Media Informasi Pemuda Peduli Dhuafa Gresik (PPDG) || Website: www.pemudapedulidhuafa.org || Facebook: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Twitter: @PPD_Gresik || Instagram: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Email: ppd.gresik@gmail.com || Contact Person: 0838-3199-1684 || Nomor Rekening: 0335202554 BNI a.n. Ihtami Putri Haritani || Konfirmasi Donasi di nomor telepon: 0857-3068-6830 || #SemangatBerkarya #PPDGresik

Rabu, 19 Maret 2014

Analisis Syariah tentang Konsep Kemiskinan

Perbedaan dalam penghasilan dan pendapatan (ma’isyah) di antara umat manusia adalah merupakan sunnatullah fil hayah. Di manapun akan selalu ada kelompok orang kaya dengan kelompok orang miskin, kelompok orang berpenghasilan tinggi, penghasilan sedang, penghasilan rendah dan mungkin kelompok tidak punya penghasilan (tetap). Islam tidak pernah berbicara menghilangkan kemiskinan karena memang tidak akan bisa dihilangkan secara penuh, akan tetapi meminimalisir dengan cara saling menolong, saling membantu, saling bersilaturrahim, saling mengisi dan saling bersinergi.
Firman Allah SWT dalam QS Az-Zukhruf: 32 “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.    Salah satu pilar penting dalam pembangunan masyarakat, seperti dikemukakan oleh Ali bin Abi Thalib, ialah orang fakir yang memiliki akhlak yang baik (dicirikan dengan suka berdoa).
“Tegaknya urusan dunia dan masyarakat karena lima faktor: ilmu para ulama, adilnya umara (pemerintah), kepemurahan orang kaya, doanya orang fakir, dan jujurnya para pegawai”. Ketika ajaran Islam menjelaskan persoalan kemiskinan dan orang-orang miskin, yang ditekankan adalah upaya, perhatian, pembelaan dan pertolongan kepada mereka dengan segenap potensi yang dimiliki oleh orang-orang yang punya kelebihan tertentu, baik secara perorangan maupun secara kelembagaan. Bahkan perhatian kepada mereka dianggap bagian dari kekuatan keimanan dan keislaman. Sebaliknya, membiarkan mereka tidak mempedulikannya, dianggap mendustakan agama dan kelemahan dari iman yang dimiliki. Firman Allah SWT dalam QS Al-Maun: 1-3. “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin”.
Semua rukhsah (keringanan karena tidak melakukan kewajiban utama) dan pelanggaran, penggantinya adalah memberi makanan dan pakaian pada fakir miskin. Contohnya, orang yang tidak mampu berpuasa karena sakit atau karena sudah tua, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan kepada orang miskin (QS Al-Baqarah: 184). Orang yang melanggar sumpahnya wajib memberikan makanan dan pakaian kepada fakir miskin (QS Al-Maidah: 89), dan lain sebagainya.  Orang yang termasuk kategori miskin adalah orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya secara wajar meskipun mereka punya pekerjaan, penghasilan dan pendapatan, misalnya para nelayan yang secara eksplisit di dalam QS Al-Kahfi: 79. “Adapun bahtera(kapal) itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut (nelayan), dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera”. Sedangkan orang fakir adalah orang yang tidak punya penghasilan sama sekali karena ada uzur syar’i seperti tua, sakit, atau sibuk mendarmabaktikan tenaga dan pikirannya untuk kepentingan masyarakat. Firman Allah SWT dalam QS Al-Baqarah: 273. “(Berinfaqlah/berzakat) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi. Orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengatahui”. Dalam perspektif syariah, berdasarkan ayat-ayat tersebut, fakir miskin itu tidak boleh terjadi karena kemalasan, tidak mau bekerja dan mengandalkan pemenuhan kebutuhan hidupnya sendiri dengan cara meminta-minta pada orang lain.
Dalam sebuah hadis shahih, Rasulullah SAW mengatakan bahwa orang-orang yang pekerjaannya meinta-minta karena malas, padahal ia bisa berkerja, di akhirat nanti akan kehilangan wajahnya (al-hadis). Kategori fakir miskin yang berhak menerima zakat(mustahik zakat) seperti digambarkan pada QS At-Taubah: 60 adalah orang-orang yang bekerja keras tetapi tidak terpenuhi kebutuhan hidupnya secara wajar dan penghasilannya tidak mencapai nishab (batas minimal jumlah harta yang wajib dizakati). Zakat disalurkan kepada mereka dalam bentuk zakat produktif untuk penguatan modal dari kegiatan usaha dan pekerjaan mereka. Sedangkan bagi orang fakir miskin yang tidak mampu bekerja (bukan karena malas) tetapi ada uzur syar’i seperti tua dan sakit, maka diberikan kepada mereka zakat yang bersifat konsumtif. Tetapi tetap saja ajaran Islam menyuruh mereka untuk mau berinfak, meskipun dalam jumlah yang sedikit (perhatikan QS Ali Imran: 134). Anjuran infak ini sebenarnya adalah untuk menguatkan mental dan jiwa mereka. Halnya sama dengan zakat fitrah yang jumlahnya sangat sedikit, tujuan utamanya, di samping memberikan makanan pada fakir miskin, membersihkan orang yang berpuasa dari sifat-sifat buruk, juga agar setiap orang dalam hidupnya pernah berzakat dengan sebagian hartanya, meskipun jumlahnya sangat sedikit. Pengertian kebutuhan pokok, dalam ajaran Islam, bukan semata-mata yang bersifat material, tetapi juga spiritual dan ibadah kepada Allah SWT. Karena itu, apabila dilihat dalam QS Thaha: 118 dan 119 serta QS Quraisy: 3-4, adalah: Pertama, bisa melakukan kegiatan ibadah. Kedua, terpenuhinya sandang, pangan dan papan (tidak telanjang, tidak lapar, dan tidak kedinginan serta kepanasan. Ketiga, hilangnya rasa takut ketika menghadapi suatu kondisi tertentu (terpenuhi kebutuhan pendidikan, kesehatan dan pekerjaan).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar