Saham
dan surat-surat berharga (obligasi) merupakan salah satu objek zakat yang tercantum dalam literatur fiqih
zakat kontemporer. Saham dan surat-surat berharga adalah harta yang berkaitan
dengan perusahaan dan kepemilikan saham. Yusuf Al-Qaradhawi mengemukakan dua
pendapat berkaitan dengan kewajiban zakat atas saham perusahaan:
Pertama, jika perusahaan itu
merupakan perusahaan industri murni, artinya tidak melakukan kegiatan
perdagangan, maka sahamnya tidaklah wajib dizakati. Contohnya perusahaan hotel,
biro perjalanan, dan angkutan (darat, laut, udara). Alasannya adalah
saham-saham itu terletak pada alat-alat, perlengkapan, gedung-gedung , sarana
dan prasarana lainnya. Akan tetapi keuntungan yang ada dimasukkan ke dalam
harta para pemilik saham tersebut, lalu zakatnya dikeluarkan bersama harta
lainnya.
Kedua, jika perusahaan
tersebut merupakan perusahaan dagang murni yang membeli dan menjual
barang-barang, tanpa melakukan kegiatan pengolahan, seperti perusahaan yang
menjual hasil-hasil industri, perusahaan dagang internasional, perusahaan
ekspor-impor, maka saham-saham atas perusahaan itu wajib dikeluarkan zakat-nya.
Hal yang sama berlaku pada perusahaan industri dan dagang, seperti perusahaan
yang mengimpor bahan-bahan mentah, kemudian mengolah dan menjualnya, contohnya
perusahaan minyak, perusahaan pemintalan kapas dan sutera, perusahaan
besi dan baja, dan perusahaan kimia.
Beberapa
ulama lain berpendapat bahwa saham dan juga obligasi adalah harta yang dapat
diperjualbelikan, karena itu pemiliknya mendapatkan keuntungan dari hasil
penjualannya, sama seperti barang dagangan lainnya. Karenanya saham dan
obligasi termasuk ke dalam kategori barang dagangan dan sekaligus merupakan
objek zakat.
Kedua
pendapat tersebut, hemat penulis, tidaklah bertentangan, karena kedua-duanya
menyatakan bahwa saham itu, meskipun dengan pendekatan yang berbeda, termasuk
ke dalam sumber zakat. Pendapat pertama, mengharuskan menggabungkannya dengan
harta lain yang dimiliki pemegang saham, lalu dikeluarkan zakatnya, jika sudah
mencapai nishab dan berlalu waktu satu tahun. Sedangkan pendapat kedua, secara
langsung menyatakan bahwa saham termasuk sumber zakat, yaitu termasuk ke dalam zakat perdagangan.
Dalam
kaitan ini Muktamar Internasional ke-1 tentang Zakat di Kuwait pada tahun
1404 menetapkan kewajiban zakat terhadap saham. Karena itu, dari sudut hukum,
saham termasuk ke dalam harta yang wajib dikeluarkan zakatnya. Kewajiban zakat
ini akan lebih jelas dan gamblang, apabila dikaitkan dengan nash-nash yang
bersifat umum, seperti surah at-Taubah: 103 dan al-Baqarah: 267 yang mewajibkan
semua harta yang dimiliki untuk dikeluarkan zakatnya.
Berdasarkan
keterangan di atas, zakat saham dianalogikan pada zakat perdagangan, baik
nishab maupun kadarnya, yaitu nishabnya senilai 85 gram emas dan kadarnya 2,5
persen. Yusuf al-Qaradhawi memberikan contoh, jika seseorang memiliki saham
senilai 1.000 dinar, kemudian di akhir tahun mendapatkan deviden atau
keuntungan sebesar 200 dinar, maka ia harus mengeluarkan zakat sebesar 2,5
persen dari 1.200 dinar atau 30 dinar.
Dalam
Muktamar Internasional Pertama tentang zakat (Kuwait, 29 Rajab 1404 H) diputuskan
bahwa jika perusahaan telah mengeluarkan zakatnya sebelum deviden dibagikan
kepada para pemegang saham, maka para pemegang saham tidak perlu lagi
mengeluarkan zakatnya. Jika belum mengeluarkan, maka tentu para pemegang
sahamlah yang berkewajiban mengeluarkan zakatnya. Dan hal ini harus dituangkan
dalam peraturan perusahaan.
Kemudian
mengenai zakat obligasi, Yusuf
al-Qaradhawi menyatakan bahwa obligasi adalah perjanjian tertulis dari bank,
perusahaan, atau pemerintah kepada pemegangnya untuk melunasi sejumlah pinjaman
dalam masa tertentu dengan bunga tertentu pula. Qaradhawi menjelaskan
perbedaan antara saham dan obligasi, sebagai berikut: Pertama, saham merupakan bagian
dari harta bank atau perusahaan, sedangkan obligasi merupakan pinjaman kepada
perusahaan, bank atau pemerintah.Kedua, saham memberikan keuntungan
sesuai dengan keuntungan perusahaan atau bank, yang besarnya tergantung pada
keberhasilan perusahaan atau bank itu, tetapi juga menanggung kerugiannya.
Sedangkan obligasi memberikan keuntungan tertentu (bunga) atas pinjaman tanpa
bertambah atau berkurang.
Ketiga, pemilik saham berarti
pemilik sebagian perusahaan dan bank itu sebesar nilai sahamnya. Sedangkan
pemilik obligasi berarti pemberi utang atau pinjaman kepada perusahaan, bank
atau pemerintah. Keempat,
deviden saham hanya dibayar dari keuntungan bersih perusahaan, sedangkan bunga
obligasi dibayar setelah waktu tertentu yang ditetapkan.
Perusahaan
yang tidak memproduksi barang-barang atau komoditas-komoditas yang dilarang,
maka sahamnya menjadi salah satu objek atau sumber zakat. Adapun obligasi
sangat tergantung kepada bunga yang termasuk kategori riba yang dilarang secara
tegas oleh ajaran Islam. Meskipun demikian, yang menarik adalah bahwa sebagian
ulama, walaupun sepakat akan haramnya bunga, tetapi mereka tetap menyatakan
bahwa obligasi adalah salah satu obyek atau sumber zakat dalam perekonomian
modern ini. Muhammad
Abu Zahrah menyatakan bahwa jika obligasi itu dibebaskan dari zakat, maka
akibatnya orang lebih suka memanfaatkan obligasi dari pada saham. Dengan
demikian, orang akan terdorong untuk meninggalkan yang halal dan melakukan yang
haram. Dan juga bila ada harta haram, sedangkan pemiliknya tidak diketahui,
maka ia disalurkan kepada sedekah. Tetapi jika suatu obligasi hanya tergantung
pada bunga, maka obligasi itu bukan merupakan obyek atau sumber zakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar