Dari
Abdullah Jabir bin Abdillah Al-Anshari r.a. bahwasanya seorang laki-laki
bertanya kepada Rasulullah saw.: “Bagaimana pendapatmu jika aku melaksanakan
shalat-shalat fardhu, berpuasa di bulan ramadhan, menghalalkan yang halal dan
mengharamkan yang haram serta aku tidak menambah dengan sesuatu apapun selain
itu, apakah (dengan hal tersebut) bisa menjadikan aku masuk surga?” Rasulullah
saw. menjawab, “Ya.” (HR. Muslim)
Tarjamatur
Rawi
· Jabir
bin Abdillah bin Amru bin Haram
Beliau
adalah Jabir bin Abdillah bin Amru bin Haram Abu Abdillah Al-Anshari, salah
seorang sahabat Rasulullah saw. Tinggal di Madinah dan wafat pula di Madinah
pada tahun 78 H. Beliau termasuk sahabat yang terbanyak meriwayatkan hadits
Rasulullah saw. Tercatat hadits riwayat beliau sekitar 1.540-an hadits. Beliau
juga termasuk sahabat terakhir yang wafat di Madinah. Beliau wafat dalam usia
94 tahun.
· Abu
Al-Zubair
Beliau
adalah Muhammad bin Muslim Abu Al-Zubair Al-Azady, salah seorang di bawah wushta
minat tabiin. Wafat tahun 136 H. Beliau mengambil hadits dari sahabat dan
juga dari tabiin, di antaranya adalah Anas bin Malik, Aisyah ra, Umar bin
Khatab, Abdullah bin Umar bin Khatab, Abdullah bin Zubair, Ibnu Abbas, dan
Thawus bin Kaisan. Sedangkan murid-murid beliau adalah Hammad bin Salamah bin
Dinar, Sufyan bin Uyainah, Sulaiman bin Mihran, Syu’bah bin Hajjaj, dan Malik
bin Anas. Adapun dalam derajat jarh wa ta’dil-nya, sebagian
mengkategorikannya tisqah, sebagian lainnya shaduq. Ibnu
Hajar Al-Atsqalani mengkategorikan beliau sebagai Shaduq.
· Ma’qil
bin Ubaidillah
Beliau
adalah Ma’qil bin Ubaidillah, Abu Abdullah Al-Harani Al-Abasy, salah seorang
Atba’ Tabiin. Wafat pada tahun 166 H. Beliau mengambil hadits di antaranya dari
Atha’ bin Abi Ribah, Ikrimah bin Khalid, Amru bin Dinar, dan Ibnu Syihab
Al-Zuhri. Sedangkan murid-muridnya adalah Makhlad bin Yazid, Muhammad bin
Abdullah bin Zubair bin Umar bin Dirham, dan Abdullah Muhammad bin Ali bin
Nufail. Dalam jarh wa ta’dil beliau dikategorikan sebagai shoduq.
Gambaran
Umum Tentang Hadits
Terkait
dengan hal ini, ulama ushul fiqh bahkan memberikan satu kaidah tersendiri
mengenai “bolehnya” melakukan segala perbuatan dalam muamalah dengan kaidah:
Hukum asal dalam bermuamalah adalah “boleh”, kecuali ada dalil yang melarang
perbuatan tersebut.
Makna
Hadits
Hadits
ini memberikan gambaran sederhana mengenai cara untuk masuk ke dalam surga.
Dikisahkan bahwa seseorang sahabat (dalam riwayat lain disebutkan bahwa sahabat
ini adalah An-Nu’man bin Qauqal) datang dan bertanya kepada Rasulullah saw.
dengan sebuah pertanyaan sederhana, “Ya Rasulullah saw, jika aku melaksanakan
shalat yang fardhu, puasa yang wajib (puasa ramadhan), kemudian melakukan yang
halal dan meninggalkan yang haram, apakah dengan hal tersebut dapat
mengantarkanku ke surga?” Pertanyaan sederhana ini dijawab oleh Rasulullah saw.
dengan jawaban sederhana, yaitu “ya”.
Hadits di
atas secara dzahir menggambarkan “kesederhanaan” amalan yang
dilakukannya sebagai seorang sahabat, yaitu hanya melaksanakan shalat dan puasa
serta melakukan perbuatan yang dihalalkan dan meninggalkan perbuatan yang
diharamkan. Dan ketika perbuatannya tersebut “ditanyakan” kepada Rasulullah
saw., beliau pun tidak mematahkan “keterbatasan” yang dimiliki sahabat
tersebut, namun justru menyemangatinya dengan membenarkan bahwa dengan hal
sederhana tersebut insya Allah dapat membawa dirinya masuk ke dalam surga.
Itu
artinya, Rasulullah saw dapat memahami bahwa tidak semua muslim memiliki
kemampuan yang “lebih”, sehingga ia dapat maksimal melakukan berbagai aktivitas
ibadah secara bersamaan sekaligus, seperti ibadah, jihad, tilawah, shaum,
shadaqah, haji, birrul walidain dan sebagainya. Namun di antara kaum muslimin
terdapat juga yang hanya memiliki kemampuan terbatas; hanya dapat
mengimplementasikan Islam sebatas amaliyah fardhu, namun tetap menghalalkan
yang halal dan mengharamkan yang haram. Dan Allah tidak membebani seseorang
kecuali sesuai dengan kemampuannya (Al-Baqarah: 286).
Menghalalkan
Yang Halal Dan Mengharamkan Yang Haram
Kesederhanaan
amalan yang dilakukan seorang muslim hingga dapat membawanya ke dalam surga,
dibingkai dengan bingkai “menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram”.
Menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram artinya bahwa dirinya atau
keinginannya mengikuti apa yang dihalalkan oleh Allah swt. serta menjauhi apa
yang diharamkan oleh Allah swt. Dan bukan atas dasar keinginan serta kemauan
diri pribadinya (Al-Kahfi: 28).
Bahkan
dalam hadits, Rasulullah saw. menegaskan bahwa hanya dengan melaksanakan
kewajiban seperti shalat, puasa dan zakat saja, namun belum menghalalkan yang
halal dan mengharamkan yang haram, itu semua belum cukup:
Dari Abu
Hurairah ra, Rasulullah saw. bersabda, “Tahukah kalian siapakah orang yang
bangkrut?” Sahabat menjawab, “Orang yang bangkrut di antara kami adalah orang
yang tidak memiliki dirham dan tidak pula memiliki harta.” Rasulullah saw
bersabda, “Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang
datang pada hari kiamat dengan shalat, puasa dan zakat. Namun ia juga mencela
(orang) ini, menuduh zina (orang) ini, memakan harta (orang) ini, menumpahkan
darah dan memukul (orang) ini. Lalu diambillah kebaikannya untuk menutupi hal
tersebut. Dan jika kebaikannya telah habis sebelum terlunasi “perbuatannya”
tersebut, maka diambillah dosa-dosa mereka (yang menjadi korbannya) dan
dilemparkan kepadanya, lalu ia dilemparkan ke dalam api neraka (HR. Ahmad).
Banyak
Jalan Menuju Surga
Sesungguhnya
jika diperhatikan hadits-hadits Rasulullah saw. lainnya akan didapatkan bahwa
banyak amalan sederhana yang jika dilakukan akan mengantarkan kita menjadi
ahlul jannah, di antaranya adalah:
·
Melaksanakan shalat subuh dan ashar. Dari Abu Musa Al-Asy’ari ra, bahwasanya
Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang shalat dua waktu dingin (subuh dan
ashar), maka ia akan masuk surga (HR. Bukhari).
·
Tauhidkan Allah dan melaksanakan ibadah fardhu. Dari Abu Hurairah r.a. bahwa
seorang Badui datang menemui Rasulullah saw. lalu berkata, “Wahai Rasulullah,
tunjukkan padaku satu amalan yang jika aku laksanakan dapat mengantarkanku ke
dalam surga?” Beliau menjawab, “Engkau menyembah Allah dan tidak
menyekutukannya terhadap apapun, melaksanakan shalat fardhu, membayar zakat
yang wajib serta melaksanakan puasa di bulan ramadhan.” (HR. Bukhari)
·
Mentaati Rasulullah saw. Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Semua umatku akan masuk surga, kecuali yang enggan.” Sahabat bertanya, “Siapa
yang enggan, wahai Rasulullah saw.?” Beliau menjawab, “Barangsiapa yang
mentaatiku masuk surga, dan siapa yang maksiat terhadapku (tidak mentaatiku)
maka ia adalah yang enggan.” (HR. Bukhari)
· Beramal
sosial. Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Siapakah di
antara kalian yang berpuasa hari ini?” Abu Bakar menjawab, “Saya, wahai
Rasulullah saw.” Kemudian beliau berkata, “Siapakah di antara kalian yang hari
ini mengiringi jenazah?” Abu Bakar menjawab, “Saya, wahai Rasulullah saw.”
Kemudian beliau bertanya lagi, “Siapakah di antara kalian yang telah memberikan
makan pada orang miskin hari ini?” Abu Bakar menjawab, “Saya, wahai Rasulullah
saw.” Kemudian beliau bertanya lagi, “Siapakah di antara kalian yang hari ini
telah menjenguk saudaranya yang sakit?” Abu Bakar menjawab, “Saya, wahai
Rasulullah saw.” Lalu Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah semua hal di atas
terkumpul dalam diri seseorang, melainkan ia akan masuk ke dalam surga.” (HR.
Muslim)
Kunci
Surga adalah La Ilaha Ilallah
Pada
hakikatnya, kunci surga itu adalah kalimat tauhid “Tiada Ilah selain Allah
swt”. Sehingga seorang mu’min yang telah mengucapkan kalimat itu dan ia
meyakini sepenuh hati atas segala konsekuensinya, maka ia berhak untuk masuk ke
dalam surga Allah swt.
Dari
Ubadah bin Al-Shamit r.a., Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa yang
bersaksi bahwasanya tiada tuhan selain Allah yang Maha Esa, tiada sekutu
bagi-Nya dan bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, dan bahwasanya
Isa a.s. adalah hamba dan utusannya yang merupakan kalimat dan ruh yang
ditiupkan pada Maryam, dan bahwasanya surga dan neraka adalah benar adanya,
maka Allah swt. akan memasukkannya dalam surga sesuai amal perbuatannya (HR.
Bukhari).
Dari
hadits di atas dapat dipahami bahwa seorang mukmin yang benar-benar beriman kepada
Allah, berhak mendapatkan surga dari-Nya. Dan sekiranya ia melakukan perbuatan
maksiat, maka ia tetap berhak mendapatkan surga namun setelah dosa-dosanya
dihapuskan dalam neraka.
Celaan
Terhadap Orang Yang Mengikuti Hawa Nafsu
Penyebab
seseorang melakukan satu perbuatan maksiat yang dilarang oleh Allah. adalah
karena mengikuti hawa nafsunya. Oleh karenanya dalam sebuah hadits, Rasulullah
saw. pernah mengatakan, “Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga
hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (syariat Allah swt.).” Dalam Alquran
Allah memberikan perumpamaan yang amat hina bagi orang yang mengikuti hawa
nafsunya: seperti anjing. (Al-A’raf: 176)
Mengikuti
hawa nafsu ini dapat menjadikan seseorang mengharamkan yang halal dan
menghalalkan yang haram. Ini kebalikan dari pesan yang tersurat dari hadits di
atas. Oleh karenanya, salah satu bentuk “menghalalkan yang halal dan
mengharamkan yang haram” adalah dengan membuang jauh-jauh hawa nafsu yang
cenderung mengajak pada kemaksiatan pada Allah swt. Dan insya Allah, hal ini
akan dapat menjadikan kita termasuk calon penghuni surga.
Hikmah
Tarbawiyah
Bagi
seorang mukmin yang senantiasa mengharap ridha Allah swt. ketika membaca sebuah
hadits, ia akan berupaya untuk mentadaburi hadits tersebut sehingga memberikan
bekal dalam perjalanan panjangnya. Di antara hikmah yang dapat dipetik dari
hadits di atas adalah:
1.
Bahwa kesederhanaan dalam
beramal, disertai ketulusan dan keikhlasan untuk senantiasa berpijak pada
syariat Allah, insya Allah akan mengantarkan seseorang pada surga Allah swt.
2.
Tidak semua orang memiliki
kemampuan untuk memiliki “prestasi” yang menonjol dalam amalan ukhrawi,
sehingga tidak baik bagi seorang dai untuk ‘memaksakan’ suatu amaliyah tertentu
pada obyek dakwahnya yang tidak sanggup mengembannya. Namun bukan berarti bahwa
setiap orang harus dinilai berdasarkan ‘pengakuan’ dan ‘keinginannya’ saja.
Karena manusia jika tidak dipacu untuk maju, akan sukar baginya untuk maju.
3.
Bahwa dalam muamalah, Islam
memberikan kebebasan mutlak untuk melakukan inovasi amal, selama tidak ada
dalil yang melarang satu perbuatan tertentu. Apakah di bidang sosial, politik,
ekonomi, pendidikan, seni, budaya, dan lain sebagainya. Namun semua hal ini
tetap harus dalam ‘frame’ untuk menegakkan kalimatullah di muka bumi ini, serta
harus diproteksi dengan sistem yang dapat menjaganya dari kekeliruan dan
potensi penyelewengan. Hal ini berbeda dengan masalah ibadah, yang tidak boleh
dilakukan kecuali adanya dalil yang memerintahkannya.
4.
Seorang dai haruslah bersikap
bijaksana dan senantiasa memotivasi objek dakwahnya untuk beramal, kendatipun
kecilnya amalan tersebut. Karena dengan adanya motivasi, seseorang akan terus
tergerak untuk beramal yang lebih baik dan baik lagi. Sikap ini tergambar dari
jawaban Rasulullah saw. dalam hadits di atas.
5.
Sebuah cita-cita yang besar
demi kemaslahatan umat, tidaklah bisa dijadikan satu alasan untuk meninggalkan
perkara-perkara yang kecil. Hadits Abu Bakar Al-Siddiq di atas menggambarkan
kepada kita, betapa perhatiannya Abu Bakar terhadap masalah kecil, seperti
menjenguk orang sakit, mengiringi jenazah, memberi makan orang miskin, dan
sebagainya. Padahal beliau merupakan sahabat yang paling besar andilnya dalam
mensukseskan dakwah pada masanya. Sehingga jangan sampai karena alasan
cita-cita yang besar, seorang dai mengabaikan amaliyah-amaliyah kecil.
6.
Dalam beberapa hadits, shalat
dan puasa selalu disebutkan sebagai amalan yang dapat memasukkan seseorang ke
dalam surga. Hal ini menunjukkan ‘pentingnya’ peranan shalat dan puasa.
Sehingga tiada alasan bagi seseorang mengabaikan kedua ibadah ini dalam kondisi
apapun juga.
Penyebutan shalat dan puasa
yang berulang-ulang, sekaligus menunjukkan bahwa sesungguhnya shalat dan puasa
memiliki implikasi positif dalam diri siapapun yang mengamalkannya. Shalat dan
puasa bukanlah sebuah ritual yang ‘wajib’ dilaksanakan dan setelah itu sudah.
Namun shalat dan puasa adalah ibarat pondasi dasar dan pagar yang dapat
membentengi iman dari kerusakan dan kehancuran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar