Sejarawan
Anhar Gonggong Nasution menilai rekayasa Sumpah Pemuda tidak memiliki maksud
negatif. Justru rekayasa terhadap Sumpah Pemudah dilakukan untuk menumbuhkan
semangat pergerakan nasional dan persatuan bangsa. "Rekayasa ini
semangatnya berbeda dengan masa Orde Baru," kata Anhar ketika dihubungi Tempo,
Sabtu, 27 Oktober 2012.
Anhar menjelaskan, pada 28 Oktober 1928, hasil Kongres Pemuda II memang tidak
langsung dinamai Sumpah Pemuda. Nama hasil kongres pada waktu itu adalah
"Ikrar Pemuda". Barulah pada 1930-an, diubah oleh Muhammad Yamin
menjadi Sumpah Pemuda. Waktu itu bahkan tidak ada kata rekayasa. "Yang ada
bagaimana menciptakan persatuan," kata dia.
Anhar menjelaskan, keinginan untuk memperingati Sumpah Pemuda muncul dari
gagasan Ki Hajar Dewantara pada 1948. Ki Hajar kemudian menyampaikan usulan ini
kepada Presiden Sukarno dan sejak itulah peringatan Hari Sumpah Pemuda
dirayakan dengan lebih semarak. Sebelum tahun tersebut, pada 28 Oktober hanya peringatan
pergerakan nasional.
Anhar menegaskan, rekayasa Sukarno dan Yamin sama sekali berbeda dengan
rekayasa pada Orde Baru. Rekayasa ini justru bertujuan untuk mempekuat ikatan
kebangsaan yang sedang coba dirongrong kembali oleh berbagai pergerakan di
dalam negeri. "Rekayasa ini bukan bertujuan untuk kekuasaan seperti masa
Orde Baru," kata dia.
Pendapat senada disampaikan oleh sejarawan Asvi Warman Adam. Asvi tidak melihat
adanya upaya rekayasa sejarah seperti yang dilakukan Nugroho Notosusanto
terhadap Pancasila. Bahkan, penambahan kata satu dan pengubahan nama
hasil Kongres Pemuda II dinilai sebagai upaya menyederhanakan rumusan hasil
kongres. "Pendiri bangsa banyak merumuskan sesuatu dengan lebih
sederhana," kata dia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar