Amir
Sjarifoeddin Harahap adalah Bendahara Kongres Pemuda II, 27-28 Oktober 1928.
Meskipun hanya bertugas mengurus keuangan, keberadaan Amir sangat dipandang
dalam pertemuan itu. Bahkan, rumusan Sumpah Pemuda yang dirancang Muhammad
Yamin, harus terlebih dulu disetujui Amir dan Ketua Kongres, Soegondo
Djojopuspito. Amir pun aktif memimpin kongres. Pada
1947, Amir Sjarifoeddin menjadi Perdana Menteri Indonesia kedua usai Sutan
Sjahrir meletakkan jabatannya. Selama menjadi perdana menteri, Amir
menandatangani Perjanjian Renville, 17 Januari 1948. Suatu persetujuan antara
Indonesia dan Belanda, di atas geladak kapal perang Amerika, USS Renville. Namun,
perjanjian itu membuat Amir dimusuhi partai penyokongnya. Ia mundur sebagai
wazir dan menjadi oposan pemerintah.
Di kemudian hari, Amir membentuk Front Demokrasi
Rakyat, bersama partai garis kiri. Akan tetapi, riwayat Amir bersama partai itu
tak langgeng. "Kala Peristiwa Madiun pecah, 18 September 1948, Amir
dianggap bertanggung jawab," tulis majalah Tempo edisi 2 November
2008 dalam artikel "Makam Tak Bertanda di Ngalihan".
Sebabnya, ia mendukung Muso--seorang tokoh Partai Komunis Indonesia yang
memproklamasikan Negara Republik Soviet Indonesia. Pada
18 November 1948, Bendahara Kongres Pemuda II ini ditangkap di
persembunyiannya, Desa Klambu, Purwodadi, Jawa Tengah. Atas perintah Gubernur
Militer Surakarta Gatot Subroto, dia dikirim ke Solo.
Bersama 10 tahanan lainnya, Amir diseret ke Desa Ngalihan, pada 19 Desember 1948.
Di sana Gatot Subroto memerintahkan eksekusi mati ke-11 orang itu. Sebelum
ditembak, mereka sempat menyanyikan Indonesia Raya dan Internasionale. Amir
yang pertama kali ditembak, dengan menggenggam Alkitab. Kesebelas
jenazah itu hanya dikubur dalam gundukan tanah tak bernisan. Istri Amir,
Djaenah, sempat mendatangi Presiden Soekarno pada 1950. Ia meminta jenazah
suaminya dipindahkan ke Jakarta. "Tapi permintaan itu ditolak," kata
putra keempat Amir, Damaris.
Alih-alih memindahkan jenazah, Bung Karno setuju
pemakaman ulang untuk Amir. Namun, setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965,
bangunan makam kesebelas kuburan itu raib tak berbekas. "Sejak itu kami
tidak berani sering berziarah ke makam Bapak," ujarnya. Pada
2008, keluarga Amir mendapat bantuan dari lembaga swadaya masyarakat Ut Omnes
Unum Sint Institut, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Sokongan itu berupa izin
pembangunan makam Amir. Hasilnya sejak Agustus 2008, makam Amir telah bernisan.
Bukan lagi ditandai sebatang kayu seperti sebelumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar