Pada
mulanya, butir ketiga dalam Sumpah Pemuda tidak mengakui bahasa Indonesia
sebagai bahasa persatuan. Dalam Kongres Pemuda Pertama yang berlangsung 30
April–2 Mei 1926, Muhammad Yamin, yang nantinya menjadi Sekretaris Panitia
Kongres Pemuda Kedua pada 28 Oktober 1928, membahas tentang masa depan
bahasa-bahasa Indonesia dan kesusastraannya.
Pada kongres pemuda pertama yang memakai bahasa Belanda, Muhammad Yamin
menyatakan hanya ada dua bahasa, yakni Jawa dan Melayu, yang berpeluang menjadi
bahasa persatuan. Namun, Yamin yakin bahasa Melayu yang akan lebih berkembang
sebagai bahasa persatuan. Pernyataan Yamin ini "diamini" Djamaludin,
Sekretaris Panitia Kongres Pemuda Pertama.
Walhasil, peserta kongres saat itu sepakat menetapkan bahasa Melayu sebagai
bahasa persatuan. Namun, Mohammad Tabrani Soerjowitjitro menentang. “Bukan saya
tidak menyetujui pidato Yamin. Jalan pikiran saya ialah tujuan bersama, yaitu
satu nusa, satu bangsa, satu bahasa,” ujar Tabrani, seperti yang ia tulis dalam
buku 45 Tahun Sumpah Pemuda seperti dilansir Laporan Khusus Majalah Tempo
edisi 2 November 2008.
Menurut Tabrani, kalau nusa itu bernama Indonesia, bangsa itu bernama
Indonesia, “Maka bahasa itu harus disebut bahasa Indonesia dan bukan bahasa Melayu,
walaupun unsur-unsurnya Melayu.” Pendapat ini diterima Yamin dan Djamaludin.
Keputusan menetapkan bahasa persatuan itu pun ditunda dan akan dikemukakan lagi
dalam Kongres Pemuda Kedua. Sayangnya, ketika kongres kedua berlangsung,
Tabrani dan Djamaludin sedang berada di luar negeri.
Selain tak sepakat dengan penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan,
Tabrani juga disebut-sebut berperan mengubah rumusan Sumpah Pemuda. Sewaktu
disepakati, sumpah itu, terutama butir ketiga, berbunyi: “menjunjung bahasa
persatuan, bahasa Indonesia”. Rumusan populer sekarang: “mengaku berbahasa
satu, bahasa Indonesia”.
Menurut Peneliti asal Australia, Keith Foulcher, dalam
buku Sumpah Pemuda, Makna dan Proses Penciptaan Simbol Kebangsaan Indonesia
(Komunitas Bambu, cetakan II, 2008), pergeseran itu tidak terjadi begitu
saja. Foulcher merujuk pada Kongres Bahasa 1938.
Ketika itu, kata Foulcher, Tabrani menyampaikan topik "Mendorong
Penyebarluasan Bahasa Indonesia". Saat itu Tabrani berargumen bahwa bahasa
Indonesia tidak beroposisi terhadap bahasa daerah, tapi merepresentasikan
"Sumpah Kita". Ia kemudian menyampaikan satu rumusan baru: Kita
bertoempah tanah satu, jaitoe tanah Indonesia, Kita berbangsa satoe, jaitoe bangsa Indonesia, Kita berbahasa satoe, jaitoe bahasa Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar