Nama besar Prof. Dr. Syaikh Mahmoud Syaltout
(1893-1963) akan tetap dikenang sebagai tokoh penting dan ulama besar Dunia
Islam. Penulis Tafsir Al-Quran dan pemimpin tertinggi (Grand Syaikh) serta Rektor
Universitas Al-Azhar Cairo itu diakui kredibilitasnya sebagai ahli fikih terkemuka dan pelopor pendekatan
antar-mazhab.
Sebuah pertanyaan menarik yang pernah
diajukan kepadanya dijawab dengan sangat baik, “Sebagian masyarakat berpendapat
bahwa setiap muslim harus mengikuti salah satu fikih dari empat mazhab agar amal ibadah dan
muamalahnya sah, apakah syaikh sepakat dengan pendapat demikian?”.
Syaikh Al-Azhar itu menjawab, “Agama Islam tidak memerintahkan
umatnya supaya mengikuti mazhab tertentu. Setiap muslim boleh mengikuti mazhab
apapun yang benar riwayatnya dan mempunyai kitab fikih. Setiap muslim yang
mengikuti mazhab tertentu dapat merujuk ke mazhab lain (mazhab apapun) dan
tidak ada masalah”.
Menurut Syaikh Mahmoud Syaltout, sudah
sepantasnya umat Islam meninggalkan fanatisme buta terhadap mazhabnya, karena
agama dan syariat Allah tidak mengikuti
mazhab tertentu dan tidak pula terpaku pada mazhab tertentu, akan tetapi semua
pemimpin mazhab adalah mujtahid.
Pada bulan Desember 1960 Syaikh Al-Azhar Mahmoud Syaltout dan
rombongan datang ke Indonesia selaku tamu negara. Dalam kesempatan itu ia
menerima gelar Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Ushuluddin dari Institut Agama
Islam Negeri Al-Jami’ah Al-Islamiyah Al-Hukumiyah Yogyakarta (kini UIN Sunan
Kalijaga) dengan promotor Prof. Mukhtar Yahya, Dekan Fakultas Ushuluddin.
Penghargaan Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa) diberikan kepada Mahmoud
Syaltout atas jasa-jasa dan karya-karyanya yang bermanfaat bagi Dunia Islam.
Pada kunjungannya tersebut Syaikh Mahmoud
Syaltout menghadiri acara dalam rangka penyambutan di Masjid Agung Kebayoran Baru Ja- karta dan menyampaikan
pidato amat menarik yang memuji berdirinya masjid yang indah dengan Imam
Besarnya Buya Hamka itu.
“Bahwa mulai hari ini, saya selaku Syaikh
dari Jami’ Al-Azhar memberikan nama bagi masjid ini nama “AL-AZHAR”, moga-moga
dia menjadi Al-Azhar di Jakarta, sebagaimana adanya Al-Azhar di Cairo.” ucap
Mahmoud Syaltout.” Sejak 1961 resmilah nama “Masjid Agung Al-Azhar” sebagai
pusat syiar Islam dan pangkalan perjuangan umat di pusat ibukota Jakarta.
Buku karya Syaikh Mahmoud Syaltout cukup
banyak, terutama tentang agama, masyarakat dan hukum Islam. Salah satu karya
Syaikh Mahmoud Syaltout yang terpenting dan memperkaya khazanah pemahaman hu-
kum Islam, ialah Fatwa-Fatwa (1973) diterbitkan dua jilid. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia oleh Prof. H. Bustami A. Gani dan Zaini Dahlan M.A. Di antara topik bahasan yang
perlu diketahui masyarakat luas di dalam kitab Fatwa-Fatwa, ialah kupasan
Mahmoud. Syaltout terhadap pertanyaan, “Bolehkah zakat dipergunakan untuk
mendirikan masjid atau memperbaikinya?”.
Syaikh Mahmoud Syaltout sebagai ulama yang
berpaham luas menulis sebagai berikut, “Masjid yang dikehendaki untuk didirikan
atau diperbaiki, jika merupakan satu-satunya yang ada di suatu tempat, atau ada
yang lain tetapi sangat sempit dan tidak dapat menampung penduduk di daerah
itu, sehingga dirasa perlunya didirikan masjid yang baru, maka dalam keadaan
seperti itu adalah sah menurut agama
membelanjakan uang zakat untuk mendirikan atau memperbaiki masjid dimaksud”.
“Pembiayaan masjid termasuk dalam
pembelanjaan zakat sebagaimana dinyatakan dalam surat At-Taubah ayat 60 dengan
nama “sabilillah” yaitu: (artinya) “Bahwasanya shadaqah (zakat) itu diperuntukkan bagi orang-orang fakir,
orang-orang miskin, amil (petugas zakat), orang-orang yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak,
orang-orang yang berhutang, untuk sabilillah, dan ibnu sabil”.
“Hal ini atas dasar bahwa perkataaan
‘sabilillah’ itu maksudnya ialah ke pentingan umum yang manfaatnya bagi
sekalian kaum muslimin dan tidak terbatas pada satu golongan tertentu saja.
Jadi ia meliputi soal-soal yang
bersangkutan dengan: masjid, rumah sakit, gedung-gedung pendidikan, industri-industri
besi/baja, industri mesiu dan sebagainya, yang manfaatnya kembali kepada
masyarakat umum.” lanjut Mahmoud Syaltout. Syaikh Mahmoud Syaltout menambahkan,
“Berdasarkan itu semua, kam ingin menandaskan di sini, bahwa dalam masalah
tersebut terdapat khilaf di kalangan para Ulama. Sesudah menyebut
pendapat-pendapat para Ulama mengenai soal ini, Imam al-Razi mengatakan dalam
Tafsirnya sebagai berikut : "Ketahuilah bahwa menurut dhahirnya arti
perkataan wa fi sabilillah dalam ayat tersebut tidak hanya terbatas pada
pejuang dan sebagainya saja. Oleh karena itu Imam al-Qaffal mensitir pendapat
para Fuqaha dalam Tafsirnya, bahwa mereka membolehkan pembelanjaan harta zakat
dalam segala segi kebaikan, misalnya: mengenai pengurusan jenazah, mendirikan
benteng-benteng/kubu-kubu pertahanan, memakmurkan masjid dan sebagainya. Sebab
sabilillah tersebut meliputi itu semua”.
“Itulah pendapat yang kami pilih dan kami
kukuhi serta kami fatwakan, dengan catatan seperti keterangan kami di atas yang
khusus mengenai masjid, yakni masjid yang dimaksud itu merupakan kebutuhan pokok. Jika tidak
demikian, maka pembelanjaan selain pada masjid itulah yang harus didahulukan.”
pungkasnya. Fatwa Syaikh Mahmoud Syaltout tentang
substansi “sabilillah” dalam konteks masa kini sejalan dengan pendapat ulama
Al-Azhar dan tokoh pembaharu Sayid
Muhammad Rasyid Ridha (wafat 1935) yang banyak dirujuk oleh kalangan
ulama di berbagai negeri muslim sampai sekarang. Pengertian “fisabilillah”
sebagai asnaf penerima zakat tidak terbatas pada kepentingan perjuangan yang
bersifat fisik semata dalam rangka pertahanan negara dan agama, tetapi sesuai
yang dipahami dari Al Quranul Karim dalam kaitan dengan pembagian zakat kepada
delapan asnaf bahwa kalimat “sabilillah” ditampilkan “secara umum guna
kepentingan umum pula”. Menurut hemat penulis, fatwa Syaikh Mahmoud Syaltout di
atas telah cukup untuk menjawab keraguan sebagian kalangan mengenai boleh
tidaknya zakat untuk pembangunan masjid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar