Betapa hati ini berduka, ketika mendengar
kabar berita saudara-saudara kita tertimpa musibah bencana. Gempa bumi, gunung
meletus, tsunami, banjir, dan longsor. Rentetan perjalanan panjang bencana alam
sepertinya masih enggan berlalu dan tak henti-hentinya menghempas Negeri ini,
bak hantaman pukulan jack seorang petinju yang telak menghantam rahang lawannya
hingga membuat sang lawan terkapar. Meskipun kedatangannya yang tak pernah diundang walaupun waktu kehadirannya di siang hari bolong, begitu tiba-tiba
melulu lantahkan apa saja yang dihampirinya. Negeri ini terus-menerus berduka,
sampai kapankah badai ini akan berlalu ? Apakah ini suatu cobaan, peringatan
atau memang hukuman dari Tuhan ? Entahlah yang pasti masih lekat dalam
benak ingatan kita semua, betapa dahsyatnya letusan Gunung Merapi, guncangan dahsyat Gempa Bumi, hempasan Gelombang Tsunami Aceh, kabar heboh
Banjir yang menghantam istana negara dan Ibukota, bencana Longsor yang pula
turut meluluh-lantahkan saudara-saudara kita diberbagai daerah. Bencana telah membawa penderitaan dan rasa prihatin yang mendalam.
Setidaknya bagi segenap Bangsa Indonesia yang masih punya rasa cinta kepada
negerinya. Kita maklum bila suatu kejadian apapun adalah proses dari rentetan
peristiwa asimilasi hukum alam, sebab dan akibat. seorang bijak pernah berkata,
“Apa yang kau tanam, itulah yang akan kau petik”.
Menurut berbagai sumber Informasi ternyata
tanah air ini telah mengalami kerusakan yang begitu Urgen dan diperkirakan
dalam beberapa waktu kedepan Indonesia tak lagi memiliki hutan sebagai
paru-parunya dunia kehidupan. Bisa jadi Itu berarti paru-parunya negeri ini
rusak teramputasi oleh sebuah keserakahan. Betapa tidak, belakangan rata-rata 3-5 hektar hutan permenit kabarnya hilang akibat penebangan ilegal dan
pengalihgunaan lahan. Data Kementerian Kehutanan menyebutkan hutan di Indonesia
yang tersisa dalam kondisi bagus (primer) hanya tinggal 64 juta hektar bahkan
bisa jadi makin berkurang dari jumlah Data tersebut. Kian merajalelanya sistem
eksploitasi hutan dan pembalakan liar di Sumatera dan Kalimantan telah turut
berperan meracuni kesuburan hutan kita yang kian terkikis habis dan punah. Belum
lagi hamparan hutan penyanggah kota-kota besar meliputi, hutan dan perbukitan
di pinggiran kota seperti kota Jakarta dan berbagai kota di daerah lainnya
telah lama beralih fungsi menjadi perumahan, mall, gedung pencakar langit, dan berbagai
bangunan pabrik. Sungguh ironi bukan, sebuah negeri yang dijuluki jamrud
khatulistiwanya Asia yang kaya akan hamparan hutan di sepanjang jauh mata ini
memandang harus berakhir tragis, semoga saja tidak.
Tak pernah sadarkah akan kelakuan kita yang
serakah, terus-menerus menyakiti hutan dan membuat kerusakan di muka bumi ini,
bukankah itu sama artinya berbuat kebodohan, bak memberi kail umpan ikan etong hanya untuk mendapatkan ikan teri. Setidaknya dari faktor keselamatan hidup pun
akan mengalami gangguan dengan berbagai ekses negatif ancaman bencana besar,
yang sewaktu-waktu akan membuncah menjadi momok tragedi yang memilukan.
Ada seloroh yang cukup menggelitik gendang
telinga, seseorang berujar, “Bencana yang sering terjadi ini akibat dari
fenomena alam bahwa bumi kita sudah tua”. Wajar dan sah-sah saja bila berasumsi
demikian sebab bencana yang sering terjadi menimpa negeri ini disamping akibat
dari proses alami itu sendiri tapi juga jangan lupa, jika kita pun tetap berbuat
culas terhadap bumi itu sama juga artinya ikut mendorong dan mempercepat proses
kerusakan bumi kian bertambah rusak parah dipenghujung usia bumi yang semakin
senja. Seharusnya yang mesti dipahami adalah bumi kita memanglah sudah tua,
renta, dan riskan akan berbagai serangan komplikasi penyakit. Seperti Sariawan, sakit Gusi, demam, pilek,
flu, dan batuk-batuk. Sariawan dan sakit Gusi begitu kiranya rasa sakit dan pesan yang disampaikan
Bumi ketika tiba-tiba lapisan tanahnya membelah dan meruntuhkan berbagai
bangunan apa saja yang ada dipermukaannya. Tidak sedikit karenanya ratusan
nyawa jadi korban-kerugian besar harus ditanggung makhluk hidup yang berpijak
dan hidup diatas permukaan wajahnya. Gejala Demam yang menggrogoti Bumi kita
itu, suatu isyarat bahwa bumi kita dalam keadaan bertemperatur suhu yang tinggi
dari sebuah peristiwa gejala Global Warming. Alam pun terluka-menderita dan
sakit hingga membuat iklim dunia kacau sulit untuk diprediksikan kapan
datangnya musim kemarau dan kapan pula musim penghujan menjelang. Hal ini menyebabkan
beberapa wilayah di daerah sentra penghasil produksi pertanian gagal panen. Dan
tak jarang pula wilayah perkotaan dan berbagai daerah mengalami kebanjiran
ataupun kemarau berkepanjangan. Rasa pilek yang menghambat dan amat
menyiksanya itu, sebenarnya memperingatkan diri ini untuk selalu menjaga
kelestarian hutan dari sebuah eksploitasi tangan-tangan jahil yang kurang bijak
mengambil manfaat, secara sembrono dan membabi buta tanpa ada rasa welas asih
merubah wajah bumi nan cantik, indah, lebat, nan hijau royo-royo dedaunannya
itu menjadi gundul dan rusak lagi rapuh, labil dan mudah longsor. Virus flunya mengajarkan kita untuk segera
mengurangi polusi udara dari efek negatif gas Emisi beracun dari berbagai gas
pembuangan mesin kendaraan dan pabrik yang mulai membuat bumi ini semakin
panas. Serta, Batuk-batuknya menandakan, pegunungan yang
terlukis indah itu sedang terganggu metabolisme saluran pernapasannya hingga
gairah lava membuncah dan memaksanya menumpahkan lahar panas dari dalam perut
bumi.
Senyata diri Bumi pun sama seperti halnya kita "manusia" ketika mengalami gejala penyakit tersebut. Tentu membutuhkan
penanganan serius agar segala serangan epidemis virus bakteri yang
terus-menerus merusak sistem kekebalan tubuh itu lekas sirna dari dalam tubuh.
Sudahkah kita memberi kenyamanan bagi Bumi ini, agar Bumi pun mau bersahabat
dengan kita ?.
Sebagaimana sebuah pergaulan yang biasa kita
lakukan dalam bersosialisasi dengan orang lain. Saat kita menanam kebaikan apa
saja, tentu balasannya sebuah kebaikan juga, bahkan bisa jadi lebih nikmat
kebaikan itu ditambahkan. Tapi saat kita berbuat kedzaliman tentu adzab pedih
akan melimpah sebagai timbal balik. Ekuvalen juga ketika kita memperlakukan
berbagai kekayaan yang terkandung di perut bumi alam semesta ini, baik yang ada
di lautan, daratan, udara, pegunungan, hutan-hutan belantara yang begitu Indah
menghiasi bumi ibu pertiwi pastilah ada Darma yang harus dibayar mahal.
Perlakukan Alam sebagaimana kita
memperlakukan siapapun yang kita sayang. Sebab kasih sayang yang tercurah
dengan segenap perhatian tulus akan memberi efek lebih sebuah ketulusan alam
untuk menjaga keselamatan, memberi kemaslahatan, kebaikan yang berlebih bagi
diri kita sendiri dan orang lain didalam menjalani perjalanan hidup di muka
bumi.
Kini saatnya kita mulai
berbenah, dan kembali menghijaukan hutan sebagai bentuk rasa tanggung jawab kita
kepada barang titipan anak cucu kita, yang akan menjaga dan mengelolanya di
masa yang akan datang. Biasakan dan ajarkan anak cucu kita untuk gemar menanam
pohon, tidak perlu mesti jauh-jauh bermigrasi kepelosok Belantara hutan, untuk
turut melestarikan hutan dari sebuah kepunahan. Mulailah dan biasakan diri ini
untuk memanfaatkan lahan kosong disekitar lingkungan, dimana kita
bersosialisasi bermasyarakat. Meskipun lahan tanaman yang tersedia tidak luas
hanya sejengkal saja adanya. Hijaukan lingkungan sekitar dengan berbagai
tumbuhan yang bermanfaat, setidaknya sebagai alat penyerap air tanah di kala
turun hujan, sarana pelindung dari teriknya matahari disaat musim kemarau dan
sebagai alat bantu penyuplai kebutuhan hidup untuk mendapatkan hembusan udara
segar (zat Oksigen) disetiap pagi hari dari tumbuhan yang kita tanam. Dari
kebiasaan itu nantinya diharapkan akan menumbuhkan rasa kepedulian kita untuk
senantiasa menjaga dan melestarikan lingkungan sekaligus hutan kita dari sebuah
kerusakan. Ciptakan lingkungan hutanku lebat, menjadikan bangsaku selamat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar