Media Informasi Pemuda Peduli Dhuafa Gresik (PPDG) || Website: www.pemudapedulidhuafa.org || Facebook: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Twitter: @PPD_Gresik || Instagram: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Email: ppd.gresik@gmail.com || Contact Person: 0838-3199-1684 || Nomor Rekening: 0335202554 BNI a.n. Ihtami Putri Haritani || Konfirmasi Donasi di nomor telepon: 0857-3068-6830 || #SemangatBerkarya #PPDGresik

Sabtu, 08 Maret 2014

“Lessons Learned” Penanggulangan Kemiskinan

Lokakarya “Lessons Learned Penanggulangan Kemiskinan” yang diprakarsai oleh Utusan Khusus Presiden RI Untuk Penanggulangan Kemiskinan (UKP2K) di Jakarta 18-19 November 2013 lalu, saya anggap sebagai terobosan yang sangat positif karena mengajak multi-stakeholders penggiat pengentasan kemiskinan, baik berbasis pemerintah, perguruan tinggi, lembaga penelitian serta lembaga swadaya masyarakat. Semua elemen ini dipertemukan dan diajak mendiskusikan persoalan, tantangan dan hambatan penanggulangan kemiskinan di negara kita sebagai tanggung jawab bersama.
Utusan Khusus Presiden HS Dillon dalam welcome speech lokakarya menyampaikan pernyataan yang mengetuk nurani, “Bangsa ini harus punya institusional memory. Kita harus mewariskan Republik ini lebih baik daripada yang kita warisi. Tetapi yang terjadi sekarang, Republik ini lebih buruk daripada yang kita warisi. Kalau mau membangun bangsa, mulailah dari mereka yang paling lemah. Bantu kemampuan rakyat untuk membangun dirinya. Tujuan kita merdeka seperti dikatakan Bung Karno, ialah berdikari dalam bidang ekonomi, berdaulat dalam bidang politik dan berkepribadian dalam bidang kebudayaan. Kita hadir disini untuk mengasah nurani, mengasah kepekaan, bukan pencerahan, tapi pencahayaan”.
Pada lokakarya yang dibuka oleh Menko Kesra Agung Laksono itu, semua institusi yang diundang mengklaim telah melaksanakan program penanggulangan kemiskinan. Dalam kaitan ini menarik disimak Prof. Suahasil Nazara, Koordinator Pokja Kebijakan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Sekretariat Wakil Presiden RI mengemukakan, “Tugas negara yang paling pokok adalah menyediakan kesempatan kepada setiap warga negara. Pembangunan jalan terus, tapi si miskin tak dapat akses, tidak ada gunanya”.
Suahasil Nazara mengambarkan lebih jauh, “Kelas atas membutuhkan kepastian hukum dan iklim usaha, kelas menengah butuh layanan pendidikan dan layanan kesehatan yang memadai, sedangkan kelas bawah membutuhkan bantuan tunai, pendampingan dan akses pekerjaan. Pemerintah sebagai agen negara berkewajiban mengurangi beban hidup orang miskin”.
Bukan rahasia lagi di negara kita koordinasi lintas-sektoral hanya mudah ditulis dan diucapkan, tapi sulit dipraktikan. Kuntoro Mangkusubroto, Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) secara terus terang buka kulit tampak isi mengungkapkan “Selama ini kita menata pemerintahan sangat sektoral, tidak integrated, dan jalan sendiri-sendiri. Mestinya Bappenas yang menata semua program penanggulangan kemiskinan. Kita larut dalam cara berpikir makro dan senang dengan angka-angka. Mestinya kita harus focusing dalam perencanaan penanggulangan kemiskinan dan pengorganisasiannya. Pengalaman selama ini menunjukkan, program-program yang dikerjakan satu sektor, berhasil, tapi kalau berkoordinasi dengan yang lain, mulai repot. Di samping itu, dimensi politik membuat persoalan penanggulangan kemiskinan menjadi complicated.” Pandangan Kuntoro diperkuat oleh HS Dillon yang menyoroti program “revitalisasi pertanian”, meski telah dicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2005, tapi tidak berjalan baik di lapangan.       
Teguh Dartanto, Ph.D, peneliti/dosen/Kepala Divisi Informasi dan Data LPEM FE-UI berkesimpulan, salah satu faktor yang mempengaruhi pengentasan kemiskinan ialah perbedaan persepsi masyarakat dan pemerintah tentang kemiskinan itu sendiri. Pemerintah mengklaim angka kemiskinan turun, tetapi masyarakat bilang sebaliknya. Hasil studi LPEM UI menyebutkan, kemiskinan di Indonesia tidak terjadi semata-mata karena perut lapar, tetapi justru kemiskinan relatif yang lebih berbahaya. Kenapa seseorang jatuh miskin dan kenapa seseorang bisa keluar dari kemiskinan, dua pertanyaan ini harus dijawab. Untuk itu pendalaman identifikasi karakteristik kemiskinan mutlak harus dilakukan. Saat ini pergerakan orang keluar masuk kemiskinan cepat sekali. Ukuran kemiskinan versi pemerintah pusat harus dilengkapi dengan indikator ukuran kemiskinan versi daerah yang mengakomodasi nilai-nilai lokal.” Ungkapnya.
Dari perspektif globalisasi, Bonnie Setiawan, peneliti pada Resistance and Alternatives to Globalization (RAG) secara kritis menyoroti liberalisasi perdagangan yang terbukti menghancurkan kemerdekaan, kemandirian, kedaulatan pangan kita sebagai bangsa. Kini kebutuhan pangan dalam negeri, seperti beras, gula, kedele, jagung, gandum susu, daging, dan bahkan garam tergantung pada komoditas impor. Menurutnya, masalah dasar yang harus dipecahkan adalah kemiskinan struktural disebabkan ketidakadilan dan struktur masyarakat. Untuk itu kita harus memperkuat ekonomi domestik dengan prinsip berdikari. Dia menambahkan, ukuran kemiskinan versi BPS yang menetapkan angka sangat rendah perlu diperluas dengan menetapkan standar Kebutuhan Hidup Layak. 
Tokoh pemikir ekonomi Islam Prof. Dawam Rahardjo menyimpulkan kemiskinan adalah gejala yang kompleks karena banyak faktor dan dinamika yang mempengaruhinya. Telah banyak program yang dirancang dan dilaksanakan dengan dana yang besar, tapi pelaksanaannya tidak terintegrasi, melainkan tersebar dan terpencar-pencar. Ketua Yayasan Lembaga Studi Agama dan Filsafat itu menandaskan masalah kita adalah kemiskinan struktural yang berada di luar kemampuan individu untuk mengatasinya. Oleh karena itu Dawam mengusulkan “direct attact on poverty”  secara terfokus. Pemberantasan kemiskinan di pedesaan sangat menentukan keberhasilan pemberantasan kemiskinan di perkotaan.
Kemiskinan di pedesaan, menurut Dawam Rahardjo, berkaitan dengan tingkat pendapatan petani yang rendah, sedangkan kemiskinan di perkotaan berkaitan dengan upah buruh yang rendah dan jaminan sosial yang rendah. Bandingkan dengan RRC, meski upah buruhnya rendah, tapi jaminan sosialnya tinggi, sehingga perekonomian Cina kompetitif di dunia. Kita selama ini hanya bisa mengatasi kemiskinan individual, bukan kemiskinan struktural, tegasnya. Sebagai solusinya, “Kita harus merubah paradigma pembangunan dari pertumbuhan menjadi paradigma kemandirian dan kedaulatan ekonomi serta mengubah orientasi pembiayaan pembangunan, jangan membangun dengan modal asing. Dalam hubungan ini, sektor perbankan harus dibenahi. Bank jangan menjadi lembaga peternakan uang atau riba. Bank Syariah harus jadi bank sosial, bank kebajikan, bank yang memberikan fasilitas kepada orang miskin, bukan menternakkan uang.” Imbuhnya.

Mengenai zakat Dawam Rahardjo memberi ulasan, “Peruntukan zakat untuk orang miskin harus dipraktikkan dan diprioritaskan karena itulah inti zakat. Konsep agama jangan jadi fatamorgana, dari jauh terlihat indah, tapi dari dekat tidak ada. Kita membangun masjid yang megah, tetapi membiarkan umat di sekitarnya miskin, sama dengan mendustakan agama.” tegasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar