Maulid Nabi Muhammad SAW ditetapkan sebagai salah satu hari besar agama yang resmi
di Indonesia atas prakarsa Kementerian Agama. Dalam budaya Islam nusantara,
tradisi memperingati maulid telah ada sejak tempo doeloe di berbagai tempat di
tanah air.
Semenjak Presiden RI Pertama Soekarno,
peringatan Maulid Nabi Muhammad secara kenegaraan dilaksanakan di Istana Negara
yang dihadiri oleh Presiden dan Wakil
Presiden, para pejabat tinggi negara, koprs diplomatik dan tokoh masyarakat
Islam ibukota. Sewaktu Proklamator Kemerdekaan dan Wakil Presiden RI Pertama
almarhum Mohammad Hatta masih hidup, beliau paling rajin menghadiri undangan
peringatan hari-hari besar Islam di Istana Negara sebagai cerminan sikap
sebagai negarawan Islami yang patut diteladani.
Kita tidak boleh puas dengan Maulid Nabi
sebagai fenomena sosial, budaya atau bahkan intelektual keagamaan yang hanya
sekedar seremonial dan semarak formal semata. Tetapi hendaknya hal itu berdampak terhadap humanisasi nilai-nilai
Islam di tengah kehidupan umat dan mewarnai kualitas masyarakat muslim yang
terbentuk dari masa ke masa.
Sejauh ini peringatan hari-hari besar Islam
sedikit sekali atau jarang dikaitkan dengan agenda umat Islam yang akan dikenang sepanjang masa. Sebagian di
antara kita sudah senang dan bangga bila peringatan Maulid sukses karena
dihadiri ribuan jamaah dan menghadirkan penceramah terkenal. Jarang terpikirkan
memperingati maulid atau hari besar Islam lainnya yang diisi dan diberi makna dengan sesuatu
yang monumental di tengah masyarakat,
seperti pencanangan dimulainya pembangunan panti yatim piatu, pembukaan klinik
sehat dhuafa, asrama anak terlantar dan dhuafa, peresmian
masjid, dan bangunan sosial keagamaan lainnya yang bertepatan dengan hari
peringatan Maulid.
Saya yakin generasi yang datang belakangan
akan mengenang terwujudnya sebuah sarana dan prasarana sosial dalam nuansa
keterkaitan dengan hikmah dan pesan hari-hari besar Islam, seperti Maulid, Nuzulul
Quran, Isra’ dan Mi’raj atau Tahun Baru 1 Muharram. Setiap generasi muslim
perlu memahami Islam bukanlah agama upacara, tetapi agama amal (agama kerja)
dan agama yang melahirkan jamaah melalui
pelaksanaan shalat, hikmah puasa, hikmah zakat, dan haji. Islam tidak menafikan simbol dan syiar agama,
tetapi simbol dan syiar hanyalah sarana untuk menuju pada substansi perilaku
beragama. Jangan dibiarkan timbul jarak (distansi) antara simbol dan syiar
dengan perilaku aktual beragama di tengah masyarakat.
Salah satu jejak risalah Nabi Muhammad yang
penting direnungkan dalam suasana Maulid Nabi adalah pembaruan jati
diri sosial umat Islam. Nabi kita mengajarkan, setiap muslim adalah saudara
bagi muslim yang lain. Nabi menggariskan kewajiban dan hak sesama muslim
dalam kehidupan sosial, mulai dari kewajiban dan hak bertetangga, sampai
kewajiban dan hak sesama manusia.
Risalah Nabi Muhammad mengajarkan dan
sekaligus mencontohkan dimensi praktikal ajaran tauhid sebagai pandangan hidup
kemanusiaan yang berpedoman pada firman
Allah, “Bukanlah kebajikan jika kamu menghadapkan wajahmu ke arah Timur dan
Barat, tapi (kebajikan itu) adalah siapa yang beriman kepada Allah, hari
akhirat, malaikat, kitab-kitab dan nabi-nabi-Nya, yang memberikan harta yang dicintainya kepada kaum kerabatnya, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, orang yang
dalam perjalanan, orang yang meminta karena membutuhkan, dan memerdekakan budak, mendirikan shalat,
menunaikan zakat, yang menepati janji apabila berjanji, sabar di saat kesulitan
dan di dalam peperangan. Itulah orang-orang yang benar dan itulah orang-orang
yang bertakwa.” (QS Al-Baqarah (2):
177).
Islam mematrikan hubungan sesama dalam
kerangka ibadah. Hal ini sekaligus berarti, ketidakpeduliaan atau
kesewenang-wenangan terhadap manusia berarti kedurhakaan terhadap Tuhan. Kepada
setiap muslim diingatkan oleh Nabi, bukanlah orang beriman bila dia dapat tidur
nyenyak di rumahnya, sedangkan tetangganya tidak bisa tidur karena menahan lapar.
Nabi memberi permisalan hubungan seorang
mukmin dengan mukmin lainnya adalah bagai satu bangunan, di mana antara satu
bagian dengan bagian lainnya saling menopang dan memperkuat. Bukanlah termasuk
umatku, siapa yang tidak peduli dengan urusan kaum muslimin, tegas Rasulullah.
Pesan profetik (kenabian) tersebut sangat mendasar bagi upaya membangun
kesadaran dan pencerahan wawasan beragama umat Islam dalam mengartikulasikan
teologi pembebasan umat dari kemiskinan, di antaranya melalui zakat, infak,
sedekah, wakaf dan instrumen keuangan Islam lainnya.
Semoga dapat menginspirasi umat
Islam dan bangsa Indonesia untuk lebih menghayati dan mengamalkan syariah atau nilai-nilai Islam untuk menjawab serta memecahkan persoalan-persoalan kekinian
dan kedisinian umat manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar