Ya Tuhan
kami, Sesungguhnya Aku Telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang
tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati,
Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, Maka
jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah
mereka dari buah-buahan, Mudah-mudahan mereka bersyukur. (Q.S. Ibrahim 37)
Dalam
sebuah perjalanan, dan saat jauh meninggalkan keluarga dalam beberapa hari,
tiba-tiba seorang aktivis dakwah –begitu orang lain menyebut status dirinya-
mendapatkan informasi dari rumah bahwa anak pertamanya memerlukan biaya
tambahan untuk sekolah, anak kedua, ketiga, dan keempat jatuh sakit, bahkan
istri dan pembantunya pun juga jatuh sakit, sehingga uang “pengaman” yang
ditinggalkannya semasa ia berangkat pergi menjadi sangat jauh berkurang, sebab,
ia hanya meninggalkan sejumlah uang yang sekiranya mencukupi kebutuhan normal
keluarganya selama ia tinggalkan. Begitu cerita yang saya dapatkan.
Saat
mendengar cerita seperti ini, kontan saja saya teringat kepada kisah keluarga
nabiyullâh Ibrâhîm –’alaihis-salâm- saat ia harus meninggalkan seorang istri
dan putranya yang masih bayi dengan tanpa meninggalkan “pengaman” apapun, baik
berupa makanan, air minum, uang belanja, keuarga besar yang bisa dimintai
pertolongan saat terjepit, atau tetangga yang sangat mungkit dapat membantu
meringankan beban, atau bentuk-bentuk “pengaman” lainnya.
Saya
membayangkan, sebagai seorang kepala keluarga yang bertanggung jawab, dan pasti
sangat bertanggung jawab, nabiyullâh Ibrâhîm –’alaihis-salâm- tentulah sangat
ingin meninggalkan dan membekali istri dan putra yang masih bayi itu dengan
berbagai “pengaman”, akan tetapi, apa daya, semua ta’mînât (pengaman) itu
memang benar-benar tidak ada. Dan sebagai seorang kepala keluarga yang saleh,
dan sudah pasti ia berada pada shaf terdepan barisan orang-orang saleh (Q.S.
Al-Baqarah: 130), ia merasa berat meninggalkan “seorang wanita” dan seorang
bayi di sebuah lembah yang sangat panas, tiada air, tiada tanaman dan
pepohonan, tiada binatang dan tiada manusia, bahasa Al-Qur’ân-nya: fî wâdin
ghaira dzî zar’in, karenanya, saat ia meninggalkan “seorang wanita” dan bayi
itu, ia “tidak berani” menoleh, dan “ngeloyor” begitu saja, “tanpa pamit, tanpa
salam, tanpa bicara”, atau istilah arabnya: lâ salâm, walâ kalâm,
sebab, bisa jadi –wallâhu a’lam- jika ia menoleh, ada kemungkinan ia menjadi
tidak tega meninggalkan istri dan bayinya dalam keadaan seperti itu dan di
sebuah tempat yang tidak ada sedikitpun ta’mînât (pengaman) di sana.
Saya pun
membayangkan, mungkinkah saya memiliki kemampuan untuk berbuat seperti itu?
Tegakah saya berbuat seperti itu, sanggupkah istri saya saya sikapi seperti
itu, tidakkah anak saya, pembantu saya dan orang-orang dekat saya akan menuntut
hak-hak mereka saat saya pergi negloyor begitu saja? Ini bayangan saya.
Akan
tetapi, apa yang saya baca tentang kisah keluarga nabiyullâh Ibrâhîm
–’alaihis-salâm- adalah sebuah kenyataan, realita, bukan karangan dan bukan
fiksi, kisah nabiyullâh Ibrâhîm –’alaihis-salâm- adalah fakta sejarah yang
dicatat dalam sebuah kitab yang lâ ya’tîhi al-bâthilu baina yadaihi walâ
min khalfihi, kitab yang datang dari Allâh Rabb al-’âlamîn dan dipertegas
oleh wahyu kedua, yaitu sunnah Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam-
Lalu, kita pun
bertanya-tanya, apa rahasia yang membuat nabiyullâh Ibrâhîm –’alaihis-salâm-
memiliki ketahanan seperti itu? Dan apa pula yang menjadikan istri dan bayinya
juga memiliki ketahanan yang sepadan dengan yang dia miliki?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar