Perbedaan
dalam penghasilan dan pendapatan (ma’isyah) di antara umat manusia
adalah merupakan sunnatullah
fil hayah. Di manapun akan
selalu ada kelompok orang kaya dengan kelompok orang miskin, kelompok orang
berpenghasilan tinggi, penghasilan sedang, penghasilan rendah dan mungkin
kelompok tidak punya penghasilan (tetap). Islam tidak pernah berbicara
menghilangkan kemiskinan karena memang tidak akan bisa dihilangkan secara
penuh, akan tetapi meminimalisir dengan cara saling menolong, saling membantu,
saling bersilaturrahim, saling mengisi dan saling bersinergi.
Firman
Allah SWT dalam QS Az-Zukhruf: 32 “Apakah
mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka
penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian
mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat
mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang
mereka kumpulkan”. Salah
satu pilar penting dalam pembangunan masyarakat, seperti dikemukakan oleh Ali
bin Abi Thalib, ialah orang fakir yang memiliki akhlak yang baik (dicirikan
dengan suka berdoa).
“Tegaknya
urusan dunia dan masyarakat karena lima faktor: ilmu para ulama, adilnya umara
(pemerintah), kepemurahan orang kaya, doanya orang fakir, dan jujurnya para
pegawai”. Ketika ajaran Islam
menjelaskan persoalan kemiskinan dan orang-orang miskin, yang ditekankan adalah
upaya, perhatian, pembelaan dan pertolongan kepada mereka dengan segenap
potensi yang dimiliki oleh orang-orang yang punya kelebihan tertentu, baik
secara perorangan maupun secara kelembagaan. Bahkan perhatian kepada mereka
dianggap bagian dari kekuatan keimanan dan keislaman. Sebaliknya, membiarkan
mereka tidak mempedulikannya, dianggap mendustakan agama dan kelemahan dari
iman yang dimiliki. Firman Allah SWT dalam QS Al-Maun: 1-3. “Tahukah kamu (orang) yang
mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak
menganjurkan memberi makan orang miskin”.
Semua
rukhsah (keringanan karena tidak melakukan kewajiban utama) dan pelanggaran,
penggantinya adalah memberi makanan dan pakaian pada fakir miskin. Contohnya,
orang yang tidak mampu berpuasa karena sakit atau karena sudah tua, wajib
membayar fidyah, yaitu memberi makan kepada orang miskin (QS Al-Baqarah: 184).
Orang yang melanggar sumpahnya wajib memberikan makanan dan pakaian kepada
fakir miskin (QS Al-Maidah: 89), dan lain sebagainya. Orang yang termasuk kategori miskin
adalah orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya secara
wajar meskipun mereka punya pekerjaan, penghasilan dan pendapatan, misalnya
para nelayan yang secara eksplisit di dalam QS Al-Kahfi: 79. “Adapun bahtera(kapal) itu adalah kepunyaan orang-orang
miskin yang bekerja di laut (nelayan),
dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang
raja yang merampas tiap-tiap bahtera”. Sedangkan
orang fakir adalah orang yang tidak punya penghasilan sama sekali karena ada
uzur syar’i seperti tua, sakit, atau sibuk mendarmabaktikan tenaga dan
pikirannya untuk kepentingan masyarakat. Firman Allah SWT dalam QS Al-Baqarah:
273. “(Berinfaqlah/berzakat)
kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak
dapat (berusaha) di bumi. Orang
yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari
minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak
meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu
nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengatahui”. Dalam perspektif syariah, berdasarkan
ayat-ayat tersebut, fakir miskin itu tidak boleh terjadi karena kemalasan,
tidak mau bekerja dan mengandalkan pemenuhan kebutuhan hidupnya sendiri dengan
cara meminta-minta pada orang lain.
Dalam
sebuah hadis shahih, Rasulullah SAW mengatakan bahwa orang-orang yang
pekerjaannya meinta-minta karena malas, padahal ia bisa berkerja, di akhirat
nanti akan kehilangan wajahnya (al-hadis). Kategori
fakir miskin yang berhak menerima zakat(mustahik
zakat) seperti digambarkan pada QS At-Taubah: 60 adalah orang-orang yang
bekerja keras tetapi tidak terpenuhi kebutuhan hidupnya secara wajar dan
penghasilannya tidak mencapai nishab (batas minimal jumlah harta yang wajib
dizakati). Zakat disalurkan kepada mereka dalam bentuk zakat produktif untuk
penguatan modal dari kegiatan usaha dan pekerjaan mereka. Sedangkan bagi orang
fakir miskin yang tidak mampu bekerja (bukan karena malas) tetapi ada uzur
syar’i seperti tua dan sakit, maka diberikan kepada mereka zakat yang bersifat konsumtif. Tetapi tetap
saja ajaran Islam menyuruh mereka untuk mau berinfak, meskipun dalam jumlah
yang sedikit (perhatikan QS Ali Imran: 134). Anjuran infak ini sebenarnya
adalah untuk menguatkan mental dan jiwa mereka. Halnya
sama dengan zakat fitrah yang jumlahnya sangat sedikit,
tujuan utamanya, di samping memberikan makanan pada fakir miskin, membersihkan
orang yang berpuasa dari sifat-sifat buruk, juga agar setiap orang dalam
hidupnya pernah berzakat dengan sebagian hartanya, meskipun jumlahnya sangat
sedikit. Pengertian kebutuhan pokok, dalam ajaran Islam, bukan semata-mata yang
bersifat material, tetapi juga spiritual dan ibadah kepada Allah SWT. Karena
itu, apabila dilihat dalam QS Thaha: 118 dan 119 serta QS Quraisy: 3-4, adalah: Pertama, bisa melakukan
kegiatan ibadah. Kedua,
terpenuhinya sandang, pangan dan papan (tidak telanjang, tidak lapar, dan tidak
kedinginan serta kepanasan. Ketiga,
hilangnya rasa takut ketika menghadapi suatu kondisi tertentu (terpenuhi
kebutuhan pendidikan, kesehatan dan pekerjaan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar