Media Informasi Pemuda Peduli Dhuafa Gresik (PPDG) || Website: www.pemudapedulidhuafa.org || Facebook: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Twitter: @PPD_Gresik || Instagram: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Email: ppd.gresik@gmail.com || Contact Person: 0838-3199-1684 || Nomor Rekening: 0335202554 BNI a.n. Ihtami Putri Haritani || Konfirmasi Donasi di nomor telepon: 0857-3068-6830 || #SemangatBerkarya #PPDGresik

Rabu, 19 Maret 2014

Review “L’appat”: Renungan dari Kisah Kriminal Remaja di Paris, Prancis

Judul Film : L’appat (1995)
Sutradara : Bertrand Tavernier
Bintang : Marie Gillain, Olivier Sitruk, Bruno Putzulu, Phillipe Duclos, Clotilde Courau
Rated : ***

Senin malam lalu saya menonton video L’appat, film Prancis yang saya pinjam dari Pusat Kebudayaan Prancis Salemba. Saya menonton film ini pertama kali pada 1996 dalam sebuh festival film Prancis. L’appat (judul Inggrisnya Fresh Bait atau bahasa Indonesia-nya berarti “Umpan Segar”) adalah salah satu film yang membuat saya jatuh hati pada film-film Prancis.
Saat ini yang membuat film ini menarik kembali untuk ditonton bagi saya adalah isi ceritanya ini sangat relevan mengamati apa yang terjadi pada remaja di kota-kota besar Indonesia saat ini.
L’appat dibuka dengan opening scene seorang Sales Promotion Girl (SPG) berusia 19 tahun bernama Nathalie Magnan (Marie Gillain) menumpang kereta api Metro Paris bersama seorang temannya bernama Karine. Mereka mendiskusikan isi sebuah majalah, antara lain angket seks, mode, barang bermerek, serta film. Natalie ingin sekali menjadi artis karena ingin meraup uang banyak dalam waktu singkat.
Cerita bergulir Nathalie tinggal di sebuah flat bersama kekasihnya yang sebaya Eric (Olivier Sitruk) dan seorang anak muda lainnya bernama Bruno ( Bruni Putzulu). Kedua teman pria Natalie terobsesi pada Amerika karena kerap menonton film yang diperankan Al Pacino, Kevin Costner, Steven Seagal, serta tayangan iklan yang sifatnya sebetulnya konsumtif. Mereka tergiur oleh gaya hidup orang Amerika (yang ada dalam film dan tayangan televisi). Di mata mereka ekonomi Amerika lebih baik dari Prancis. Mereka berhitung perlu 10 juta Francs untuk modal awal hidup di Amerika dan membuka toko dan mengejar “American Dreams”, ingin hidup enak di Amerika.
Pertanyaannya : Dari mana mereka mendapatkan uang 10 Juta Francs? Eric, anak orang berada tetapi pengangguran. Begitu juga Bruno. Natalie kerja di toko dengan gaji kecil. Namun sebagai SPG, Natalie punya relasi orang-orang yang dianggap kaya.Jalan pintas : Nathalie dijadikan umpan menjebak relasinya (pria yang lebih tua ) yang dikenal Nathalie itu dan mengajaknya ke apartemennya. Kemudian Natalie mempermudah akses bagi dua teman prianya untuk menyamar sebagai perampok.
Skenario yang dirancang jelas terinspirasi dari film. Aksi pertama Laurent gagal karena rumahnya dipasang kamera. Tetapi aksi kedua Antoine berhasil. Nathalie berhasil menjebak pengacara itu, Eric dan Bruno berhasil masuk dan merampok.Tetapi apa yang terjadi? Pengacara itu hanya punya uang 2400 franc. Dalam perampokan sandiwara terbongkar karena Bruno menyebut nama Nathalie di depan korban. Akhirnya agar tidak terbongkar Antoine dibunuh. Adegannya dahsyat. Nathalie mendengarkan musik dengan headset karena tidak sanggup mendengar teriakan Antoine yang dianiaya kekasihnya dan kawannya itu secara mengerikan hingga tewas.
Korban kedua Alain Perez dijebak dengan cara yang sama. Natalie menonton televisisementara Eric dan Bruno berlaku brutal. Seperti korban pertama mereka tidak banyak mendapatkan uang. Korban kedua ini bahkan mengetahui hubungan Eric dan Natalie menyebabkan dia juga dibunuh dengan cara keji. Akhirnya kado-kado Natal di rumah Alain pun dibongkar, sejumlah barang bermerek dirampas dan hasilnya 6000 franc.
Dua orang tewas. Tetapi ketiganya tidak tampak menyesal. Mereka menikmati kehidupan malam seperti clubbing dengan santai. Dalam L’appat diperlihatkan latar belakang keluarga Natalie. Ayah dan ibunya bercerai. Sang Ibu menjadi single parentbagi Natalie dan adik perempuannya (yang kerap ditinggal karena harus mencari nafkah). Sementara ayahnya ada di negeri lain.
Tanpa mereka sadari polisi mulai melakukan penyelidikan. Sasaran mengarah pada Natalie yang menghubungkan para korban. Ketika itu Nathalie justru mendapatkan hadiah tiket dari ayahnya untuk mengunjunginya selama 10 hari. Tragis. Kalimat Nathalie ketika diinterogasi di kantor polisi menunjukkan betapa naifnya dia. Adegan yang suka. “Saya sudah mengatakan semua yang saya ketahui. Apakah saya bisa pergi natal ini? Saya ingin mengunjungi ayah saya!” cetusnya dengan muka yang polos, seolah-olah dia sudah bebas dari konsekuensi keterlibatannya dalam sebuah tindakan kriminal. .
Kekuatan film ini ialah pada plotnya, pada pameran utamanya Marie Gillain yang berhasil menghidupkan kharakter Nathalie. Berkat film ini aktris kelahiran Belgia 18 Juni 1975 ini memenangkan penghargaan dalam beberapa festival film pada 1990-an.
L’appat menggambarkan begitu kuatnya godaan konsumtif dari televisi dan media. Begitu kuatnya pengaruh acara televisi pada perilaku kekerasan dan gaya hidup.Begitu mudahnya seorang Nathalie yang polos maunya membantu perampokan (disertai dengan pembunuhan) demi cinta pada kekasihnya. Mereka ingin punya uang dengan instan seperti apa yang mereka lihat di televisi. Mereka lebih cepat mengenal barang bermerek daripada berpikir dampak perbuatan mereka apalagi soal hukum.Boleh dibilang film ini menggambarkan realitas sosial kekecewaan kaum muda Prancis terhadap ekonomi negerinya. Sebuah adegan Nathalie kecewa hanya punya uang 100 francs dan sebagai perempuan muda yang harus naik kereta api Metro (bawah tanah), dilecehkan para pria cukup getir. Film ini diangkat dari kisah kejadian nyata di negeri mode itu pada 1990-an. Para pelakunya sedang menjalani hukuman penjara ketika film ini dirilis pada 1995. Film ini secara tak langsung kerisauan terhadap kuatnya pengaruh Amerikanisasi terhadap kehidupan sosial Prancis juga mempengaruhi gaya hidup remaja yang menerimanya tanpa filter. Bukankah hal yang serupa juga terjadi di Indonesia? Bukankah remaja di kota-kota besar tahu banyak soal barang bermerek daripada sejarah dan budaya bangsanya? Bukankah sudah menjadi perbincangan sepasang remaja membunuh dengan alasan demi cinta dan masih bisa senyum?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar