Prof.
Dr. Hj. Zakiah Daradjat telah tiada. Tokoh pendidikan Islam kelahiran Bukit
tinggi Sumatera Barat itu wafat
Selasa 15 Januari 2013 dalam usia 83 tahun di Jakarta.
Zakiah memperoleh gelar Doktor (Ph.D) di bidang Mental Hygiene
dari Ein Shams University Cairo (1964) dengan disertasi,
“Perawatan Jiwa Untuk Anak-Anak”.
Guru
Besar Ilmu Jiwa Agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu dikenang sebagai
pelopor Psikologi Islam di Indonesia. Dia telah banyak berbuat melalui
birokrasi, perguruan tinggi, dakwah, praktik konsultasi keluarga, dan
tulisan-tulisannya dalam memasyarakatkan nilai-nilai Islam
untuk pembangunan keluarga dan pembinaan nilai-nilai moral di
Indonesia.
Zakiah
Daradjat meninggalkan puluhan buku sebagai warisan cultural bagi generasi mendatang. Salah satu bukunya, “Zakat Pembersih Harta dan Jiwa” (1992)
yang membahas hubungan zakat dengan kesehatan mental, disertai contoh
yang terjadi dalam kehidupan nyata. Ibu Zakiah Daradjat
pernah menceritakan kepada penulis, latar belakang beliau menyusun buku dengan
judul tersebut. Dalam kehidupan sehari-hari, ada orang yang mengeluh, cemas dan
gelisah tanpa sebab, padahal orang itu kaya atau berkecukupan. Orang
mengatakan,”…mungkin selama ini dia tidak mengeluarkan zakat.” Zakiah
terinspirasi menghadirkan buku, “Zakat Pembersih Harta dan Jiwa”.
Dalam
buku itu Zakiah Daradjat mengajak pembaca memetik hikmah, seorang
perempuan kaya di usia tuanya mengeluh kesehatannya terganggu. Selera makan
hilang dan tidur tidak nyenyak. Dia telah berobat kepada beberapa dokter
spesialis, namun tidak sembuh. Hampir tiap hari merasa penyakitnya bertambah
berat. Seorang temannya berkata: ”Barangkali Anda tidak menunaikan zakat.”
Tentu saja ditangkisnya tuduhan itu. Dia merasa telah mengeluarkan zakat, hampir setiap hari dia
berzakat. Namun dalam hati kecilnya timbul kegelisahan.
Untuk menghilangkan kegelisahan, dia datang ke tempat praktik
konsultasi Zakiah Daradjat. Terjadilah dialog sebagai berikut:
”Benarkah
penyakit saya ini disebabkan karena tidak berzakat?”, tanyanya.
”Mengapa
Anda bertanya demikian?”
”Belakangan
ini saya sering sakit. Macam-macam penyakit yang datang. Obat yang
diberikan dokter, tidak ada yang menolong. Saya ceritakan kepada teman, justru
saya dikatakannya tidak menunaikan zakat.
Padahal saya selalu berzakat. Setiap ada orang minta sumbangan, selalu
saya beri.”
”Bagaimana
Anda menentukan berapa zakat yang wajib Anda keluarkan?”
”Yah,
itu tidak saya hitung. Yang penting hampir setiap hari saya mengeluarkan
uang sepuluh ribu rupiah, kadang-kadang lebih.”
”Yang
Anda berikan kepada orang miskin atau peminta sumban-
gan dengan cara seperti itu, bukanlah zakat,
akan tetapi shadaqah atau sumbangan sukarela. Anda berpahala dengan shadaqah
atau sumbangan seperti itu. Akan tetapi, kewajiban Anda untuk mengeluarkan zakat dengan cara demikian, belum
terlaksana.”
Wanita
itu terdiam. Ia tersentak dan menyesali dirinya. Mengapa selama ini
tidak menanyakan kepada orang yang mengerti masalah zakat.
Menurut
Zakiah Daradjat, ”Pada dasarnya harta memang menunjang kehidupan manusia.
Sebaliknya, harta dapat berubah menjadi penyebab kegelisahan, perselisihan dan
permu- suhan. Karena harta, orang berkelahi. Karena harta, hubungan
persaudaraan menjadi renggang, bahkan karena harta, hubungan keluarga
menjadi putus. Tidak jarang, perselisihan anak dan orangtua terjadi
disebabkan harta. Sebetulnya, bukan harta yang menjadi penyebab. Sebabnya
mungkin cara mendapatkan harta itu
yang tidak benar, atau sebagian kecil
dari harta itu yang sesungguhnya milik
orang lain, tidak dikeluarkan.”
”Disinilah
peranan zakat. Manfaat zakat bagi penerimanya sudah jelas,
membantunya dalam memenuhi keperluan hidup yang tidak dapat dipenuhinya
sendiri. Sedangkan manfaat zakat bagi yang menunaikannya cukup banyak,
terutama dalam menjadikan hidup bersih dan sehat. Boleh jadi orang
tidak pernah menyangka bahwa zakat mempunyai pengaruh terhadap
kesehatan, baik jasmani maupun rohani. Memang ada sementara orang
yang menjadi kaya atau banyak harta, menjauh dari orang miskin dan kurang
perhatian kepada kegiatan sosial ke- masyarakatan. Ia terasing dari
lingkungannya.”
Seringkali
cinta kepada harta menyebabkan seseorang menahan zakat yang akan mengurangi harta atau pendapatannya. Sebuah kejadian
tragis dialami seorang eksekutif muda berusia 38 tahun, seperti dikenang
Zakiah Daradjat dalam bukunya di atas. Karirnya cukup bagus.
Gajinya melebihi kebutuhan hidupnya. Punya rumah dan mobil pribadi. Anak- anaknya bersekolah di sekolah yang baik. Adapun tentang zakat pendapatan atau zakat profesi, dia mempunyai pendirian lain. Menurutnya, dia tidak wajib mengeluarkan zakat itu, karena di zaman Nabi hal demikian
tidak diatur.
Kehidupannya berjalan lancar tanpa menghiraukan zakat.
Sampai beberapa tahun kemudian, ketika mencapai usia 45 tahun, kesehatannya
menurun. Menurut diagnose dokter, dia sebetulnya diserang psikosomatik,
yakni gangguan kejiwaan yang mengakibatkan gejala fisik. Karir yang tadinya bersinar mulai redup. Di kantor, dia tidak lagi diberi
jabatan pimpinan.
Kesehatannya
makin lama makin memburuk. Timbul penyesalan, mengapa salah satu
Rukun Islam, yaitu mengeluarkan zakat,
tidak ditunaikannya. Ia ingin membayar zakat yang telah terlalu banyak bertumpuk.
Akan tetapi penghasilannya telah jauh berkurang, sementara
harta yang ada harus dipertahankannya untuk biaya anak-anaknya yang telah
menjadi remaja.
Kegelisahan
terus membebaninya. Zakat terhutang tidak mungkin dibayar lagi.
Dia meninggal dunia membawa perasaan berhutang kepada Allah.
Membawa utang zakat
yang tidak akan pernah terbayar, kecuali bila
anak-anaknya mau membayar utang zakat ayahnya.
Ada
hubungan zakat dan kesehatan, terutama kesehatan
mental, demikian Zakiah Daradjat menyimpulkan. Dalam Al Quran
ditegaskan, ”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
member- sihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketenteraman jiwa bagi mereka.
Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS At-Taubah (9): 103).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar