Salah
satu hikmah spiritual dan sosial ibadah shaum (puasa) dan Idul
Fitri adalah kewajiban menunaikan zakat sebagai
manifestasi keberpihakan kepada kaum dhuafa. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW
bersabda: “Kalian akan diberi pertolongan dan diberi rezeki dengan
sebab (menolong) kaum dhuafa di antara kalian…”. Hadis ini
mengisyaratkan bahwa rezeki dan pertolongan Allah akan datang manakala kita
melakukan pembelaan terhadap kepentingan kaum dhuafa. Keberpihakan yang
dimaksud tentulah bukan sekadar hiasan kata dan retorika saja, melainkan
keberpihakan yang diwujudkan dalam perilaku dan perbuatan.
Sesuai
dengan sunnatullah, sikap kikir dan mementingkan diri sendiri selalu membawa pada
kerusakan. Bukan hanya tatanan kehidupan pribadi dan keluarga yang dirusaknya,
tapi lebih luas merusak keseimbangan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
Dengan kata lain, ada korelasi antara kesejahteraan dan keadilan ekonomi suatu
negara, dengan pemihakan dan pembelaan hak-hak rakyat miskin.
Sikap
dan perilaku tuna-sosial dan mementingkan diri sendiri secara tajam dikritik
oleh Allah SWT dalam firman-Nya,”Sekali-kali janganlah orang-orang yang
bakhil dengan harta yang Allah SWT berikan kepada mereka dari karunia-Nya
menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu
adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan
kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allahlah segala warisan (yang
ada) di langit dan di bumi. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian
kerjakan.” (QS Ali Imran [3]: 180).
Sebaliknya,
Allah SWT menekankan pentingnya bersinergi dan saling menolong di antara orang-orang beriman
sebagaimana firman-Nya, “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan
perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain.
Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang munkar,
mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah
dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS At-Taubah: 71).
Dalam
Islam, kebahagiaan sejati akan diraih manakala kita mampu memberikan sesuatu
yang kita miliki kepada orang-orang yang membutuhkan. Seorang muslim yang
memiliki keberpihakan pada kaum dhuafa yang ada di sekitarnya akan hidup secara
terhormat dan dicintai sesama manusia. Begitu pula dalam lingkup yang lebih
luas, sistem ekonomi yang berpihak pada kaum dhuafa akan mampu menghadirkan
pertumbuhan dan keadilan secara berkeseimbangan.
Dalam
sejarah selalu ditemukan bahwa kekuasaan yang memiliki keberpihakan pada kaum
dhuafa tidak akan terperosok pada krisis legitimasi atau krisis kepercayaan.
Sebaliknya, kekuasaan yang tidak berpihak pada kaum dhuafa, dalam arti tidak
peka terhadap beban dan kesulitan yang dialami rakyat ketika membuat sesuatu
kebijakan, atau tidak memiliki kesungguhan untuk mensejahterakan kehidupan
rakyat banyak, akan selalu dihadapkan pada berbagai persoalan.
Dengan
demikian, membangun sebuah bangsa dan negara memerlukan pemimpin dan negarawan
yang rela mengubur atau meminimalisir kepentingan pribadi. Selama masih banyak
pemimpin dan kelompok elit yang mendahulukan kepentingan pribadi dan
golongannya di atas segala-galanya, maka kehidupan bangsa yang adil dalam
kemakmuran dan makmur dalam keadilan tidak akan terwujud.
Menurut
sudut pandang ajaran Islam, kemiskinan tidak identik dengan ketiadaan potensi
untuk bangkit. Orang-orang miskin memiliki potensi dan kekuatan yang perlu
diberdayakan, di antaranya melalui pendidikan, pembinaan karakter, kesempatan
bekerja atau berusaha dan sebagainya. Allah SWT berfirman dalam Al Quran, ”Dan
Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di muka bumi itu,
dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang
mewarisi (bumi).” (QS Al Qashas [28]: 5). Potensi
dan kekuatan kaum miskin apabila tidak diarahkan pada jalan kebaikan, maka akan
bisa berbelok arah pada tujuan yang destruktif. Sebagaimana diketahui ideologi
Komunis dan paham sejenisnya bisa menjelma dalam masyarakat di mana nasib kaum
miskin dan marjinal terabaikan dan ketimpangan sosial merajalela sehingga
berpotensi melahirkan pertentangan kelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar