Media Informasi Pemuda Peduli Dhuafa Gresik (PPDG) || Website: www.pemudapedulidhuafa.org || Facebook: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Twitter: @PPD_Gresik || Instagram: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Email: ppd.gresik@gmail.com || Contact Person: 0838-3199-1684 || Nomor Rekening: 0335202554 BNI a.n. Ihtami Putri Haritani || Konfirmasi Donasi di nomor telepon: 0857-3068-6830 || #SemangatBerkarya #PPDGresik

Selasa, 18 Maret 2014

Zakat Saham dan Surat-Surat Berharga

Saham dan surat-surat berharga (obligasi) merupakan salah satu objek zakat yang tercantum dalam literatur fiqih zakat kontemporer. Saham dan surat-surat berharga adalah harta yang berkaitan dengan perusahaan dan kepemilikan saham. Yusuf Al-Qaradhawi mengemukakan dua pendapat berkaitan dengan kewajiban zakat atas saham perusahaan:
Pertama, jika perusahaan itu merupakan perusahaan industri murni, artinya tidak melakukan kegiatan perdagangan, maka sahamnya tidaklah wajib dizakati. Contohnya perusahaan hotel, biro perjalanan, dan angkutan (darat, laut, udara). Alasannya adalah saham-saham itu terletak pada alat-alat, perlengkapan, gedung-gedung , sarana dan prasarana lainnya. Akan tetapi keuntungan yang ada dimasukkan ke dalam harta para pemilik saham tersebut, lalu zakatnya dikeluarkan bersama harta lainnya.
Kedua, jika perusahaan tersebut merupakan perusahaan dagang murni yang membeli dan menjual barang-barang, tanpa melakukan kegiatan pengolahan, seperti perusahaan yang menjual hasil-hasil industri, perusahaan dagang internasional, perusahaan ekspor-impor, maka saham-saham atas perusahaan itu wajib dikeluarkan zakat-nya. Hal yang sama berlaku pada perusahaan industri dan dagang, seperti perusahaan yang mengimpor bahan-bahan mentah, kemudian mengolah dan menjualnya, contohnya perusahaan minyak, perusahaan pemintalan kapas dan sutera, perusahaan besi  dan baja, dan perusahaan kimia.
Beberapa ulama lain berpendapat bahwa saham dan juga obligasi adalah harta yang dapat diperjualbelikan, karena itu pemiliknya mendapatkan keuntungan dari hasil penjualannya, sama seperti barang dagangan lainnya. Karenanya saham dan obligasi termasuk ke dalam kategori barang dagangan dan sekaligus merupakan objek zakat.
Kedua pendapat tersebut, hemat penulis, tidaklah bertentangan, karena kedua-duanya menyatakan bahwa saham itu, meskipun dengan pendekatan yang berbeda, termasuk ke dalam sumber zakat. Pendapat pertama, mengharuskan menggabungkannya dengan harta lain yang dimiliki pemegang saham, lalu dikeluarkan zakatnya, jika sudah mencapai nishab dan berlalu waktu satu tahun. Sedangkan pendapat kedua, secara langsung menyatakan bahwa saham termasuk sumber zakat, yaitu termasuk ke dalam zakat perdagangan.
Dalam kaitan ini Muktamar Internasional ke-1  tentang Zakat di Kuwait pada tahun 1404 menetapkan kewajiban zakat terhadap saham. Karena itu, dari sudut hukum, saham termasuk ke dalam harta yang wajib dikeluarkan zakatnya. Kewajiban zakat ini akan lebih jelas dan gamblang, apabila dikaitkan dengan nash-nash yang bersifat umum, seperti surah at-Taubah: 103 dan al-Baqarah: 267 yang mewajibkan semua harta yang dimiliki untuk dikeluarkan zakatnya.
Berdasarkan keterangan di atas, zakat saham dianalogikan pada zakat perdagangan, baik nishab maupun kadarnya, yaitu nishabnya senilai 85 gram emas dan kadarnya 2,5 persen. Yusuf al-Qaradhawi memberikan contoh, jika seseorang memiliki saham senilai 1.000 dinar, kemudian di akhir tahun mendapatkan deviden atau keuntungan sebesar 200 dinar, maka ia harus mengeluarkan zakat sebesar 2,5 persen dari 1.200 dinar atau 30 dinar.
Dalam Muktamar Internasional Pertama tentang zakat (Kuwait, 29 Rajab 1404 H) diputuskan bahwa jika perusahaan telah mengeluarkan zakatnya sebelum deviden dibagikan kepada para pemegang saham, maka para pemegang saham tidak perlu lagi mengeluarkan zakatnya. Jika belum mengeluarkan, maka tentu para pemegang sahamlah yang berkewajiban mengeluarkan zakatnya. Dan hal ini harus dituangkan dalam peraturan perusahaan.
Kemudian mengenai zakat obligasi, Yusuf al-Qaradhawi menyatakan bahwa obligasi adalah perjanjian tertulis dari bank, perusahaan, atau pemerintah kepada pemegangnya untuk melunasi sejumlah pinjaman dalam masa tertentu dengan bunga tertentu pula.  Qaradhawi menjelaskan perbedaan antara saham dan obligasi, sebagai berikut: Pertama, saham merupakan bagian dari harta bank atau perusahaan, sedangkan obligasi merupakan pinjaman kepada perusahaan, bank atau pemerintah.Kedua, saham memberikan keuntungan sesuai dengan keuntungan perusahaan atau bank, yang besarnya tergantung pada keberhasilan perusahaan atau bank itu, tetapi juga menanggung kerugiannya. Sedangkan obligasi memberikan keuntungan tertentu (bunga) atas pinjaman tanpa bertambah atau berkurang.
Ketiga, pemilik saham berarti pemilik sebagian perusahaan dan bank itu sebesar nilai sahamnya. Sedangkan pemilik obligasi berarti pemberi utang atau pinjaman kepada perusahaan, bank atau pemerintah. Keempat, deviden saham hanya dibayar dari keuntungan bersih perusahaan, sedangkan bunga obligasi dibayar setelah waktu tertentu yang ditetapkan.
Perusahaan yang tidak memproduksi barang-barang atau komoditas-komoditas yang dilarang, maka sahamnya menjadi salah satu objek atau sumber zakat. Adapun obligasi sangat tergantung kepada bunga yang termasuk kategori riba yang dilarang secara tegas oleh ajaran Islam. Meskipun demikian, yang menarik adalah bahwa sebagian ulama, walaupun sepakat akan haramnya bunga, tetapi mereka tetap menyatakan bahwa obligasi adalah salah satu obyek atau sumber zakat dalam perekonomian modern ini. Muhammad Abu Zahrah menyatakan bahwa  jika obligasi itu dibebaskan dari zakat, maka akibatnya orang lebih suka memanfaatkan obligasi dari pada saham. Dengan demikian, orang akan terdorong untuk meninggalkan yang halal dan melakukan yang haram. Dan juga bila ada harta haram, sedangkan pemiliknya tidak diketahui, maka ia disalurkan kepada sedekah. Tetapi jika suatu obligasi hanya tergantung pada bunga, maka obligasi itu bukan merupakan obyek atau sumber zakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar