Amir
Sjarifoeddin Harahap adalah Bendahara Kongres Pemuda II pada 27-28 Oktober
1928. Meskipun hanya bertugas mengurus keuangan, keberadaan Amir sangat dipandang
dalam pertemuan itu. Buktinya, ia aktif memimpin sidang. Kala Muhammad
Yamin merancang rumusan Sumpah Pemuda, terlebih dulu ia meminta persetujuan
Amir serta Ketua Kongres, Soegondo Djojopuspito. "Peran
Amir cukup menentukan Kongres Pemuda II, meski hanya menyetujui rumusan
itu," kata sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam,
dalam Majalah Tempo edisi 2 November 2008 dalam artikel "Makam
Tak Bertanda di Ngalihan."
Ketika Jepang datang pada 1942, Amir memilih jalur
oposisi. Ia memimpin gerakan bawah tanah yang didanai Van der Plass. Akibatnya,
Jepang menagkap Amir pada Januari 1943. Ia pun divonis mati. Namun, dengan
bantuan Soekarno dan Hatta, eksekusi itu tak terjadi. Di
1945, usai kemerdekaan, Amir menjabat Menteri Penerangan Indonesia pertama
dalam Kabinet Presidensial. Di posisi itu, ia menelurkan Maklumat Menteri
Penerangan Amir Sjarifuddin tentang kebebasan pers. Tugas
Amir di kabinet sesuai dengan minatnya, yaitu jurnalistik. "Ia pernah
aktif sebagai editor buletin Indonesia Raja milik Perhimpunan
Pelajar Indonesia di Belanda dan editor buletin Banteng milik
Partai Indonesia cabang Batavia," tulis majalah Tempo. Dari
Kabinet Presidensial, karir Amir terus bersinar. Ia menjabat Menteri Keamanan
Rakyat di Kabinet Sjahrir I dan III, serta Menteri Pertahanan pada Kabinet
Sjahrir II. Waktu
3 Juli 1937, Amir ditunjuk menggantikan posisi Sutan Sjahrir. Ia menjadi wazir.
"Sebagai perdana menteri, Amir menandatangani Perjanjian Renville, 17
Januari 1948." Isi perjanjian itu: Belanda hanya mengakui Jawa
Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai bagian wilayah Republik Indonesia;
disetujuinya garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah
pendudukan Belanda; serta TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah
kantongnya di wilayah pendudukan di Jawa Barat dan Jawa Timur Indonesia di
Yogyakarta. Perjanjian itu ternyata menjadi bumerang bagi Amir. Ia
ditinggalkan partai pendukungnya, Masyumi dan Partai Nasional Indonesia.
Kabinet Amir pun mengundurkan diri dengan sukarela, tanpa perlawanan. "Ayah
pernah berkata kepada Ibu, saya ditinggalkan sendirian," tiru anak keempat
Amir, Damaris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar