Namanya
Amir Sjarifoeddin Harahap. Lahir di Medan, Sumatera Utara, pada 27 April 1907,
Amir adalah anak sulung dari tujuh bersaudara. Menginjak usia 7 tahun, Amir
masuk sekolah dasar Belanda di Medan. Selama tujuh tahun ia di sana. Pada
1921, Amir lulus sekolah. Lima tahun kemudian, Amir mendapat undangan dari
sepupunya, Tuanku Sunan Gunung Mulia, untuk bersekolah di Leiden, Belanda. Pada
1927, putra Djamin gelar Baginda Soripa-da ini kembali ke tanah air. Dari
Medan, ke Belanda, kembali ke Medan, lalu hijrah ke Batavia. Di kota lama
Jakarta ini, Amir melanjutkan pendidikan ke Sekolah Hukum. Jauh dari keluarga,
ia berasrama di Indonesisch Clubgebouw, Jalan Kramat Raya Nomor 106, Jakarta
Pusat.
Di asrama itu, Amir ditampung oleh seniornya: Muhammad Yamin. "Mereka
berhobi sama, musik, sastra, dan agama," tulis Majalah Tempo edisi 2
November 2008 dalam artikel Makam Tak Bertanda di Ngalihan. Dalam
Kongres Pemuda II, 1928, Amir datang sebagai wakil Jong Bataks Bond. Dan dalam
kepanitiaan, ia berlaku sebagai bendahara. Bahkan Amir aktif memimpin sidang. Untuk
menetapkan rumusan Sumpah Pemuda, Yamin perlu meminta persetujuan Ketua Kongres
pemuda II , Soegono Djojopuspito, dan Amir terlebih dulu.
"Peran Amir cukup menentukan," kata sejarawan Lembaga Ilmu
Pengetahuan In-donesia, Asvi Warman Adam. "Meski hanya menyetujui rumusan
itu." Kehidupan politik Amir tak berhenti di Kongres Pemuda
II. Pada 1938, ia juga terlibat di Kongres Bahasa. Dan ketika Jepang datang,
Amir memilih beroposisi. Ia memimpin gerakan bawah tanah yang dibiayai Van der
Plass. Karena sikap politiknya itu, Jepang membekuk Amir. Ia
pun dijatuhi hukuman mati pada Januari 1943. Untung, berkat campur tangan
Soekarno dan Hatta, hukuman itu tak terlaksana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar