Kemarin mantan bos saya datang ke kantor. Salah satu topik yang menarik dari pembicaraan kemarin adalah mengenai BPJS Kesehatan. Beliau protes mengenai pelayanan BPJS yang amburadul. Apalagi bagi pemakai Askes seperti beliau, yang sudah menderita diabetes.
Ketika masih memakai Askes, obat yang diberikan bisa dipakai untuk sebulan. Tetapi ketika beralih ke BPJS, obat yang diberikan hanya cukup untuk seminggu. Agar mendapat obat berikutnya, harus datang lagi ke RS. Rempong gak tuh. Benar-benar penurunan pelayanan. Belum lagi untuk pemeriksaan kesehatan, tidak semuanya tes kesehatan dicover. Padahal sebelumnya dengan Askes, cek kesehatan atau uji laboratorium keseluruhan secara rutin dilakukan.
Sekarang, BPJS juga kelimpungan menerima pendaftaran dan pasien yang membludak. Karena menurut beliau, sepertinya hanya masyarakat yang memang sudah terindikasi memiliki penyakit yang mau ikut BPJS. Tetapi yang sehat, berat untuk ikut asuransi. Katanya, “Ngapain saya ikut BPJS, la wong belum tentu setiap bulan juga saya sakit.” Ini emang pola pikir praktis yang bagaimanapun masih banyak di masyarakat kita.
Karena membludaknya pendaftaran tersebut (di beberapa daerah antrian memang panjang), sekarang malah pendaftaran BPJS ditutup dulu.
Membludaknya pasien BPJS ini tidak diimbangi oleh sarana dan prasarana kesehatan yang ada. Misalnya masalah obat saja. Sekarang dipotong hanya untuk seminggu. Apakah jika pasien semakin membludak, dipotong hanya satu-dua hari? Ini karena tidak siap dalam penyediaan obat. Begitu juga mencari dokter, petugas/perawat yang siap melayani. Tentu jika ingin melayani sebaik-baiknya, kekurangan tenaga kesehatan, obat dan fasilitas kesehatan ini didata dan kemudian dipenuhi dengan secepatnya.
Belum lagi fasilitas seperti kamar rawat inap. Mencari kamar kosong susah sekali. Bahkan ada kasus pasien di Bogor, yang sudah mencari di 5 RS penuh semua, akhirnya di RS terakhir pasien mengembuskan nafas terakhir. Begitu juga ruang ICU untuk pasien darurat.
BPJS adalah Lembaga Nirlaba, Gaji Dirutnya Rp 250 juta?
Dalam perbincangan ini, bos saya menambahkan, bahwa di tengah amburadulnya manajemen BPJS, ternyata gaji Dirutnya Rp 250 juta! Info ini dari Ring 1 (eh ring itu apaan sih, hehe), karena beliau memang biasa rapat dan ketemu petinggi BPJSnya, termasuk Dirutnya pak Fahmi.
Padahal, berdasarkan UU BPJS no. 24 tahun 2011, BPJS merupakan badan hukum nirlaba. Tetapi walau lembaga nirlaba, tetapi mengapa gajinya demikian tinggi? Siapa yang berhak melakukan assessment berapa gaji dirut yang pantas bagi lembaga BPJS ini?
Kalau dilihat dari dana yang dikelola, yang jelas BPJS Kesehatan menerima dana dari APBN untuk jaminan kesehatan masyarakat miskin sebesar Rp 19,8 T. Lungsuran dana dari PT. Askes belum diketahui. Tetapi kalau BPJS Jamsostek, dana yang dikelola Rp 144 Trilyun. Dana ini adalah hasil keringat para buruh yang menyisihkan gajinya untuk asuransi kesehatan.
Bandingkan dengan gaji Direktur BI yang mengelola dana Ratusan Trilyun rupiah sebesar Rp 200 juta atau gaji Dirut OJK yang juga Rp 240 juta mengelola dana Rp 7000 Trilyun, terdiri dari omzet perbankan Rp 3000 trilyun, omzet pasar modal Rp 3000 T dan omzet asuransi Rp 1000 Trilyun.
Pembiayaan bagi BPJS ini siapa yang berhak menentukan? Karena lembaga ini kan bukan BUMN yang memang harus mencari keuntungan (profit). Apalagi mengingat, tagihan untuk klaim Januari 2014 saja mencapai Rp 2,9 Trilyun. Itu baru awal pelaksanaan JKN. Belum termasuk masyarakat yang antusias mendaftar dan mungkin menggunakan BPJS di bulan berikutnya.
Mengenai gaji Dirut BPJS ini, jika dibandingkan dengan ujung tombak pelayanan kesehatan, dokter atau perawat didaerah, bagaikan bumi dan langit. Dokter didaerah gajinya hanya Rp 1,8 juta dan mengobati pasien bisa sampai 50 orang per-hari! Ini berarti gaji Dirut BPJS berbanding dengan dokter ujung tombak pelayanan BPJS = 139 : 1 !
Ini sudah jauh sekali dari rentang gaji baik di Eropa maupun Jepang! Menurut Malkovich, di Eropa rentang gaji tertinggi dengan terendah 30:1, sementara di Jepang 10: 1.
Jadi, kalau dihitung berdasarkan standar Eropa saja, seharusnya gaji Dirut BPJS maksimal banget Rp 54 juta (30x Rp 1,8 juta). Atau jika kelayakan gaji dokter ditingkatkan menjadi Rp 3 juta saja, maka Gaji Dirut BPJS bisa Rp 90 juta.
Dengan gaji yang gila-gilaan itupun ternyata sistem atau manajemennya masih amburadul. Segalanya masih kurang. Ntar ada yang bilang, apalagi kalau gajinya dibawah itu? Lah yah gak bisa, profesionalitas itukan sudah kewajiban ketika disumpah sebagai petugas BPJS, sementara kompensasi untuk BPJS pun seharusnya tidak bisa dibandingkan dengan market salary di dunia HR. Itupun kalau dibandingkan, gaji Dirut BPJS masih melejit jauh dibanding Dirut perusahaan yang harus berdarah-darah cari untung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar