Kadang kita manusia dipermainkan kata dan
keadaan. Saat kata baik mendengung
di kepala, maka yang terpikir adalah bagaimana menjadi manusia yang selalu
menyenangkan, selalu responsif dan selalu siap membantu kapan pun dan
dimanapun. Akan tetapi apakah kondisi
diri kita akan selalu berada pada tingkat sewaspada itu ?.
Hampir yakin tidak dalam dinamika kehidupan
yang naik turun dan perasaan yang menggelora senang dan susah, sulit rasanya
menjaga hati pada tahap selalu aba-aba siap sedia waspada. Toh pada lomba lari
sekalipun akan ada masa peluru dilepas dan para atlit melesat maju.
Itulah sejatinya manusia, akan ada masanya
kita perlu berteriak “STTOPPP…” karena kalau tidak demikian akan banyak korban
lain yang tergilas setelah kita jadi gilasan pertama akibat kebaikan kita
sendiri.
Itulah dia, kebaikan kita sendiri kadang
sering menjadi bumerang. Betapa kadang
batasan antara kebaikan dan kepasrahan yang menyesatkan atau batasan antara
kepedulian dan pembiaran yang menyakitkan menjadi sangat tidak jelas dan
absurd. Bisa menjadi dua sisi yang
saling berkaitan, tapi masing-masing berdiri sendiri, bermakna pada mereka yang
memiliki kepentingan yang berbeda, tapi pada satu masalah yang sama.
Mereka yang pasrah dalam kebaikan kadang
sebenarnya adalah juga mereka terlalu baik untuk dikatakan menyesatkan, karena
dalam kenyataan kebaikan yang mereka lakukan dalam dasar tak mau berpanjang lebar
berargumen membela kebenaran yang mereka anut mehadapi lawannya, yang
sebenarnya tidak benar. Sehingga tanpa sadar mereka telah memupuk rasa dalam
diri lawan bahwa, ”akh..asal ngotot gue pasti menang…”. Dan batas kebenaran yang
hakiki akhirnya menjadi hilang.
Padahal begitu banyak di dunia ini kaum
oportunis yang memanfaatkan momen, tenggat waktu yang mendesak, rasa iba dan
kedekatan hubungan untuk memaksakan kehendaknya secara halus kepada kita. Sehingga lagi-lagi, pasrah yang dikedepankan atas nama simpati dan peduli
menghilangkan momen pembelajaran. Menjadi kebaikan tanpa bekas karena seolah
kebaikan tersebut adalah rutinitas semata, seolah menjadi kewajiban yang malah
menjadi salah kita jika tidak dilaksanakan.
Padahal pada saat momen yang mereka terdesak seperti itulah sebenarnya saat yang
paling tepat buat kita mengingatkan, memberikan pelajaran bahwa pembiaran
disaat ini bukan karena tidak ada simpati, tetapi sebaliknya pembiaran saat ini
adalah karena kita peduli dan kita ingin mereka tidak merasa menang dan tidak
kemudian memultiplikasi keadaan yang sama, mencari kebaikan dan kepasrahan
orang lain demi kenyamanan dirinya.
Pembiaran kita dalam jangka panjang merupakan
bentuk kepedulian yang diharapkan membuat mereka berpikir jernih dan adil, bahwa bukan baik orang lain yang harus selalu
terus menerus mereka terima, akan tetapi sadari bahwa kebaikan dari kita yang
terus menerus akan membuat kita berlaku tidak adil karena akan memanjakan
mereka, tidak adil karena akan terjadi tidak ada pembelajaran mandiri dan tidak
tergantung orang lain, tidak adil karena
saat tuntutan kebaikan itu kemudian terjadi kembali pada orang lain adalah
karena keterlibatan kita dalam pembiaran. Keterlibatan kita dalam menjadi baik
yang pasrah, pasrah yang menghilangkan batas antara adil dan tidak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar