Para penjual kecap semakin ramai saja. Kehadirannya kini tidak hanya di tempat-tempat berjualan sebagaimana biasanya. Dari tempat-tempat yang tidak pernah dipijaknya karena khawatir kecapnya kotor terkena lumpur hingga tempat-tempat yang bahkan tidak bisa dipijak sama sekali seperti jejaring sosial semacam Facebook. Cara menjajakannya pun semakin inovatif, seperti membuat media online pribadi hingga mengunggah video yang tidak segan-segan menyindir penjual kecap lainnya yang dianggap sebagai saingan beratnya. Metode penjualan kecap yang masih terbilang baru di negara tercinta ini, meski tidak dapat dikatakan sebagai bagian dari The New Era dalam kancah berpolitik di NKRI. Mengapa? Ya, karena seperti yang sudah-sudah, itu semua hanya tentang polesan, bukan substansi. Singkatnya, yang dijajakannya masih kecap yang itu-itu juga, hanya dalam kemasan berbeda, seperti sebatang rokok yang kini ku sedot. Bungkusnya saja yang berubah model dan corak. Rokoknya tetap ML.
Lantas, The New Era apakah yang dimaksudkan itu?
Zaman atau masa pada dasarnya tidak pernah mengalami perubahan. Time doesn’t exist, gitu katanya. Di dalam ruang, waktu seakan memiliki eksistensinya. Namun, tanpa ruang, apakah waktu itu? Bisakah seseorang mengembalikan waktu atau memajukannya? Perubahan masa atau zaman, ditandai dengan perubahan apa-apa yang ada di dalamnya; ya, di dalam ruang. Perubahan yang bisa diamati. Perubahan itu bisa signifikan, bisa juga tidak. Namun dapat dipastikan bahwa itu harus dan jelas terjadi. Tidak ada yang abadi adalah realitas yang memastikan bahwa segala sesuatu di dalam ruang pasti mengalami perubahan. Sesuatu yang dapat dipikirkan dalam suatu batasan tertentu.
Sejak proklamasi kemerdekaannya, dunia politik dan pemerintahan di negara ini senantiasa mengalami perubahan. Dari era Bung Karno hingga era Pak EsBeYe, dari masa kecap botolan hingga hadirnya kecap sachetan, terlepas apakah itu perubahan 180 derajat atau 359 derajat. Namun, adakah perubahan itu menandakan terjadinya The New Era? Saya pikir, itu bergantung “kesepakatan” saja. Seumpama jika kita sepakat bahwa kecap rasa strowberry adalah ukurannya, maka meski masih juga kecap yang dibuat dari biji kedelai, kita bisa sepakat bahwa munculnya ‘cita-rasa’ kecap sedemikian adalah tanda dimulainya The New Era soal kecap-mengecap di negara ini. Cita-rasa yang mempengaruhi berbagai sendi kehidupan kita, khususnya di meja makan.
Zaman Baru itu, yang dimaksudkan di sini, adalah perubahan sosok kepemimpinan yang bukan sekedar berubah berat badan semata. Bukan sekedar berubahnya janji-janji berikut metode penyampaiannya dalam setiap kampanyenya saja. Apalagi perubahan yang didengung-dengungkan sambil sibuk membekap suara-suara yang masih meneriakkan penderitaannya di masa/zaman yang telah lalu karena belum juga terselesaikan hingga hari ini. Jeritan para korban dan keluarganya yang seakan sengaja pun tidak disengaja dibenamkan di dalam genangan lumpur.
Benar bahwa yang sudah terjadi tidak mungkin dirubah kembali. Namun yang sudah terjadi masih terus menuntut pertanggungjawaban dari mereka yang sudah sepantasnya tampil dengan berani, tegas, dsb – jika mereka merasa diri begitu. Kemanakah sikap elegan yang berani, jujur, dan tegas itu? Jika kemasannya saja yang berubah, saya tidak heran kalau mencicipi kecapnya esok, rasanya masih sama dengan kecapnya kemarin. Tukang kecapnya masih sama. Gerobak dorongnya saja yang berubah. Kalau dulu pakai ban dalam, kini rodanya sudah tubeless.
Masa pemimpin yang mampu menciptakan The New Era tersebut, yang dimaksud di sini, yang bukan soal ban gerobak kecap semata, juga bukan manis di bibir kembung di perut, ialah pemimpin yang mampu mendobrak lilitan birokrasi serakah hingga tembok tebal para pejabat korup yang juga bermuka tebal yang sudah lama bercokol di tampuk kepemimpinan di negara ini. Yang sudah beranak pinak bak tikus-tikus buncit namun bercakar elang untuk menancapkan kuku kekuasaannya di mana-mana. Memang bukan hal yang mudah bagi siapapun pemimpin masa depan itu untuk melawan preman-preman berdasi, yang memiliki pengawal-pengawal bertubuh kekar, yang sukanya tidur di kursi empuk dewan tersebut melanjutkan mimpi-mimpinya. Dan hampir seperti mimpi bagi Sang Bunda jika mengatakan seorang yang berbadan semampai mampu melakukan itu.
Yang jelas, setiap calon RI 01 itu pasti berkata MAU melakukan itu, seperti para penjual kecap yang makin gencar menjajakan kecapnya sebagai kecap terbaik itu. Akan tetapi, sebagai seorang penikmat kecap, bagi saya sudah jelas. Penjual kecap yang sudah saya cicipi kecapnya kemarin-kemarin, yang sudah jelas rasanya bikin mual, tidak akan saya coba lagi. Mendingan saya mencoba kecapwong Solo yang sudah menunjukkan komitmennya secara jelas dan nyata meski dalam lingkup tanggung jawab yang masih kecil dibandingkan tanggung jawab seorang kepala negara. Setidaknya, beliau tidak sekedar mau, melainkan juga sudah memperlihatkan kinerja yang sesuai dengan kemauannya itu, terlepas dari apakah beliau nantinya mampu atau tidak, yang bukan sekedar orasi berapi-api di setiap pidato politiknya. Kecapnya mesti dicicipi bukan sekedar pelengkap sajianbakso urat saja. Siapa tahu enak juga kalau disajikan bersama Rendang, Nasi Tumpeng, Pallu mara’, dan tollo’ Pamarrasan juga? Ya, kini saatnya mencoba cita-rasa kecap yang baru demi era Indonesia Baru!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar