Siapakah Sunario sebenarnya?
Sunario Sastrowardoyo, yang beragama Islam dan berasal dari Jawa Timur, menikah
dengan Dina Maranta Pantauw, gadis Minahasa beragama Protestan yang ditemuinya
ketika berlangsung Kongres Pemuda 1928. Perkawinan ini awet. Mereka hanya
terpisahkan oleh maut. Sunario wafat pada 1997 dan istrinya wafat tiga tahun
lebih awal. Bakat politik menurun kepada salah seorang putrinya, Profesor
Astrid Susanto, yang setelah lama berkarier di Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional, kemudian menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Sunario Sastrowardoyo, kakek
bintang film Dian Sastrowardoyo, terkenal sederhana. Setelah pensiun, ia
mengajar di beberapa perguruan tinggi. Suanario tidak punya mobil sendiri. Dari
rumah di Jalan Raden Saleh, Jakarta, ia pergi ke kampus naik bus kota atau
bajaj. Ia sempat membuat heboh pejabat Departemen Luar Negeri ketika suatu saat
mantan Menteri Luar Negeri ini naik sepeda datang ke Pejambon.
Pelajaran utama yang selalu diajarkan kepada
anak-anaknya serta dijalaninya sendiri adalah hidup jujur. Kenapa kita harus
jujur? Alasannya sederhana: supaya malam hari bisa tidur nyenyak. Barangkali
itulah salah satu resep panjang umur tokoh yang sempat mengecap usia di atas 90
tahun itu. Salah satu obsesi tokoh nasionalis ini adalah
persatuan bangsa. Sejak dari negeri Belanda sampai proklamasi kemerdekaan,
Sunario adalah tokoh yang konsisten dengan pandangan tentang negara kesatuan. Ia
keberatan dengan negara federal. Pidatonya dalam Kongres Pemuda mengutip filsuf
Prancis, Ernest Renant, yang kemudian juga pernah disitir Bung Karno. Artikel
“Qu''est-ce qu''une nation” tersebut diterjemahkan Sunario ke dalam bahasa
Indonesia menjadi “Apakah Bangsa Itu”. Bangsa adalah hasil historis yang
ditimbulkan oleh deretan kejadian yang menuju ke satu arah. Setelah
menguraikan masalah ras, bahasa, agama, persekutuan kepentingan bersama,
keadaan alam, Renant menyimpulkan bahwa bangsa itu merupakan keinginan untuk
hidup bersama (le desir de vivre ensemble). Bangsa merupakan hasil masa
silam yang penuh usaha, pengorbanan, dan pengabdian. Jadi bangsa itu adalah
suatu solidaritas besar yang terbentuk karena adanya kesadaran bahwa orang
telah berkorban banyak dan bersedia memberikan pengorbanan lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar