semua
lembaga zakat. Jika kesadaran tersebut, baik di level perorangan maupun
institusi/perusahaan (korporasi) terus tumbuh untuk menunaikan zakat, maka output yang dicapai insya Allah akan lebih
signifikan. Artinya, kontribusi zakat dalam mengatasi masalah kemiskinan dan
problema sosial lainnya di negara kita, seperti sering terungkap melalui
berbagai hasil penelitian dan kajian, akan terwujud sebagaimana diharapkan.
Dalam
rangka penguatan dan pembinaan kesadaran berzakat yang bersifat masif,
konsisten dan total, perlu membangun apa yang disebut sebagai “komunitas
zakat”. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia,
Badudu-Zain (Pustaka Sinar Harapan, 1994), komunitas diartikan “sebagai
kesatuan yang terdiri atas individu-individu; (dan) masyarakat.”Sesuai
pengertian menurut bahasa, maka yang dimaksud dengan istilah komunitas zakat
disini adalah kesatuan yang terdiri atas individu-individu dan masyarakat yang
sadar, peduli, bertanggung jawab, dan memiliki keterlibatan secara moral,
pemikiran dan operasional dalam perzakatan, baik selaku muzaki, amil, mustahik,
pemerintah, media massa, dan seterusnya.
Untuk
membangun komunitas zakat sebagaimana dimaksud di atas, amil merupakan salah
satu komponen yang memiliki peranan dan tanggung jawab strategis. Oleh karena
itu, perekrutan amil tidak boleh dilakukan secara sembarangan dan tanpa
kriteria yang jelas, tetapi amil harus memenuhi syarat memiliki dasar agama
yang kuat, akhlakul karimah, kompetensi pengetahuan tentang fiqih zakat dan
tata kelolanya, memiliki kecerdasan secara intelektual, emosional, sosial dan
spiritual, dan memiliki kemauan untuk terus belajar dalam rangka penunjang
tugas keamilan. Di samping itu, amil juga harus pandai memanfaatkan media,
seperti media cetak, elektronik maupun “jejaring sosial” dalam rangka
sosialisasi dan edukasi zakat.
Di
samping itu, hubungan dan pola komunikasi yang harus terbina antara amil dengan
muzakki maupun mustahik, bukan hanya hubungan transaksional, yakni menerima
pembayaran zakat, mengadministrasikan dan menyalurannya, akan tetapi amil
sekaligus harus mampu berperan sebagai “sahabat spiritual”(meminjam istilah
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, Wakil Menteri Agama) bagi para muzakki dan mustahik
yang dilayaninya.
Selanjutnya
untuk menggali potensi zakat yang besar di negara kita, menurut penelitan tahun
2011 mencapai Rp 217 triliun per tahun, paling tidak diperlukan empat langkah
yang harus dilakukan secara simultan.
Pertama, sosialisasi dan
edukasi kepada masyarakat terkait dengan hukum dan hikmah zakat, harta objek
zakat sekaligus tata cara perhitungannya, serta kaitan zakat dengan pajak.
Kedua, penguatan keamilan,
sebagaimana telah dijelaskan dimuka, karena amil adalah “tulang punggung” dalam
pengelolaan zakat. Kinerja amil akan menjadi cerminan keberhasilan pengelolaan
zakat. Untuk itu, amil perlu memiliki data base mustahik dan muzaki yang akurat dan up
to date sehingga
pengumpulan dan penyaluran zakat dapat dipetakan dengan baik.
Ketiga, penyaluran zakat yang tepat sasaran sesuai dengan ketentuan
syariah dan memperhatikan aspek-aspek manajemen yang transparan. Misalnya,
zakat di samping diberikan secara konsumtif untuk memenuhi kebutuhan primer
secara langsung (QS Al-Baqarah : 273), juga diberikan untuk meningkatkan
kegiatan usaha dan kerja mustahik/zakat produktif (al-hadist).
Keempat, sinergi dan koordinasi
atau taawun baik antarsesama amil zakat (tingkat daerah, nasional, regional,
dan internasional) maupun dengan komponen umat yang lain seperti Majelis Ulama
Indonesia (MUI), lembaga-lembaga pemerintah, organisasi-organisasi Islam,
lembaga pendidikan Islam, perguruan tinggi, media massa, dan lain-lain. Keempat
langkah tersebut merupakan agenda utama dan agenda bersama yang tidak dapat
dipisahkan dari upaya membangun komunitas zakat di tanah air kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar