Berbeda
daripada infaq, wakaf, hibah, wasiat, kaffarat dan sebagainya, zakat harus
disalurkan kepada para mustahik, yaitu 8 (delapan) asnaf sebagaimana tergambar
dalam Al Quran (surah At-Taubah ayat 60). Jelas bahwa zakat adalah hak para
mustahik. Salah satu dari delapan asnaf itu ialah fi
sabilillah (pada
jalan Allah).
Mustahik
yang wajib diberi zakat tidak dibatasi individu saja, tapi mencakup
kemaslahatan umum. Prof. Dr. Syekh Mahmud Syaltut dalam Tafsir
Al Quranul Karim menjelaskan,
asnaf individu dalam QS At-Taubah ayat 60 diungkapkan dengan huruf “lam”, (sepertiµlilfuqara-i”), sedangkan
kemaslahatan umum diungkapkan dengan huruf “fi” (seperti “fisabilillah”).
Ulama
yang lain, seperti Sayyid Sabiq dalam Fikih Sunnah, Yusuf Al Qaradhawi dalam Fiqhuz
Zakah serta ulama
Indonesia Abdul Hamid Hakim Tuanku Mudo dalam Al Mu’inul Mubin, merujuk pendapat Muhammad
Rasyid Ridha ketika menjelaskan pengertian fi sabilillah dalam Tafsir
Al Manar.
Ulama
modernis asal Mesir itu menjelaskan fi sabilillah mencakup semua kepentingan umum bagi
agama, yang menjadi dasar tegaknya agama dan negara, Perbekalan tentara,
alat-alat persenjataan, sarana untuk pertahanan negara, dapat disediakan dari
dana zakat. Di masa kini yang lebih penting – kata Rasyid Ridha – ialah
penyiaran Islam dengan jalan mengirimkan mubaligh-mubaligh ke negeri-negeri
non-Islam melalui organisasi yang teratur, seperti yang dilakukan oleh pemeluk
agama lain. Juga untuk membiayai sekolah-sekolah yang mengajarkan pengetahuan
agama dan lainnya yang dibutuhkan untuk kepentingan masyarakat. Demikian Rasyid
Ridha.
Seorang
ulama lain Sayid Shadiq Bahadur, penulis kitab fiqih “Ar-Raudhatun
Nadiyyah” yang
dikutip Prof. Dr. Hamka dalam Tafsir Al Azhar mengemukakan pendapatnya bahwa
ulama-ulama yang mengorbankan seluruh waktunya untuk memperdalam pengetahuan
agama dan memimpinkannya kepada orang banyak, berhak mendapat bagian zakat dari sabilillah,
walaupun ia mampu, apalagi kalau tidak. Al Ghazali, mengatakan lebih baik ulama
yang merupakan pemimpin jiwa umat menerima zakat atas nama sabilillah daripada menerima pemberian penguasa
yang bisa menghilangkan kemerdekaan jiwa ulama sehingga tidak independepan lagi
untuk menyampaikan kebenaran.
Setelah
meninjau beberapa pengertian fi sabilillah menurut para ulama dan ahli tafsir
dari masa ke masa, baik yang dikemukakan dalam konteks istilah agama maupun
dalam konteks penerima zakat, penulis memandang rumusan Sayyid Sabiq dalam Fiqih
Sunnah kompatibel
dengan kehidupan kontemporer bahwa fi sabilillah ialah jalan yang menyampaikan kepada
keridhaan Allah, baik berupa ilmu maupun amal. Uraian agak lengkap diberikan
oleh KH Ahmad Azhar Basyir, MA dalam Hukum Zakat (1997), bahwa menyelenggarakan
dakwah Islam, mendirikan tempat-tempat ibadah, menyantuni fakir miskin dan anak
yatim, menyelenggarakan balai kesehatan dan sebagainya dapat dibiayai dengan
harta zakat yang diperuntukkan bagi fi sabilillah.
Prof.
Dr. Didin Hafidhuddin dalam bukunya Zakat Dalam Perekonomian Modern (2002) menuturkan pada zaman
Rasulullah golongan yang termasuk kategori ini adalah para sukarelawan perang
yang tidak mempunyai gaji yang tetap. Tetapi berdasarkan lafaz dari sabilillah (di jalan Allah), sebagian
ulama membolehkan memberi zakat untuk membangun masjid, lembaga pendidikan,
perpustakaan, pelatihan para da’i, menerbitkan buku dan lain sebagainya.
Islam
menghargai kemerdekaan berpikir di luar masalah akidah dan ibadah mahdhah.
Namun Imam Malik bin Anas (wafat 179 H/795 M), seorang mujtahid besar Dunia Islam mengingatkan, “Perkataan
setiap orang bisa diambil dan bisa diabaikan, kecuali perkataan Rasulullah
Saw”. Dalam
konteks masyarakat Indonesia kontemporer, standar dan kriteria asnaf mustahik
penerima zakat sebaiknya ditetapkan secara resmi oleh lembaga yang memiliki
otoritas untuk mengeluarkan fatwa agama. Kita dapat mengambil perbandingan,
pengatur zakat pada Jabatan Agama Islam negeri-negeri di Malaysia menetapkan
standarisasi asnaf sebagai pedoman dalam menentukan pendistribusian zakat.
Dengan demikian, masing-masing lembaga zakat tidak membuat kriteria sendiri
dalam penentuan asnaf, termasuk batasan fi sabilillah yang dipahami secara luas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar