Judul
dan materi artikel ini terinspirasi dari buku Negara
Adil Makmur Menurut Ibnu Siena ditulis
oleh ulama dan tokoh muslim Indonesia H. Zainal Abidin Ahmad (Penerbit Bulan
Bintang: 1974). Pemikiran dan teori kenegaraan Ibnu Siena yang tertuang dalam
sejumlah kitab yang disusunnya sekian abad lalu tetap kompatibel dengan
perkembangan zaman.
Ibnu
Siena – di dunia Barat dikenal dengan nama Avicenna
– lahir di Bukhara,
Uzbekistan, Asia Tengah, tahun 370 H/980 M dan wafat 425 H/1033 M. Selain
dikenang sebagai “Bapak Kedokteran Islam”, Ibnu Siena adalah sarjana dan
filosof besar dunia. Pada tahun 1370 H (1951 M) Peringatan 1000 Tahun Ibnu
Siena di Mesir ditandai dengan mendirikan suatu badan yang bernama “Zikra Ibni Sina” (Kenangan Ibnu Sina) dalam rangka
menyiarkan warisan pemikiran Ibnu Siena mengenal soal-soal politik kenegaraan
dan kemasyarakatan.
Dalam
salah satu bukunya, Ibnu Siena menyatakan, persoalan ekonomi menjadi sumber
“revolusi sosial” apabila tidak ditangani dengan baik. Ia mengingatkan
bahwa pembentukan masyarakat Islam yang pertama dimulai oleh Nabi Muhammad SAW
dengan menyusun perekonomian umat Islam. Kaum Anshar yang berpunya (the have)
dipersatukan dengan kaum Muhajirin yang tidak berpunya (the have not)
dalam hukum persaudaraan yang dikenal sebagai “muakhah islamiyah” (the brotherhood of Islam).
Setelah
negara Islam ditegakkan oleh Nabi, sistem ekonomi mulai dicampuri oleh negara,
dengan menetapkan ”hukum zakat”
yang menjadi rukun ketiga dari Islam. Orang yang mampu diwajibkan menyerahkan
kepada negara sebesar 2,5 % sampai 10 % dari berbagai macam kekayaannya untuk
dibagikan kepada fakir miskin dan untuk urusan-urusan masyarakat yang bersifat
kolektif. Alangkah harmonisnya masyarakat di zaman Nabi, dilanjutkan di zaman
Khalifah I Abu Bakar, Khalifah II Umar bin Khattab, dan separuh dari zamannya
Khalifah III Usman bin Affan. Tetapi setelah Khalifah III ini melepaskan
campur-tangan negara atas ekonomi, maka timbullah kegoncangan masyarakat,
munculnya perintis gerakan sosialis Islam yang pertama yaitu Abu Zarr al
Giffari di kota Damascus, ungkap Ibnu Siena.
Kalau
gurunya Al Farabi menamai teorinya “Al
Madienah al Fadhilah” (negara
utama), Ibnu Siena menggunakan tiga istilah untuk menggambarkan ide negara yang
dicita-citakannya, yaitu Al Madienah al Fadhilah, Al Madienah al ‘Adilah (negara berkeadilan), danAl
Madienah al Hasanah es siyrah (negara
moralis). Ibnu Siena bukan hanya membangun wacana teori, tetapi pernah mendapat
kesempatan mempraktikkannya dalam pemerintahan. Walau kemudian meninggalkan
jabatan tinggi sebagai Wazir bagi Amir Syamsud-Daulah di Hamazan dan di
Isfahan, karena ia tidak mau mengorbankan idealisme dan memilih hidup di
tengah-tengah rakyat jelata.
Menurut
Ibnu Siena yang menghafal semua ayat-ayat Al Quran dan menguasai sastra Arab
itu, dalam dunia ekonomi terdapat dua soal yang pokok yaitu, mencari dan
mengusahakan rezeki atau dinamakan “kasab” yang dalam istilah ekonomi “income”(pendapatan), dan
menggunakan hasil usaha dan pencaharian atau dinamakan “infaq” yang dalam istilah ekonomi “expenditure”(pengeluaran).
Dikatakan
oleh Ibnu Siena, pendapatan dan pengeluaran ekonomi haruslah menempuh jalan
yang halal dan sah. Halal artinya sesuai dengan hukum syariat dan sah berarti
dibolehkan oleh hukum negara. Ekonomi rumah tangga sebagai lapis pertama dan
meningkat kepada ekonomi masyarakat hingga ekonomi negara memerlukan “politik
ekonomi” yang tegas, menuju kepada keadilan dan kemakmuran yang sifatnya
menyeluruh.
Sejalan
dengan prinsip-prinsip politik ekonomi yang digali dari ajaran Islam, Ibnu
Siena menegaskan bahwa segala sesuatu harus diatur dengan undang-undang atau
peraturan yang berdasarkan undang-undang. Dalam segala tingkat kepemimpinan
sampai kepada rakyat banyak berlaku “disiplin kerja”, bahwa tidak seorang pun
boleh “absen” dalam baktinya kepada negara. Perlu ditetapkan larangan
pengangguran dan kemalasan bekerja. Namun negara harus memiliki harta kolektif
(mal musytarak) untuk kepentingan umum serta menjamin kehidupan
orang-orang yang ‘uzur dan sudah tidak produktif. Dalam
kitab “As-Syifa” Ibnu Siena menguraikan lima pantangan
(larangan) ekonomi, sebagai berikut:
1.
Pengangguran dan kemalasan bekerja.
2.
Perjudian dan segala pekerjaan yang tidak bermanfaat.
3.
Pencurian, pencopetan dan perampokan.
4.
Praktik riba dan segala macam pemerasan.
5.
Perbuatan menjual diri (kehormatan), misalnya pelacuran dan sebagainya.
Ibnu
Siena menjelaskan pengeluaran keuangan bagi setiap warga negara yang wajib
ialah “nafaqah”, yaitu segala pembiayaan yang
diperlukan bagi kehidupan perorangan, seperti perumahan, pakaian, makanan,
belanja rumah tangga yang bersifat konsumtif, semua itu haruslah dikeluarkan secara
hemat. Setiap warga negara – kata Ibnu Siena – harus mempunyai “simpanan”
untuk keperluan masa depan, karena manusia akan selalu dihadapkan kepada
berbagai peristiwa dan perubahan keadaan.
Di
samping “nafaqah”, Ibnu
Siena menjelaskan kewajiban penting lainnya, yaitu pengeluaran untuk masyarakat
dan negara. Pengeluaran ini harus dilakukan dengan hati yang ikhlas. Kewajiban
dimaksud terbagi menjadi 3 macam:
1. Zakat, yaitu pengeluaran wajib
dari kekayaan, baik kekayaan diri, seperti emas, perak, uang dan sebagainya,
ataupun kekayaan perusahaan, seperti hasil-hasil pertanian, peternakan,
perdagangan, pertambangan, dan lainnya. Kata Ibnu Siena, zakat harus dipungut oleh negara dan
dipergunakan untuk kepentingan masyarakat, baik bersifat umum kolektif maupun
untuk membantu kesengsaraan dan kemelaratan rakyat banyak. Seandainya negara
tidak memungutnya karena sesuatu sebab, kewajiban zakattetap berlaku atas setiap
muslim yang kekayaannya telah mencapai “nisab” (jumlah tertentu) dan waktunya
satu tahun.
2. Shadaqah (sedekah), yaitu pengeluaran
wajib untuk membantu fakir miskin atau usaha-usaha sosial lainnya yang
membutuhkan dana, misalnya akibat bencana alam, kelaparan dan sebagainya.
3.
Amal kebajikan, yaitu bantuan secara umum yang diberikan kepada sesama manusia,
baik kepada karib kerabat yang berhubungan famili, sahabat, tetangga, kawan
sekerja ataupun lainnya yang membutuhkan bantuan atau badan yang
memerlukannya.
Uraian
Ibnu Siena tentang zakat menarik untuk dicermati, “Zakat-zakat dan sedekah-sedekah disyaratkan
sewaktu mengeluarkannya haruslah dengan hati yang suci, niat ikhlas, dada
terbuka, dan percaya bahwa segala yang dikeluarkannya adalah persiapan untuk
menghadapi kesukaran. Ada masanya, harus menetapkan bagian khusus untuk orang
yang betul-betul miskin dan terbukti penderitaannya, sehingga tercurah
kemurahan hati dan timbul kasih sayang terhadap mereka, dengan syarat bahwa
tujuan menolong adalah karena Tuhan semata, dengan niat suci bersih serta tidak
mengharap terima kasih dan tidak pula balasan kebaikan”. Ibnu
Siena menekankan bahwa memberi bantuan sekaligus dalam jumlah besar sehingga
pihak yang dibantu dapat berdiri sendiri, jauh lebih baik daripada memberi
berangsur-angsur dalam jumlah kecil, tapi selamanya orang yang dibantu
menggantungkan hidupnya pada bantuan orang lain.