Lokakarya “Lessons Learned Penanggulangan
Kemiskinan” yang diprakarsai oleh Utusan Khusus Presiden RI Untuk
Penanggulangan Kemiskinan (UKP2K) di Jakarta 18-19 November 2013 lalu, saya anggap
sebagai terobosan yang sangat positif karena mengajak multi-stakeholders
penggiat pengentasan kemiskinan, baik berbasis pemerintah, perguruan tinggi,
lembaga penelitian serta lembaga swadaya masyarakat. Semua elemen ini
dipertemukan dan diajak mendiskusikan persoalan, tantangan dan hambatan penanggulangan
kemiskinan di negara kita sebagai tanggung jawab bersama.
Utusan Khusus Presiden HS Dillon dalam
welcome speech lokakarya menyampaikan pernyataan yang mengetuk nurani, “Bangsa
ini harus punya institusional memory. Kita harus mewariskan Republik ini lebih
baik daripada yang kita warisi. Tetapi yang terjadi sekarang, Republik ini
lebih buruk daripada yang kita warisi. Kalau mau membangun bangsa, mulailah
dari mereka yang paling lemah. Bantu kemampuan rakyat untuk membangun dirinya.
Tujuan kita merdeka seperti dikatakan Bung Karno, ialah berdikari dalam bidang
ekonomi, berdaulat dalam bidang politik dan berkepribadian dalam bidang
kebudayaan. Kita hadir disini untuk mengasah nurani, mengasah kepekaan, bukan
pencerahan, tapi pencahayaan”.
Pada lokakarya yang dibuka oleh Menko Kesra
Agung Laksono itu, semua institusi yang diundang mengklaim telah melaksanakan
program penanggulangan kemiskinan. Dalam kaitan ini menarik disimak Prof.
Suahasil Nazara, Koordinator Pokja Kebijakan Tim Nasional Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Sekretariat Wakil Presiden RI mengemukakan,
“Tugas negara yang paling pokok adalah menyediakan kesempatan kepada setiap
warga negara. Pembangunan jalan terus, tapi si miskin tak dapat akses, tidak
ada gunanya”.
Suahasil Nazara mengambarkan lebih jauh,
“Kelas atas membutuhkan kepastian hukum dan iklim usaha, kelas menengah butuh
layanan pendidikan dan layanan kesehatan yang memadai, sedangkan kelas bawah
membutuhkan bantuan tunai, pendampingan dan akses pekerjaan. Pemerintah sebagai
agen negara berkewajiban mengurangi beban hidup orang miskin”.
Bukan rahasia lagi di negara kita koordinasi
lintas-sektoral hanya mudah ditulis dan diucapkan, tapi sulit dipraktikan.
Kuntoro Mangkusubroto, Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan
Pengendalian Pembangunan (UKP4) secara terus terang buka kulit tampak isi
mengungkapkan “Selama ini kita menata pemerintahan sangat sektoral, tidak
integrated, dan jalan sendiri-sendiri. Mestinya Bappenas yang menata semua
program penanggulangan kemiskinan. Kita larut dalam cara berpikir makro dan
senang dengan angka-angka. Mestinya kita harus focusing dalam perencanaan
penanggulangan kemiskinan dan pengorganisasiannya. Pengalaman selama ini
menunjukkan, program-program yang dikerjakan satu sektor, berhasil, tapi kalau
berkoordinasi dengan yang lain, mulai repot. Di samping itu, dimensi politik
membuat persoalan penanggulangan kemiskinan menjadi complicated.” Pandangan
Kuntoro diperkuat oleh HS Dillon yang menyoroti program “revitalisasi pertanian”,
meski telah dicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2005, tapi
tidak berjalan baik di lapangan.
Teguh Dartanto, Ph.D, peneliti/dosen/Kepala
Divisi Informasi dan Data LPEM FE-UI berkesimpulan, salah satu faktor yang
mempengaruhi pengentasan kemiskinan ialah perbedaan persepsi masyarakat dan
pemerintah tentang kemiskinan itu sendiri. Pemerintah mengklaim angka
kemiskinan turun, tetapi masyarakat bilang sebaliknya. Hasil studi LPEM UI
menyebutkan, kemiskinan di Indonesia tidak terjadi semata-mata karena perut
lapar, tetapi justru kemiskinan relatif yang lebih berbahaya. Kenapa seseorang
jatuh miskin dan kenapa seseorang bisa keluar dari kemiskinan, dua pertanyaan
ini harus dijawab. Untuk itu pendalaman identifikasi karakteristik kemiskinan
mutlak harus dilakukan. Saat ini pergerakan orang keluar masuk kemiskinan cepat
sekali. Ukuran kemiskinan versi pemerintah pusat harus dilengkapi dengan
indikator ukuran kemiskinan versi daerah yang mengakomodasi nilai-nilai lokal.”
Ungkapnya.
Dari perspektif globalisasi, Bonnie Setiawan,
peneliti pada Resistance and Alternatives to Globalization (RAG) secara kritis
menyoroti liberalisasi perdagangan yang terbukti menghancurkan kemerdekaan,
kemandirian, kedaulatan pangan kita sebagai bangsa. Kini kebutuhan pangan dalam
negeri, seperti beras, gula, kedele, jagung, gandum susu, daging, dan bahkan
garam tergantung pada komoditas impor. Menurutnya, masalah dasar yang harus
dipecahkan adalah kemiskinan struktural disebabkan ketidakadilan dan struktur
masyarakat. Untuk itu kita harus memperkuat ekonomi domestik dengan prinsip
berdikari. Dia menambahkan, ukuran kemiskinan versi BPS yang menetapkan angka
sangat rendah perlu diperluas dengan menetapkan standar Kebutuhan Hidup
Layak.
Tokoh pemikir ekonomi Islam Prof. Dawam
Rahardjo menyimpulkan kemiskinan adalah gejala yang kompleks karena banyak
faktor dan dinamika yang mempengaruhinya. Telah banyak program yang dirancang
dan dilaksanakan dengan dana yang besar, tapi pelaksanaannya tidak
terintegrasi, melainkan tersebar dan terpencar-pencar. Ketua Yayasan Lembaga
Studi Agama dan Filsafat itu menandaskan masalah kita adalah kemiskinan
struktural yang berada di luar kemampuan individu untuk mengatasinya. Oleh
karena itu Dawam mengusulkan “direct attact on poverty” secara terfokus. Pemberantasan kemiskinan di
pedesaan sangat menentukan keberhasilan pemberantasan kemiskinan di perkotaan.
Kemiskinan di pedesaan, menurut Dawam
Rahardjo, berkaitan dengan tingkat pendapatan petani yang rendah, sedangkan
kemiskinan di perkotaan berkaitan dengan upah buruh yang rendah dan jaminan
sosial yang rendah. Bandingkan dengan RRC, meski upah buruhnya rendah, tapi
jaminan sosialnya tinggi, sehingga perekonomian Cina kompetitif di dunia. Kita
selama ini hanya bisa mengatasi kemiskinan individual, bukan kemiskinan
struktural, tegasnya. Sebagai solusinya, “Kita harus merubah paradigma
pembangunan dari pertumbuhan menjadi paradigma kemandirian dan kedaulatan
ekonomi serta mengubah orientasi pembiayaan pembangunan, jangan membangun
dengan modal asing. Dalam hubungan ini, sektor perbankan harus dibenahi. Bank
jangan menjadi lembaga peternakan uang atau riba. Bank Syariah harus jadi bank
sosial, bank kebajikan, bank yang memberikan fasilitas kepada orang miskin,
bukan menternakkan uang.” Imbuhnya.
Mengenai zakat Dawam Rahardjo memberi ulasan,
“Peruntukan zakat untuk orang miskin harus dipraktikkan dan diprioritaskan
karena itulah inti zakat. Konsep agama jangan jadi fatamorgana, dari jauh
terlihat indah, tapi dari dekat tidak ada. Kita membangun masjid yang megah,
tetapi membiarkan umat di sekitarnya miskin, sama dengan mendustakan agama.”
tegasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar