Mohammad
Hatta bersekolah di Sekolah Dagang Rotterdam, atau Rotterdamse
Handelshogeschool. Pada
1921 Hatta bergabung dengan organisasi Indische yang kemudian berubah menjadi
Indonesische Vereniging.
Saat itu istilah "Indonesier" dan kata sifat
"Indonesich" sudah tenar digunakan oleh para pemrakarsa politik etis
seperti Profesor Van Vollenhoven. "Sehingga kata "Indonesia"
menjadi tanah air adalah ciptaan Indonesische Vereniging," kata Hatta,
dalam Memoir yang ditulisnya pada 1979 seperti ditulisa dalam edisi khusus
Sumpah Pemuda, Majalah Tempo. Menarik
untuk diikuti bahwa saat pertemuan berlangsung, Darmawan Mangunkusumo demikian
bersemangat dan berkata bahwa mulai saat itu mereka mesti membangun Indonesia
dan meniadakan Hindia atau Nederlands-Indie. Tapi Sastromoeljono menyindir dan
mengatakan, "Itu kan teori saja, prakteknya bagaimana?" kata dia,
seperti dikutip Hatta. Sindiran Sastromoeljono --kemudian menjadi hakim dan
panitia persiapan kemerdekaan--terjawab. Dalam rapat diputuskan, mereka
menerbitkan kembali majalah dwibulanan Hindia Poetra. Hatta pengasuhnya.
Disepakati pula, setiap tulisan dalam majalah 16 halaman seharga 2,5 gulden
setahun itu tak ada nama pengarang agar, "isinya mencerminkan pendapat
kolektif," Hatta menulis. Penerbitan Hindia Poetra itu kemudian menjadi
"praktek" manjur bagi para intelektual muda itu menyebarkan ide-ide
antikolonial. Dalam dua edisi pertama, Hatta menyumbangkan kritiknya akan sewa
tanah industri gula di Hindia Belanda yang merugikan kalangan tani. Tapak
mereka sungguh berani. Tatkala Iwa Kusumasumantri menjadi ketua (1923),
Indonesische mulai menyebarkan ide non-kooperasi, artinya berjuang demi
kemerdekaan tanpa butuh kerja sama Belanda. Setahun kemudian, ketika Nazir
(1924) memimpin Indonesische, nama majalah Hindia Poetra berubah menjadi
Indonesia Merdeka. Giliran Soekiman Wirjosandjojo yang memimpin (1925), nama
Indonesische Vereniging resmi berubah menjadi Perhimpunan Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar